Setelah berdiskusi di suatu group whatsapp mengenai haramnya nikah sirri, saya meminta pendapat kepada seorang ustadz mengenai pendapat saya tentang nikah sirri. (Dapat dilihat di dalam artikel saya pada tautan ini). Seorang ustadz tersebut memberikan saran kepada saya, bahwa sebelum mendiskusikan lebih jauh, perlu dibereskan dulu pemahaman kita mengenai nikah sirri ini. Bagaimana peristilahan nikah sirri ini dipahami di dalam konteks masyarakat Indonesia?. Jika pengertian akan hal ini sudah beres, maka tentu saja persoalan keputusan fiqih mengenai nikah sirri ini tidak akan mengambang.
Saran seorang ustadz ini kemudian membuka pikiran saya. Karena jika memang dipikir-pikir, peristilahan “nikah sirri” ini dalam konteks masyarakat Indonesia adalah pernikahan yang tidak secara administratif dicatata dalam catatan nikah pemerintah. Akan tetapi pernikahannya itu sendiri dilangsungkan dengan telah memenuhi persyaratan dan rukun nikah dalam agama.
Jika demikian adanya, maka pernikahan sirri dalam persepsi masyarakat Indonesia itu sudah sah adanya. Karena telah memenuhi syarat dan rukunnya. Adapun pencatatan pemerintah itu, sebagaimana telah saya katakana dalam diskusi sebelumnya, itu hanyalah suatu fasilitas pembantu dari pemerintah, yang dilaksanakan demi terciptanya kemaslahatan bersama (al-maslahah mursalah).
Persoalan sebenarnya adalah apakah nikah sirri itu syar’i?. Mengingat sebenarnya bahwa yang layak dipersoalkan dalam masalah nikah sirri itu adalah masalah nikah yang syar’i dan yang tidak syar’i. Dan jika melihat pernikahan sirri itu telah memenuhi syarat dan rukunnya, serta telah dilandasi dengan niat dan persiapan yang baik, maka itu adalah syar’i.
Syadz Adz-Dzari’ah atau Maslahah Mursalah yang diwajibkan?
Persoalan selanjutnya adalah dampak yang ditimbulkan dari pernikahan sirri itu. Yakni pernikahan yang dilakukan tanpa catatan dari pemerintah. Para pihak yang mengharamkan nikah sirri ini pada dasarnya mendasarkan argumentasinya kepada persoalan ketika pada suatu saat terjadi konflik dalam keluarga yang telah dibangun dan kemudian terjadi perceraian. Hal ini menimbulkan persoalan pada masalah penjagaan hak-hak istri setelah perceraian terjadi yang mungkin diabaikan oleh si suami. Di sinilah kemudian nikah tanpa catatan pemerintah ini umumnya akan merugiakan bagi pihak perempuan. Dalam perkara di pengadilan, sang istri berada dalam posisi yang lemah. (dalam konteks tertentu).
Dalam persoalan-persoalan seperti di atas inilah maka sementara orang (dan saya juga sebelumnya) dapat setuju terhadap keharaman nikah sirri (nikah tanpa catatan pemerintah) ini atas dasar syadz dzari’ah. Syadz Dzari’ah adalah suatu prinsip pengambilan hukum dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Di dalam kitab Al-Bayan karya Abdul Hamid Hakim dijelaskan: “Syadz Adz-Dzari’ah adalah pencegahan suatu perkara yang pada dasarnya boleh, tapi jika diteruskan akan membawa dampak negatif.” Dengan konsep Syadz Adz-Dzari’ah ini, maka nikah tanpa catatan pemerintah dapat dihukumi haram karena membuka potensi terjadinya hal-hal yang tidak baik bagi salah satu pasangan.
Akan tetapi, sebenarnya, argumen ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan klasik. Seperti ceremah seoran kiai kampung di sebuah masjid di Turen yang sempat saya curi dengar pada sekitar tahun 2008 yang lalu. “Jika pertimbangannya takut terjadi perzinahan, bukankah itu dampak buruk dari tidak terjadinya pernikahan?”. Demikian kira-kira ucapan kiai itu, yang mengkritik pemerintah (kementerian agama) karena mengharamkan nikah sirri. Dengan demikian, secara tidak langsung argumen kiai tersebut juga menyatakan bahwa pernikahan sirri itu juga bisa merupakan syadz adz-dzari’ah terhadap potensi terjadinya perzinahan. (dalam konteks tertentu)/ Ya, pertanyaan ini kiranya ada benarnya juga.
Dari sini, saya lebih memilih untuk menyatakan bahwa pencatatan nikah itu adalah “suatu bentuk kemaslahatan umum, yang meskipun tidak menjadi syarat dan rukun dapat saja diwajibkan.” Hal ini merupakan suatu langkah antisipatif terhadap potensi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Seperti telah dijelaskan di atas. Dalam hal ini dapat saja Kantor Urusan Agama (KUA) atau kementerian agama mengeluarkan suatu bentuk peraturan yang pada intinya melarang pernikahan tanpa catatan dari pemerintah. Meninjau QS. An-Nisa’ (59), maka hal bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mengambil kebijakan. Dan wajib bagi ummat Islam untuk mengikutinya.
“Taatlah kamu kepada Allah!, dan taatlah kamu kepada utusan-Nya!, serta kepada pemerintah.” Begitu terjemahan dari QS. An-Nisa’ (59) itu berdasarkan salah satu penafsirannya. (Lihat tafsir Ar-Razi). Dengan demikian ayat ini melarang kita untuk melanggar semua aturan pemerintah yang diberikan untuk tujuan kemaslahatan umum (al-maslahah mursalah). Dan pelanggaran ini selain berdampak hukum tertentu, juga haram adanya. Demikian pula peraturan yang lain yang ditegakkan demi kemaslahatan, pewajiban vaksin dan sebagainya. Misalnya: pelanggaran aturan lalu lintas, akan berdampak ditilang polisi, dan juga bisa haram jika dilakukan dengan sengaja dengan berdasarkan QS. An-Nisa (59) ini. Hal yang sama terjadi dengan pernikahan sirri jika sudah ada aturan larangan dari pemerintah. Pernikahan sirri (tanpa catatan pemerintah) akan berdampak secara hukum positif negara, dan juga berdosa bagi pelakunya.
Cukup menarik juga.
Malang, 7 Maret 2023
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar