Oleh:
R. Ahmad Nur Kholis
Umumnya kita menganggap fenomena terorisme dalam Islam ada dan menjadi ancaman (threat) pasca peristiwa WTC di Amerika hampir satu dasawarsa yang lalu. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak demikian. Karena dalam faktanya aksi terorisme telah ada sejak akhir pemerintahan generasi kedua Dinasti Islam. Tepatnya pada akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib Kw.
Meskipun dikenal sebagai seorang cendikia yang sangat cerdas, pemerintahan yang dijalankan oleh sepupu dan menantu Nabi sekaligus itu ternyata tidak berjalan lancar dan mengalami banyak pergolakan. Pemerintahanya hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 6 (enam) Tahun. Dan dalam jangka watu itu bisa dikatakan tidak ada masa kestabilan pemerintahan. Tidak stabilnya jalan pemerintahan memang sudah diwariskan oleh krisis yang sudah timbul sebelumnya. Hal ini mirip dengan fenomena kepemimpinan Gus Dur di Indonesia yang harus menangani berbagai warisan krisis pasca Soeharto.
Setelah terjadi konfli antara Aisyah dan Ali (mertua dan menantu) terjadi pula konflik antara Ali dengan Mua’wiyah: Gubernur Syiria yang berambisi menduduki kursi ke-khalifahan yang sebenarnya telah meletakkan pengaruhnya di kalangan elite pusat ke-khalifahan pada zaman Usman bin Affan. Muawiyah melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Ali yang sah. Maka pecahlah peperangan diantara kedua belah pihak di daerah Shifin, sehingga peperangan itu disebut ‘Perang Shifin’ yang diakhiri dengan tahkim (arbitrase).
Setelah tahkim itu, terpecahlah pasukan Ali menjadi dua : para pendukung setianya (Syi’ah) yang mendukung Ali untuk berunding di satu sisi, dan para penentang tahkim, yang lebih mendukung Ali untuk melanjutkan perang dan meraih kemenangannya yang sudah di ambang mata. Yang terakhir inilah yang selanjutnya menyatakan keluar dari barisan khalifah (Khawarij). Ia menganggap Ali telah meragukan keputusannya berperang di jalan kebenaran. Dan karena keraguan itulah sehingga ia tidak dianggap layak untuk menjadi pemimpin lagi. Dalam pemandangan mereka, seorang pemimpin haruslah orang yang kuat memegang kebenaran dari keputusan yang ia ambil sendiri. Pada akhirnya menjadi aliran garis keras dan berkembang menjadi ‘gerombolan teroris’ dalam waktu kemudian.
Bulan Ramadlan tahun 41 H. Faksi Khawarij melakukan sebuah komplotan untuk menghabisi pihak-pihak yang mereka anggap sebagai biang keladi permasalahan: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash. Tiga orang diutus untuk melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh itu. Dan kepastian Allah pun terjadi Ali bin Abi Thalib berhasil dibunuh oleh Abdurrahman bin Muljam, yang pekerjaannya Qaa’imul lail, Shaa’imun Nahar Hafidzul Qur’an. Dan dua yang terakhir tidak berhasil. Inilah awal mula terjadinya tindak terorisme secara terorganisir dalam Islam. Dan Khawarij-lah yang berfungsi sebagai organisasi pergerakan mereka.
Saat ini, mungkin beberapa kalangan—jika tidak boleh mengatakan banyak—menganggap bahwa kaum Khawarij telah sirna digilas sejarah. Akan tetapi kenyataannya tidak. Fakta bahwa di negeri ini pernah muncul gerakan DI/TII di berbagai daerah pada tahun 1946 dipimpin tokoh-tokoh seperti Kartosoewirjo (w. 1964) dan Ibnu Hajar, yang tidak mengakui kepemimpinan Soekarno sebagai pemimpin yang sah, sampai dengan maraknya aksi terorisme sejak pertengahan tahun 2001 (pasca tragedi WTC) sampai dengan saat ini menampakkan bahwa golongan ini masih ada. Entah hanya sebagai pemikiran, ataupun organisasinya.
Beberapa hal menunjukkan hal itu (selain aksi terorisme yang mereka perbuat tentunya). Anggapan mereka kepada kita, dan kelompok selain kita yang berada di luar mereka sebagai orang kafir menunjukkan bahwa eksistensi mereka masih ada.
Islamic State of Iraq and Syiria, saat ini tengah berkeinginan untuk membangun khilafah Islamiyah yang telah runtuh sekitar 90 tahun yang lalu. Akan tetapi gerakan-gerakan dan aktifitas yang mereka lakukan menjadi sangat ironis dengan dengan cita-cita luhur yang mereka inginkan. Bagaimana mungkin jika membangun khilafah Islamiyah mereka anggap tujuan suci, mengapa cara-caranya sama sekali tidak Islami ?
Selain caranya yang salah, perlu diketahui bahwa faktor kemajuan peradaban Islam di masa lalu bukan hanya karena khilafahnya. Dalam arti lain bukan karena politik. Akan tetapi kemjuan Islam lebih besar diperankan oleh keiluman. Peradaban Islam tercipta lebih besar dikarenakan Ilmul Ulama bukan siyasah al-zu’ama’. Bahkan penguasa-penguasa Islam di jaman dahulu banyak yang perilakunya tidak islami, dan bahkan melanggar syariat. Seandainya tanpa para Ulama dalam berbagai bidang penguasaannya di masa lalu, mungkin Islam hanyalah sebagai gerakan politik yang kacau.
Karangploso, Malang, 6 Oktober 2010,
Diperbaharui ulang di:
Karangploso, 5 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar