Menyepakati apa yang dijelaskan oleh Clifford Geertz (1960) dan Martin van Bruinnessen (1990), setidaknya sampai tahun 1960-an, masyarakat muslim Indonesia (varian santri) terpolarisasi ke dalam muslim tradisionalis di satu sisi dan muslim modernis di sisi lain. Kaum tradisionalis memegang teguh ortodoksi Islam dengan cara-cara kaum skolastik yang demikian detail dan rigid. Sedangkan kaum modernis (jika kita menyetujui penjelasan Geertz), menjadikan doktrin agama sebagai aspek instrumental dalam agama. Berupaya sebisa mungkin kembali ke dalam Al-Qur’an dan Hadits dengan interpretasi baru yang kontekstual. Dalam hal demikian ini, maka kaum modernis jelas berbeda dengan kaum fundamentalis di timur tengah yang berusaha kembali kepada teks-teks primer agama sebagaimana dijelaskan oleh John L. Esposito dalam The Islamic Threath: Myth or Reality (1992).
Akan tetapi, perkembangan kalangan tradisionalis sendiri di Indonesia merupakan sesuatu yang unik. Geertz menjelaskan bahwa meskipun kalangan tradisionalis dikatakan sebagai ortodoks (layaknya katolik sebagaimana tersirat dalam tulisan Bruinnessen), akan tetapi ortodoksi kaum pesantren ini adalah kembali kepada pendapat para Imam Mujtahid yang 4 (empat), yang dalam konteks Indonesia utamanya adalah madzhab Syafi’i. Hal inilah yang kemudian menurut Bruinnessen, cara beragama kalangan tradisionalis menjadi lebih moderat dan adaptif terhadap konteks kekinian.
Terlepas dari itu semua, setidaknya jika kita menyepakati pendapat Bruinessen, polarisasi tradisionalis dan medernis itu kini (sejak tahun 1990-an) telah semakin samar. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal:
(1) kalangan tradisionalis semakin banyak yang membaca “kitab putih” romanisasi di satu sisi, dan di sisi lain kalangan modernis telah ada pula pula yang merujuk kepada kitab kuning. Hal yang begitu ditolak jika kita melihat konteks tahun 1950-1960-an ketika Geertz melakukan penelitian dan menulis bukunya.
(2) Kalangan tradisionalis telah semakin banyak yang menulis kitabnya sebagai ulasan (supreme commentary) atau ringkasan (mukhtashar) dalam tulisan latin. Dan beberapa pesantren Muhammadiyyah telah melakukan kombinasi kurikulum kitab kuning dan kurikulum modern.
Keduanya ini setidaknya jika kita mempercayai laporan Martin Van Bruinessen dalam jurnalnya tentang: “Kitab Kuning: Books in Arabic Script Used in the Pesantren Milieu”.
R. Ahmad Nur Kholis
Malang, 20 Maret 2023

Tidak ada komentar:
Posting Komentar