Pendahuluan
Di dalam salah satu kalimat yang tertuang di dalam tri sataya pramuka, terdapat kalimat demikian: “Demi kehormatanku aku berjanji akan bersungguh-sungguh....”. kalimat ini menurut sementara pihak, mengandung kata-kata kemusyrikan karena dalam kalimat ini terdapat kata-kata berikut: “demi kehormatanku”. Hal ini berkaitan dengan larangan bersumpah dengan (atas nama) selain Allah yang diriwayatkan Abu Dawud sebagai berikut:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فقد أشرك
Artinya:
Barang siapa yang bersumpah demi selain Allah maka sungguh ia telah syirik.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Al-‘Ala’ dari Ibnu Idris, dari Hasan bin Ubaidillah, dari Sa’ad bin ‘Ubaidah, dari Ibnu Umar. Hadits ini tertera di dalam kitab As-Sunan karya Abu Dawud sebagai hadits nomor 3251.
Namun demikian, benarkah mengucapkan kalimat seperti yang tertuang di dalam tri satya pramuka itu adalah syirik adanya?. Kiranya beberapa penjelasan berikut ini dapat membantu memberikan pemahaman.
Pembahasan
(Pertama) harus diketahui bahwa terdapat pula hadits lain yang berada satu bab dengan hadits di atas dalam kitab As-Sunan karya Abu Dawud. Hadits tersebut adalah:
أَفْلَحَ وأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ، دَخَلَ الْجَنَّةَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ
Artinya:
“Ia akan berbahagia, demi ayahnya, jika ia benar!, ia akan masuk surga, demi ayahnya, jika ia benar!.”
Hadit di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Sulaiman bin Dawud Al-‘Atakiy, dari Isma’il bin Ja’far Al-Madaniy, dari Abi Suhail Nafi’ bin Malik bin Abi Amir dari ayahnya, dari Thalhah bin Ubaidillah. Hadits ini tertera dalam kitab As-Sunan karya Abu Dawud nomor 3252. Pembicaraan hadits ini berkaitan dengan hadits kisah seorang arab badui yang bertanya: “kapan hari kiamat?.” Di dalam hadits ini, nabi bersumpah dengan menggunakan nama selain Allah, yakni dengan kalimat: ‘demi bapaknya’.
Di dalam kaitannya dengan hadits yang disebutkan terakhir itu, Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim demikian:
فَإِنْ قِيْلَ: الْحَدِيْثُ مُخَلِفٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَفْلَحَ وَأَبِيْهِ إِنْ صَدَقَ) فجوابه أنَّ هَذِهِ كَلِمَةٌ تَجْرِى عَلَى اللِّسَانِ لَا تَقْصِدُ بِهَا اليَمِيْنَ.
Artinya:
Jika ditanyakan: hadits (larangan bersumpah dengan nama selain Allah ini bertentangan dengan sabda nabi: (berbahagia, demi ayahnya, jika ia benar), maka jawabannya adalah: bahwa perkataan ini berlangsung atas ucapan yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah. (An-Nawawi, tt:1047)
Penjelasan ini disampaikan oleh An-Nawawi dalam penjelasan pendahuluannya sebelum memberikan penjelasan (syarah) terhadap hadits-hadits larangan bersumpah dengan menggunakan nama selain Allah.
(Kedua) para ulama membagi ungkapan sumpah ke dalam 3 (tiga) macam, yaitu: (1) ungkapan sumpah yang sia-sia (Al-Ayman Al-Laghwi); (2) sumpah yang mengikat (Al-Ayman Al-Mun’aqidah); dan (3) Sumpah yang menjerumuskan (Al-Ayman Al-Ghamusah). Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana diuraikan oleh Syaikh Ali As-Shabuni, (2007, (1):221) menjelaskan bahwa sumpah yang sia-sia adalah sumpah yang diucapkan dengan tanpa niatan bersumpah. Imam Abu Hanifah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang sia-sia adalah sumpah yang diucapkan seseorang atas persangkaannya terhada sesuatu yang ternyata tidak terjadi demikian. Imam Malik berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sumpah yang sia-sia adalah sumpah yang diucapkan seseorang atas keyakinannya akan sesuatu yang ternyata terjadi tidak demikian. At-Thabari menjelaskan bahwa sumpah yang sia-sia adalah sumpah yang diucapkan secara tidak sengaja. Pengertian sumpah sia-sia yang dijelaskan oleh As-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan juga Imam Malik didukung oleh hadits aisyah yang menjelaskan tentang latar belakang turunnya ayat Al-Qur’an surah Al-Baqarah (2):225. Sedangkan penjelasan Imam Abu Hanifah didukung oleh penafsiran Ibnu Abbas akan ayat itu. (As-Shabuni, 2007, (1):221).
Sedangkan pengertian sumpah yang mengikat (Al-Ayman Al-Mun’aqidah) adalah sumpah yang diucapkan seseorang untuk melakukan sesuatu di masa yang akan datang atau tidak melakukannya. (As-Shabuni, 2007, (1):405). Sumpah ini sah adanya jika diucapkan atas nama Allah, sebagaimana dijelaskan oleh Ad-Dimasyqi (tt, (2):247); Al-Baijuri, (2004, (2):588-589), dan dengan demikian pula ia menjadi harus membayar denda (kafarat) jika tidak dipenuhi.
Sedangkan sumpah bohong (Al-Ayman Al-Ghamusah) adalah sumpah yang dikatan seseorang untuk menutupi kebohongan dan dilakukan secara sadar. Sumpah ini dilakukan dengan mengucapkan nama Allah. Perbuatan ini adalah berdosa adanya. Hal ini karena perbuatan yang demikian itu adalah menghina kemuliaan Allah.
(Ketiga) bahwa dalam kenyataannya, tri satya pramuka itu diucapkan sebagai suatu bentuk ikrar dan komitmen diri untuk melaksanakan suatu hal dan tidak berkaitan dengan kepentingan orang lain secara langsung. Hal demikian pula terjadi dalam kebudayaan masayarakat dalam mengucapkan kata: “demi...!”, seperti: “demi tanah air”, “demi keluarga” dan sebagainya yang tidak terkait sama sekali dengan sumpah.
(Keempat) bahwa segala sesuatu yang diucapkan dalam bentuk sumpah (seperti penggunaan kata ‘demi!’) yang tidak dimaksudkan sebagai sumpah adalah (laa yan’aqidu bihi yamiina) boleh menggunakan selain nama Allah. Hal ini sebagaimana tersirat dalam penjelasan Al-Baijuri, (2004, (2):589).
Hal ini tentu saja berbeda dengan kalimat-kalimat sumpah yang diucapkan untuk keperluan seperti: mamastikan kejujuran persaksian dalam persidangan, penanda-tanganan pakta integritas dalam suatu institusi, dan sebagainya.
Kesimpulan
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka, kiranya hukum pengucapan tri satya adalah lebih mendekati pengertian sumpah yang sia-sia (Al-Ayman Al-Laghwi) sebagaimana dijelaskan di atas. Hal ini karena ia diucapkan sebagai bentuk komitmen pribadi dan bukan komitmen yang berkaitan dengan orang lain. Sebagai konsekuensi logisnya, maka ia boleh (dan sah) untuk diucapkan tidak menggunakan nama Allah.
Malang, 19 Syawal 1442 H / 31 Mei 2021
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Referensi
As-Sajistani, Sulaiman bin Asy’ats (Abu Dawud). 2015. As-Sunan (vol. 5). Cairo: Daar At-Ta’shil
An-Nawawi, Abi Zakariya Yahya bin Syaraf. tt. Al-Minhaj Syarah Muslim bin Hajjaj. Bait Al-Afkar Ad-Dauliyyah
As-Shabuni, Muhammad Ali. 2007. Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an (vol. 2). Cairo: Daar Al-Shabuni
Al-Baijuri, Ibrahim. 2004. Hasyiyah As-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarhi Al-‘Allamah Abi Al-Qasim Al-Ghazi ‘ala Matni Abi Syuja’ (vol. 2). Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah

sae
BalasHapusok. sip
BalasHapus