Jumat, 12 Agustus 2022

MAKNA KOPIAH DAN SORBAN DALAM MASYARAKAT PESANTREN MADURA


R. Ahmad Nur Kholis


Dalam kehidupan masyarakat pesantren di Madura, kopiah dan sorban memiliki makna tersendiri sebagai tradisi. Misalnya, ketika saya masih belajar di Pondok Pesantren Sumber Bungur Pakong, Pamekasan Madura. Para santri, diwajibkan memakai kopiah (songkok) hitam ‘khas Gresik’. Adapun Kiai, memakai kopiah putih yang biasanya disebut sebagai ‘songkok haji’. Saya sendiri pun ketika pertama kali datang mondok di situ, dan memakai kopiah putih, segera diminta mengganti kopiah dalam waktu dekat dengan kopiah hitam. “Di sini hanya boleh memakai kopiah putih jika sudah hafal alfiyah.” Kata salah seorang dari keluarga pengasuh.

Fakta lain juga dapat dijelaskan, bahwa pemakaian sorban hanya dikenakan oleh mbah kiai kami Kiai Madani ketika hendak berangkat Jum’at. Demikian pula ketika ada acara-acara tertentu yang besar yang beliau selenggarakan. Adapun para santri, tidak diperkenankan sama sekali mengenakan sorban. Bahkan dengan mengabaikan ketentuan kesunahan memakai sorban sebagaimana dibahas dalam kitab Fathul Mu’in, yang ketika itu (tahun 2000) kami mengaji kepada Kiai Zaini.

Kita melihat bahwa pemakaian kopiah dan sorban di dalam tradisi pesantren di Madura ini bukan perkara yang sembarangan. Di Pesantren Miftahul Ulum Bata-bata, Pamekasan saya mendengar sorban diberikan dan diperkenankan bagi para santri yang telah menamatkan kajian alfiyah dan lulus ujian kitab tersebut. Prosesi pemakaian sorban secara resmi dilakukan oleh kiai kepada santri yang lulus tersebut. 

Kiai Madani sendiri di Pondok Pesantren Sumber Bungur selalu tampak bagi kami dan para santri, memakai kopiah hitam ‘ala Gresik’ tersebut ketika hendak bepergian jauh. Terkadang ke Pesantren Jombang, atau ke Buduran Sidoarjo, atau pesantren lain yang jauh. Kita para santri biasanya ‘nengeri’ bahwa ketika Mbak Kiai Madani keluar dengan mobil (bersama sopir) dan memakai kopiah hitam, berarti sedang bepergian jauh. Hal ini mungkin untuk menunjukkan bahwa keberangkatannya itu di dalam rangka acara di mana ia tidak perlu menunjukkan ke-kiai-an-nya.

Fakta-fakta ini sempat menjadi pertanyaan dalam benak saya dalam waktu lumayan lama. Akan tetapi saya mendapatkan informasi baru-baru ini dari seorang kia kampung di desa saya, bahwa ini semua dalam rangka untuk membedakan mana kiai, mana santri dan mana yang masyarakat awam. Tentu saja legalitas sebagai kiai—sebagaimana dijelaskan dalam Choirul Anam (1985); Martin van Bruinnessen (1999)--adalah melalui legitimasi Kiai yang lebih senior dan secara umum adalah gurunya.

Namun, kita melihat falsafah dan kebudayaan pesantren ini sudah semakin sering dilanggar. Banyak orang yang tak mengenyam pendidikan pesantren sekalipun, dan bahkan baru saja mengidentifikasi sebagai islami kemudian memakai kopiah putih dan sorban. Saudara, Kopiah dan sorban dalam tradisi nusantara bukanlah hal yang sembarangan. Ada makna keulamaan dan kesantrian di balik itu semua. 

Malang, Jum’at, 12 Agustus 2022

1 komentar: