Deskripsi Masalah:
Assalamualaikum.
Di zaman sekarang alat transportasi serba canggih dengan pesawat super cepat. Dari Indonesia ke Arab Saudi bias ditempuh dalam perjalanan kurang lebih 5 atau 6 jam.
Pertanyaan:
- Dalam masalah puasa, bolehkahkah jika seseorang makan sahur di Indonesia, dan berbuka di Arab Saudi melihat waktu cukup jauh berbeda. Contoh jadwal penerbangan dari Indonesia ke Arab Saudi siang. Sampai di Arab bertepatan dengan waktu maghrib waktu berbuka puasa. Bolehkah kita berbuka puasa di Arab sedangkan di Indonesia masih siang?
- Dalam masalah shalat, ketika misalnya kita sudah sholat dzuhur di Indonesia, sesampainya di Arab masih adzan Dzuhur. Apakah kita masih diwajibkan sholat Dzuhur lagi, sedangkan di Indonesia sudah sholat duhur. Mohon pencerahannya.
Syamsul Mu'allim, Palembang
HP: 085367078982
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jawab:
Waalaikum salam warahmatullah wa barakatuhu
Mas Syamsul Mu’allm yang saya hormati, semoga Allah SWT, senantiasa merahmati anda dan kita semua.
Apa yang mas Syamsul Mu’allim tanyakan begitu relevan dengan kenyataan aktual yang ada saat ini. Kemajuan sains memang menuntut agama dapat menjawabnya. Agama memang dituntut untuk dapat menjawab tantangan zaman yang terus melaju bahkan sampai saat ini yang belum kita mengerti sampai di manakah ujung perkembangannya.
Mengingat apa yang mas Syamsul Mu’allim tanyakan ini, saya menjadi teringat akan cerita seorang dosen saya ketika saya kuliah S-2 Pascasarjana Universitas Islam Malang. Ketika itu, sang dosen menceritakan kasus yang mirip dengan apa yang menjadi pertanyaan ini. Ketika dosen saya ini harus melakukan perjalanan dengan pesawat dari Jakarta menuju Tokyo, dan pada beberapa jam kemudian ia juga harus meneruskan perjalanan lagi ke Detroit, dan kembali lagi ke Jakarta. Saya sudah lupa bagaimana detail cerita itu, namun ringkasnya, sang dosen saya ini kehilangan beberapa waktu shalatnya yang belum ia jalani.
Untuk menjawabnya, ijinkanlah saya menggunakan suatu penjelasan yang diberikan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Kasyifah As-Saja syarh Safinah An-Naja berikut ini:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ مَتَى حَصَلَتِ الرُّؤْيَةُ فِي الْبَلَدِ الشَّرْقِيِّ لَزِمَ رُؤْيَتُهُ فِيْ الْبَلَدِ الْغَرْبِيِّ دُنْ عَكْسِهِ، وَلَوْ سَافَرَ مَنْ صَامَ إِلَى مَحَلٍّ بَعِيْدٍ مِنْ مَحَلِّ رُؤْيَتِهِ وَافَقَ أَهْلَهُ فِي الصَّوْمِ آَخِرًا، فَلَوْ عَيَّدَ قَبْلَ سَفَرِهِ ثُمَّ أَدْرَكَهُمْ بَعْدَهُ صَائِمِيْنَ أَمْسَكَ مَعَهُمْ، وإِنْ تَمَّ الْعَدَدُ ثَلَاثِيْنَ، لِأَنَّهُ صَارَ مِنْهُمْ، أَوْ سَافَرَ مِنَ الْبَعِيْدِ إَلَى مَحَلِّ الرُّؤْيَةِ عَيَّدَ مَعَهُمْ، وَقَضَى يَوْمًا إِنْ صَامَ ثَمَانِيَةً وَعِشْرِيْنَ، وَإِنْ صَامَ تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ فَلَا قَضَاءَ، وَهَذَا الْحُكْمُ لا يَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ، بَلْ يُجْزِئُ فِي غَيْرِهِ أَيْضًا، حَتَّى لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ بِمَحَلٍّ وَسَافَرَ إِلَى بَلَدِهِ فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ وَجَبَتِ الْإِعَادَةُ. (كاشفة السجا للنووي البانتانى)
Artinya:
Dan ketahuilah! Bahwasanya ketika (hilal) dapat dilihat di suatu tempat di arah timur, maka wajib (hilal tersebut) dilihat dari tempat di sebelah barat, tidak sebaliknya. Dan jika saja seorang yang berpuasa melakukan perjalanan ke suatu tempat ke suatu tempat yang jauh dari tempat ia melihat (hilal, dan) mendapati warga daerah itu sedang dalam kondisi berpuasa hari terakhir, maka jika ia telah berhari raya sebelum melakukan perjalanan, kemudian ia menemui warga daerah yang dikunjunginya kemudian sedang berpuasa, maka ia berpuasa (lagi) bersama mereka. Dan (hal ini harus dilakukan) meskipun telah sempurna baginya puasa 30 (tiga puluh) hari, karena ia telah menjadi bagian dari mereka. Atau ia melakukan perjalanan dari termpat yang jauh sampai ke suatu tempat dilihatnya (hilal bulan Syawal), maka ia (harus) berhari raya bersama mereka, dan ia mengganti satu hari puasa jika ia berpuasa sebanyak 28 (dua puluh delapan) hari, dan jika ia telah berpuasa 29 (dua puluh sembilan) hari, maka tidak harus mengganti. Dan (ketentuan) hukum ini tidak dikhususkan pada puasa, akan tetapi juga berlaku pada permasalahan yang lain juga, sampai-sampai jika seseorang telah melaksanakan shalat maghrib di suatu tempat, dan ia bepergian ke suatu tempat dan menemui (warga) tempat itu belum masuk waktu maghrib, wajib baginya mengulang kembali shalat maghrib. (Kasyifah As-Saja karya Syaikh Nawawi Al-Bantani)
Kesimpulan:
Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani di atas, dalam kaitannya dengan pertanyaan mas Syamsul Mu’allim dapat disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
- Orang yang telah mengakhiri puasa karena telah masuk hari raya, dan melakukan perjalanan ke tempat yang jauh di mana warga setempat yang ia kunjungi belum lagi berhari-raya, maka orang telah berhari raya itu harus mengikuti puasa warga setempat yang ia kunjungi.
- Ketentuan ini juga berlaku di dalam masalah lain sebagaimana shalat. Sehingga, ketika misalnya seseorang telah shalat maghrib, kemudian ia berkunjung ke tempat yang jauh dan menjumpai warga setempat yang ia kunjungi itu belum melaksanakan shalat maghrib, maka ia harus melaksanakan kembali shalat maghrib bersama dengan warga setempat yang ia kunjungi.
Demikian semoga ini dapat membantu menjawab pertanyaan.
Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Salam,
Malang, 28 Desember 2022
R. Ahmad Nur Kholis
Kirim pertanyaan anda seputar Agama Islam. Klik pada tautan ini!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar