Selasa, 03 Januari 2023

HUKUM MENCERAIKAN ISTRI YANG BERZINA


(download makalah lengkap)

Deskripsi Masalah

Assalamualaikum. Maaf mau bertanya kejadian ini terjadi pada tetangga saya. Ada seorang berumah tangga, istrinya tinggal di rumah orang tuanya. Si suami mau ke istrinya selalu di larang. Kalau memaksa pun dtng ke mertua nya, si istrinya selalu tidak ada di rumah dan itu selalu buat alasan bahwa anak nya itu kerja di sebuah perusahaan. Lama dan lama ketahuan ternyata selama ini orang tua nya selalu menyembunyikan anak nya terhadap menantu nya. Ternyata si anak nya ini sedang hamil bukan sama menantu nya. Ternyata anaknya itu sudah berselingkuh dan orang tuanya mendukung nya bukan melarang nya. Malah orang tuanya meminta supaya menantu nya menceraikan anak nya.


Pertanyaan:

Yang menjadi pertanyaan kalau istrinya sudah hamil sama orang lain. Apa yg harus di lakukan suaminya? Mempertahankan karena sudah mempunyai anak 2 (dua), atau menceraikan nya?

Mohon penjelasan ustadz!, Tolong bantu jawab ustadz kasihan dia!


NN, Banten

-----------------------------------

Jawab
Waalaikum salam warahmatullah wabarakatuh
بسم الله والحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى أله وصحبه أجمعين.
Semoga kita selalu berada di dalam lindungan serta mendapatkan rahmat-Nya.
Mencermati pertanyaan anda, maka di dalam jawaban yang saya berikan ini sedianya saya akan membahas beberapa hal di bawah ini yang utamanya akan saya bahas berdasarkan fiqih madzhab syafi’i:

1. Hukum menceraikan pasangan yang ketahuan hamil dari hubungan dengan pria lain?
Berdasarkan kepada hadits yang menyatakan bahwa: “tidak ada perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”, maka para ulama Syafi’iyyah seperti Al-Malibari dan Al-Baijuri menjelaskan bahwa hukum asal dari perceraian adalah makruh. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya tidak ada perkara halal yang dibenci oleh Allah. Dan pernyataan hadits yang demikian itu menunjukkan bahwa perceraian pada dasarnya adalah makruh karena merusak tali ikatan pernikahan yang dianjurkan oleh syariat. (Al-Baijuri, (2):258-259). 
Akan tetapi kemakruhan perceraian ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Malibari di dalam kitab Fathul Mu’in bisa saja wajib, sunnah, makruh, dan bisa pula haram. (Al-Malibari, 112). Berikut ini penjelasannya:
  1. Perceraian yang wajib adalah seperti perceraian yang harus dilakukan karena suami bersumpah untuk tidak menggauli (menyetubuhi) istrinya selama umurnya atau selama lebih dari 4 (empat) bulan. (Abu Bakar Shatha Al-Makkiy, (3):3). Inilah yang dimaksud dengan al-iyla’, yakni bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama beberapa waktu. Hal ini didasarkan oleh beberapa hadits seperti di dalam Sunan An-Nasa’i yang menyatakan bahwa nabi pernah melakukan iyla’ kepada istrinya selama satu bulan.  (An-Nasa’i, (6):288-289). Berdasarkan QS. Al-Baqarah, (2):226), maka secara otomatis jatuh thalaq jika seorang laki-laki bersumpah untuk tidak menggauli istrinya selama 4 (empat) bulan atau lebih.
  2. Perceraian yang sunnah (dianjurkan) adalah perceraian yang disebabkan beberapa hal seperti: 1) istri yang tidak bisa menjaga diri atau tidak berakhlaq baik; 2) istri yang tidak sabar (tidak merasa cukup) atas nafkah yang diberikan suaminya kepadanya; 3) suami yang tidak dapat memberikan hak-hak istrinya dengan baik (seperti hak mendapatkan perlindungan, perlakuan yang baik, dan ketenangan batin).
  3. Perceraian yang makruh, dan inilah hukum asal perceraian sebagaiaman dijelaskan para ulama atas hadits “tidak ada perkara halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq”. Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in menjelaskan bahwa perceraian yang makruh adalah perceraian yang dilakukan dalam kondisi normal. Dalam arti tidak terjadi apa-apa (kegaduhan) yang berarti seperti pertengkaran yang demikian sangat atau semacamnya.
  4. Perceraian yang haram, yaitu perceraian yang bid’ah, seperti: (a) orang yang menceraikan istrinya yang digauli pada saat menstruasi sedang si laki-laki tidak membayar uang ganti rugi (di dalam fiqih Islam, suami yang menggauli istrinya di saat haidh harus membayar uang ganti rugi kepada istrinya), (b) menceraikan istrinya di masa suci di mana ia menjima’ istrinya di dalamnya; (c) menceraikan istri yang tidak mendapatkan gilirannya (bagi orang yang poligami); dan (d) sumai yang dalam kondisi sakit menceraikan istrinya dengan tujuan supaya terhalang mendapatkan warisan.
Demikianlah apa yang dijelaskan oleh Al-Malibari dalam kitab Fathul Mu’in.
Mencermati apa yang anda jelaskan dan anda pertanyakan, maka hukum perceraian yang mungkin tetangga anda akan lakukan adalah termasuk di dalam hukum sunnah (dianjurkan). Hal ini dikarenakan si perempuan tidak dapat menjaga dirinya dan berperangai tidak baik. Di dalam hadits di katakan bahwa: “sebaik-baik perempuan (yang hendak kamu nikahi) adalah perempuan yang jika kau lihat, ia begitu menyenangkanmu.” Sekarang, siapa yang senang melihat istrinya telah hamil dengan orang lain? Siapa yang senang melihat istrinya tidak baik perangainya?. Berdasarkan hadits inilah maka para ulama seperti Al-Malibari menghukumi makruh menikahi seorang perempuan pezina. Dan dengan demikian berarti menceraikan perempuan pezina adalah dianjurkan. Demikian pula menganjurkan pereceraian kepada mereka adalah tidak berdosa adanya.

2. Penyelesaian masalah di KUA dan keterkaitan dengan li’an beserta konsekuensi-konsekuensinya
Berkaitan dengan kehamilan si perempuan, ketika mediasi dilakukan oleh KUA untuk pengurusan perceraian yang tercatat oleh KUA, ada dan besar kemungkinan akan berkaitan dengan hukum qadzaf dan li’an. Berdasarkan QS. An-Nur, ayat 4 s.d 5, qadzaf adalah tuduhan dari seseorang kepada seorang perempuan bahwa telah melakukan zina. Berdasarkan ayat Al-Qur’an QS. An-Nur ayat 4 s.d 5 ini pula, maka tuduhan ini harus didasarkan kepada kesaksian 4 (empat) orang saksi. Jika 4 (empat) orang saksi tidak bisa didatangkan oleh orang yang menuduh, maka hukuman kembali kepada si-penuduh. Al-Qardlawi menambahkan dalam kitab fatawa Al-Mu’ashirah bahwa keempat orang saksi tersebut adalah saksi yang melihat secara alamiah dan bukan dalam kondisi sedang memata-matai.
Berdasarkan QS. An-Nur ayat 6 s.d 9, li’an adalah sumpah saling melaknat (suami-istri) yang mana salah satu dari keduanya menuduh yang lain berbuat zina, sedang tidak ada 4 (empat) orang saksi. Dalam kondisi demikian maka dilakukanlah sumpah li’an. Berdasarkan QS. An-Nur ayat 6 s.d 9, sumpah li’an dilakukan dengan prosedur:
  1. Si laki-laki bersumpah sebanyak 4 (empat) kali bahwa istrinya berzina (janin yang ada di dalam perut istrinya bukan darinya). Dan bersumpah sekali lagi untuk yang kelima bahwa “laknat Allah akan sampai kepadanya, jika ia (suami) berbohong.”
  2. Si perempuan bersumpah sembanyak 4 (empat) kali bahwa tuduhan suaminya adalah tidak benar adanya. Dan bersumpah untuk yang kelima kalinya untuk menyatakan bahwa “kemarahan Allah akan tiba bagi dirinya jika tuduhan suaminya adalah benar.”
Demikianlah berdasarkan QS. An-Nur ayat 6 s.d 9. Syaikh Yusuf Al-Qardlawi menjelaskan bahwa dengan dilaksanakannya sumpah li’an maka otomatis terjadi (terjatuh) thalaq (perceraian). 

3. Masalah hak asuh anak
Fiqih Islam mengatur masalah hak asuh anak ini dalam suatu bab yang dinamakan dengan hadhanah. Berdasarkan hadits “sebaik-baiknya anak adalah yang berada dalam (perawatan) ayah ibunya” maka para ulama seperti Al-Baijuri menjelaskan bahwa “harus diusahakan untuk dirawat bersama oleh ayah dan ibunya.” (HR Ibnu Majah No. 2351, At-Tirmidzi (No. 1357); HR. Ahmad (2/446); As-Syafi’iy (No. 1752). Hal ini jika kondisi masih dimungkinkan. Jika tidak, maka hak asuh anak berada pada salah satu dari keduanya. 
Berdasarkan Hadits seperti: (1) Riwayat Abu Dawud dalam Bab Thalaq nomor Hadits 2276; (2) Riwayat Al-Hakim (2/207); (3) Riwayat Ahmad (2/182), Ad-Daaruquthniy (No.: 418), dan (4) Al-Baihaqi (8/5), maka para ulama menyatakan diutamakan hak asuh anak ini kepada pihak perempuan. Berikut ini beberapa catatan tentang hak asuh anak dalam fiqih Islam:
  • Hak asuh diprioritaskan kepada ibu si anak sampai anaknya tamyiz (dewasa)
  • Secara prioritas, hak asuh anak terjatuh kepada:
    • 1) Ibu (pihak isteri)
    • 2) Nenek dari istri sampai ke atas
    • 3) Ayah (pihak suami)
    • 4) Ibu dari ayah sampai ke atas
    • 5) Saudara perempuan suami/istri
    • 6) Bibi dari ibu suami/istri
    • 7) Anak perempuan dari saudara perempuan suami/istri
    • 8) Anak perempuan dari saudara laki-laki suami/istri
    • 9) Bibi dari jalur ayah suami/istri
    • 10) Siapa saja (dari keluarganya) dengan pertimbangan tertentu
  • jika si anak sudah tamyiz (dewasa) maka ia bisa diminta memilih akan tinggal dengan siapa saja (ayah atau ibu)
  • bahwa biaya hidup dan pendidikan ditanggung oleh si ayah meskipun ia tinggal bersama dengan ibunya.
  • dalam hal ketika si istri menikah lagi, maka biaya hidup dan pendidikan dari anak dari suami yang telah bercerai itu ditanggung oleh suami lama dan suami baru.
Demikian apa yang yang kami dapat rangkumkan dari kitab Hasyiyah Al-Baijuri (karya Syaikh Al-Baijuri), Fathul Mu’in (karya Al-Malibari), dan Kitab I’anah Thalibin (Abu Bakar Shatha Al-Makkiy) mengenai masalah hak asuh anak ini.

Demikianlah, wabillahi At-Taufiq. Wassalamualaikum warahmatullah wa barakatuh.



R. Ahmad Nur Kholis
Ngajum, Malang, Jawa Timur
Email: kholis3186@gmail.com
 


Daftar Rujukan
  1. Al-Qur’an Al-Karim
  2. Hasyiyah Al-Baijuriy ‘ala Syarhi Abi Al-Qasim Al-Ghaziy ‘ala Matni As-Syaikh Abi Syuja’ (vol. 2). Karya: Syaikh Ibrahim Al-Baijuriy
  3. Fathul Mu’in Syarah Qurratul ‘Ain. Karya: Syaikh Zainuddin Al-Malibari
  4. I’anah Thalibin (vol. 4). Karya: Syaikh Abu Bakar Shatha Al-Makkiy
  5. Al-Fatawa Al-Mu’ashirah (vol. 4). Karya Syaikh Yusuf Al-Qardlawi
  6. Kifayah Al-Akhyar. Karya: Abu Bakar Al-Hishniy Ad-Dimasyqi
  7. Sunan An-Nasa’i (vol. 6). Karya: Al-Hafidh Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib An-Nasa’iy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar