Berkaitan dengan masalah qashar shalat, di dalam kitab Kifayah Al-Akhyar dijelaskan sebagai berikut:
واعلم أن مسافة الرجوع لا تحسب فلو قصد موضعا على مرحلة بنية أن لا يقيم فليس له أن يقصر لا ذهاب ولا إيابا وإن ناله مشقة مرحلتين لا يسمى طويلا. واعلم أيضا أنه لا بد للمسافر من ربط قصده بموضع معلوم فلا يقصر الهائم وإن طال سفره ويسمى هذا أيضا راكب التعاسيف.
Artinya:
Dan ketahuilah bahwa jarak kembali (pulang) tidak dihitung (sebagai jarak kebolehan shalat qashar). Jika saja seseorang menuju suatu tempat pada suatu tahapan perjalanan, dengan niat tidak menginap di sana, maka ia tidak diperkenankan meng-qashar shalat, tidak (diperkenankan baik) ketika berangkat, maupun juga ketika pulang, meskipun ia mendapatkan kesulitan dalam dua tahap perjalanan, hal itu tidak dianggap sebagai perjalanan panjang. Dan ketahuilah pula bahwa terdapat keharusan bagi seorang dalam perjalanan (musafir) untuk mengikatkan maksudnya (untuk shalat) di suatu tempat tertentu, maka seorang pengelana tidak boleh mengqashar shalat meskipun sudah ada dalam perjalanan panjan. Dan orang yang demikian ini dapat dikategorikan pula sebagai orang yang tertimpa kemalangan.
Berdasarkan dari keterangan di atas, maka dapat diketahui beberapa point sebagai berikut:
- Jarak tempuh yang membolehkan shalat, memperhitungkan jarak tempuh ketika berangkat, dan tidak diakumulasikan dengan jarak tempuh ketika pulang. Contoh: Jarak tempuh yang membolehkan shalat qashar adalah 16 farsakh, yang jika dikonversikan ke dalam satuan KM adalah 88,656 KM. Dalam kasus misalkan seseorang menempuh perjalanan Malang-Pandaan sejauh 47,1 KM, maka ia tidak diperkenankan untuk mengqashar shalat, meskipun jika diakumulasikan dengan jaraknya ketika pulang adalah 94,2 KM (melebihi masafah qashar).
- Seorang musafir, yakni seseorang yang melakukan perjalanan tanpa tujuan menginap, maka ia tidak diperkenankan untuk meng-qashar shalat. Hal ini berlaku meskipun seseorang mendapatkan kesulitan / keberatan (masyaqaat) dalam perjalanan. Maksudnya adalah dalam konteks, seseorang yang sedang dalam perjalanan untuk menuju suatu tempat di mana ia akan tinggal di situ untuk beberapa waktu. Maka ketika dalam perjalanan tersebut, ia berhak meng-qashar shalat. Adapun ketika ia telah sampai di tujuannya, maka tidak diperkenankan meng-qashar shalat. Adapun seorang pengelana yang tidak punya tujuan yang pasti, ia meskipun sedang dalam perjalanan terus-menerus, tidak diperkenankan meng-qashar shalat. Melainkan harus menentukan tempat pemberhentian tertentu untuk melaksanakan shalat sebagaimana dalam keadaan biasa. Dalam hal ini dapat dicontohkan seorang pengelana yang hidup mengembara.
- Dalam kasus yang ke-2 ini, maka seseorang yang sedang dalam perjalanan dan tidak bertujuan menginap, ia haruslah mengatur jadwal keberhentian di suatu tempat yang ditentukan untuk melaksanakan shalat secara tepat waktu dan sebagaimana biasanya dalam kondisi normal.
Wallahu a’lam.
Malang, 18 Juli 2022
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Tidak ada komentar:
Posting Komentar