قال تعالى:
مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (٥)
Artinya:
perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS. Al-Jumu’ah (62):5)
Ada yang bertanya kepada saya tentang maksud yang dikandung dari Al-Quran Surah Al-Jumuah (62):5 di atas. Pasalnya, takut karena ia sering membaca Al-Quran namun tidak mengerti artinya. Seorang penanya tersebut adalah seorang guru Al-Quran di sebuah sekolah menengah atas yang menyelenggarakan program tahfidzul quran. Si-penanya mengatakan kepada penulis: ‘apakah saya tidak termasuk kamatsalil himar yahmilu asfara…?.” katanya.
Sepertinya teman saya yang bertanya ini takut akan dirinya untuk diperumpamakan Al-Quran sebagai keledai yang membawa kitab. Pasalnya, ia membaca Al-Qur’an tapi tak mengerti artinya. Bahkan ia adalah guru TPQ yang juga mengajarkan membaca Al-Quran kepada anak kecil.
Benarkah apa yang dipersepsikan teman saya itu, bahwa setiap orang yang membaca Al-Qur’an dan tak mengerti artinya adalah seumpama keledai yang membawa kitab?. Melalui tulisan ini semoga kiranya dapat dijawablah pertanyaan itu. Semoga dapat membantu.
Kiranya model perumpamaan seperti ini dapat ditemukan dalam beberapa tempat di dalam Al-Qur’an. Perumpamaan orang-orang munafiq dijelaskan dalam Al-Baqarah, (2):17. Perumpamaan orang yang bersedekah diungkapkan dalam Al-Baqarah, (2):261. Perumpamaan orang yang bertuhan selain Allah adalah seperti laba-laba, dijelaskan dalam QS. Al-Ankabut, (29):41. Ayat yang paralel dengan pembahasan ayat yang sedang dibahas dalam artikel ini adalah QS. Al-A’raf:179 yang menuturkan sebuah perumpamaan yaitu:
....أُولَئِكَ كَالأنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ (١٧٩)
Artinya:
.... mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raf:179)
Dalam sebuah hadit riwayat Ibnu Abbas dalam Musnad Ahmad, perumpamaan mengenai keledai ternyata juga diungkapkan bagi orang yang berbicara sendiri di waktu khutbah Jum’at disampaikan. Riwayat tersebut yaitu:
حدثنا أبن نمير، عن مجالد، عن الشعبى، عن ابن عباس قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "من تكلم يوم الجمعة والإمام يخطب، فهو كمثل الحمار يحمل أسفارا، والذى يقول له "أنصت"، ليس له جمعة". (المسند، (1\230)
Artinya:
Menceritakan hadits kepada kami Abu Numair, dari Mujalid, dari As-Syi’by, dari Ibnu Abbas mengatakan: Rasulullah bersabda: “barang siapa berbicara pada saat imam berkhutbah, maka ia seperti keledai yang membawa kitab, dan orang yang mengatakan kepadanya: ‘diam!’, maka tiadalah jum’at baginya. (Musnad Ahmad, ((1):230)
Demikian pula model perumpamaan ini juga digunakan di dalam Alkitab Perjanjian Baru. Sebagaimana diungkapkan mengenai ‘perumpamaan seorang penabur’ dalam Matius, (13):3-23; Markus, 4:1-20; dan Lukas, 8:4-15. Di dalam Matius(13), dikatakan perumpamaan seperti: “(3)Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. (4) Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis.” Perumpamaan tentang ilalang di antara gandum (Matius, (13):24-30). Dan perumpamaan biji sesawi dan ragi (Matius, (13):31-34). Begitu juga di beberapa tempat lainnya perumpamaan juga digunakan. Kiranya pembahasan mengenai Alkitab dicukupkan sampai di sini karena pembahasan mengenai ‘perumpamaan’ dalam Alkitab akan membutuhkan ruangnya sendiri.
Perumpamaan Keledai
Sebelum penulis menjawab pertanyaan seorang teman tersebut, kiranya perlu dijelaskan terlebih dahulu bahwa setiap kita menjelaskan sesuatu dari ayat Al-Quran itu adalah menafsirkan. Dalam perkataan yang lain dapat dikatakan bahwa setiap seseorang yang menjelaskan ayat Al-Quran bukan berarti ia sudah menafsirkan Al-Quran. Hal demikian ini harus kita mengerti karena upaya menafsrikan Al-Quran memiliki seperangkat metode dan prosedur yang diikuti.
Dalam tulisan ini penulis tidak bermaksud untuk menafsirkan QS. Al-Jumu’ah ayat 5 itu. Melainkan mencoba untuk menyajikan persepektif dari berbagai penafsir yang telah mencoba menafsirkannya. Tentu saja penafsiran itu telah mengikuti metode-metode khusus yang sudah disepakati.
Di dalam tafsir Jalalain yang ditulis oleh Al-Mahalli dan As-Suyuthi, ada beberapa pokok penafsiran atas ayat ini. Beberapa pokok tersebut adalah: (1) (hummilu at-taurata) dijelaskan sebagai: ‘tuntutan bagi orang Yahudi untuk mengamalkan apa yang ada di dalamnya’; (2) (tsumma lam yahmiluuha) dijelaskan sebagai: ‘tidak mengamalkan isinya yaitu untuk mengenali sifat-sifat Muhammad (sebagai tanda kenabian) sehingga tidak mengimani kenabian-Nya’; (3) kata (....asfara....) di dalam ayat itu diartikan sebagai kitab. Penjelasan poin terakhir adalah bahwa perumpamaan keledai yang membawa kitab yang tidak bisa memanfaatkannya. Perumpamaan ini dinilai Al-Quran sebagai seburuk-buruknya perumpamaan.
Kiranya jika kita membaca tafsir Ibnu Abbas dan Tafsir Ibnu Katsir juga demikian penjelasannya. Yaitu bahwa ayat tersebut tidak lepas dari beberapa konteks yaitu: Pertama: khitab (konteks pembicaraan) ayat tersebut adalah orang-orang Yahudi; (Jalalain, (2):401);(Tanwirul Miqbas:595). Kedua: dijelaskan bahwa perumpamaan itu dibuat untuk menjelaskan orang-orang Yahudi yang berusaha menyembunyikan informasi tentang sifat-sifat nabi yang terakhir yang dalam faktanya ada pada diri Nabi Muhammad. (Tanwirul Miqbas:595)
Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat kelima QS. Al-Jumu’ah di atas berbicara dalam konteks orang-orang Yahudi yang menyembunyikan informasi-informasi kenabian yang ada dalam kitab suci mereka. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa selain mereka berusah menyembunyikan, orang-orang Yahudi juga menentang, mengubah dan mengganti isi dari kitab Taurat tersebut. Walhasil, bukanlah dalam konteks orang yang membaca Al-Quran namun tak mengerti maknanya.
Lalu bagaimana dengan Al-Quran sendiri?
Al-Quran dianjurkan untuk dibaca siapa saja di antara orang-orang beriman. Dan meskipun ia tidak mengerti artinya, ia dianjurkan membacanya dan dinilai sebagai ibadah. Kiranya kita bisa mengambil suatu pengertian akan apa itu Al-Qur’an yang dikemukakan oleh Az-Zarqani dalam hal ini. Az-Zarqani mengambil sebuah definisi paling konperhensip (jami’-mani’) di antara yang definisi yang ada. Definisi tersebut adalah definisi yang dirumuskan oleh para Ushuliyyun yang mengatakan:
.... بِأَنّه الكلام المعجز المنزل على النبى صلى الله عليه وسلم، المكتوب فى المصاحف، المنقول بالتواتر، المتعبد بتلاوته.
Artinya:
Kalam (Allah) yang merupakan mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) SAW. Yang tertulis di dalam mushaf, yang diriwayatkan secara mutawatir, serta membacanya dinilai ibadah.
Bagi Az-Zarqani pengertian Al-Quran demikian ini adalah pengertian yang cukup komperhensip. Karena pengertian ini telah mengejewantahkan berbagai sisi Al-Qur’an baik itu sebagai mu’jizat maupun sebagai kitab yang tertulis dalam mushaf dan kitab yang bernilai ibadah membacanya. Di mana pengertian-pengertian yang lain ada yang tidak memiliki cakupan dan batasan yang demikian sebagai sebuah definisi.
Pendapat bahwa Al-Qur’an merupakan bacaan yang bernilai ibadah ini merupakan hal yang menjadi pembeda dengan apa yang diriwayatkan Nabi Muhammad selain Al-Qur’an seperti halnya Hadits Qudsi. Al-Qur’an adalah wahyu Allah baik lafadz maupun maknanya. Sedangkan Hadits Qudsi adalah berasal dari Allah maknanya saja.
Al-Qur’an merupakan bacaan yang bernilai ibadah. Baik dibaca sebagian, maupun dibaca keseluruhan. Karena bernilai ibadah, maka para fuqaha mengatakan:
يحرم قراءة القرآن على الجنب
Haram membaca Al-Qur’an bagi orang yang sedang jinabat.
Selain itu, nilai ibadah pembacaan Al-Qur’an juga didukung hadits-hadits tentang fadhilah dan anjuran membaca Al-Quran sebagaimana dituangkan di dalam Kitab Riyadl As-Shalihin karya Imam Abi Zakariya Yahya An-Nawawi.
Karena bernilai ibadah, maka membacanya harus suci. Dan karena bernilai ibadah maka membacanya saja sudah mendapat pahala. Terlepas apa ia mengerti makananya atau tidak. Dalam hal ini sama halnya dengan shalat dan shalawat. Keduanya tetap bernilai ibadah bagi yang mengerjakannya dan terkhusus shalat harus dilakukan dalam bahasa arab meskipun ia tak mengerti artinya. Adapun orang yang mempelajari isinya atau mengajarkan bacaannya, atau mengajarkan isinya, maka ia mendapatkan pahala sebagai ibadah belajar dan membacanya.
Walhasil, maka orang yang membaca Al-Qur’an meskipun tak mengerti artinya adalah sebuah ibadah yang berpahala. Konteks ayat QS. Al-Jumu’ah(62 ayat 5 di atas adalah konteks orang-orang yahudi yang memahami Taurat tapi berusaha menyembunyikan kebenaran darinya. Bukanlah dalam konteks orang yang tak bisa membaca Al-Qur’an tapi tak mengerti artinya.
Wallahu a’lam.
Malang, 5 Juni 2020 M / 13 Syawal 1441 H
R. Ahmad Nur Kholis
(-) Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
(-) Pengajar Ilmu Nahwu di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
(-) Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang
(-) Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar