Jumat, 05 Juni 2020

TASAWUF




قال الله تعالى:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ فَلا تَغُرَّنَّكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلا يَغُرَّنَّكُمْ بِاللَّهِ الْغَرُورُ (٥)
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya janji Allah adalah benar, Maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu, memperdayakan kamu tentang Allah.
Ada beberapa hal dalam kenyataan kehidupan yang kita temui yang terjadi salah kaprah disama artikan atau diidentikkan dengan apa yang kita sebut sebagai “tasawuf.” Beberapa hal yang dimaksud adalah seperti: (1) Akhlak (perilaku moral); (2) Kuantitas Ibadah (katsrah al-Ibadah); (3) Ilmu hikmah (pengobatan tabib); (4) pertapaan (asketis); dan (5) Klenik (animisme-dinamisme). Maka di sini akan mencoba dijelaskan tentang bagaimana hal ini semua sebenarnya tidaklah tepat.

Pertama: perlu ditegaskan di sini bahwa tasawwuf adalah bukanlah akhlaq. Kita mengatakan bahwa memang seorang pelaku tasawuf (sufi) harus berakhlak mulia. Tapi dengan akhlak mulia semata bukan berarti seseoran yang berperilaku demikian lantas kita sebut seorang yang bertasawuf (sufi). Karena dalam kenyataan kita dapat temui banyak orang berakhlak baik yang hanya berpura-pura. Demikian pula kita juga kita sering menemui seseorang yang berakhlak baik di hadapan orang lain namun kenyataan berbeda ketika di belakangnya. Hal demikian ini tentu saja sama sekali bukanlah semangat dari tasawuf.

Kedua: tasawuf tidaklah diukur dengan seberapa banyak jumlah (kuantitas) ibadah yang dilakukan. Adalah bahwa seorang sufi banyak beribadah, hal ini perlulah kita perinci. Jika yang dimaksud adalah ibadah mahdlah (ibadah murni seperti shalat sunnah, wirid dan sebagainya), maka seorang sufi bisa saja melaksanakannya dalam kuantitas yang banyak, namun bisa juga tidak demikian. Namun jika dimaksud ibadah adalah perbuatan baik secara umum (seperti bekerja mencari nafkah) maka dalam hal ini para sufi pastilah setuju. Seorang pelaku tasawuf memang ia menjadikan kegiatan kesehariannya sebagai ibadah—dalam konteks bentuk pengabdian—kepada Allah. Dan secara umum dapat kita sepakati bahwa para sufi tidak menjadikan jumlah kuantitas ibadah sebagai ukuran bertasawwuf.

Ketiga: harus dimengerti bahwa tasawuf bukanlah ilmu hikmah. Ilmu hikmah sebagaimana populer di beberapa pesantren dikenal sebagai ilmu perdukunan atau ilmu ketabiban. Kita mengakui bahwa ada sebagian sufi yang berprofesi seperti itu. Bahkan ada kitab khusus tentang ilmu hikmah ini seperti Mamba’ Ushulil Hikmah karya Al-Buni. Ada juga kitab Al-Aufaq (azimah [jawa: jimat]). Hal demikian ini bukanlah ukuran bagi kita untuk menentukan kesufi-an seseorang. Seseorang tidak lantas dikatakan sebagai sufi dengan memiliki keahlian pengobatan.
Ilmu pengobatan semacam ini, (dan juga ilmu mahabbah (ilmu pellet)) juga ada dalam banyak agama yang lain. Bahkan agama-agama kaum grass-root seperti kejawen.

****
Catatan tambahan:
Saya menemui dalam kitab Sullam Al-Futuhat yang disusun KH Hannan Maksum Kwagena Kediri bahwa: Ada riwayat mengatakan bahwa Nabi juga pernah menggunakan wifiq (jimat) ini. Yakni ketika Nabi Muhammad mendapatkan hadiah kopiah atau semacam topi (qalansuah) dari raja Najasyi yang beragama Nasrani. Kiriman (paket) kopiah ini disertai pula dengan sepucuk surat bersamanya. Sepucuk surat itu membawa pesan bahwa ‘kopiah ini bertuah, dan barang siapa yang sakit kepala maka jika memakainya akan sembuh.”
Kemudian nabi memanggil para sahabat berkumpul. Beliau bertanya kepada semua yang hadir, siapakah di antara mereka yang sakit kepala. Majulah seseorang yang sakit kepalanya. Kemudian dipakaikan kopiah itu, dan sembuh. Kemudian ada lagi yang sakit kepala, dan dipakaikan-Nya lagi kopiah itu, maka sembuh pulalah orang tersebut. Nabi meminta agar kopiah itu digeledah, maka ditemukanlah selembar kertas kecil bertuliskan sebuah rajah. Rajah itu tidak bertuliskan bahasa arab (melainkan bahasa Romawi jika saya tak salah ingat). Maka nabi memerintahkan para sahabat yang bisa untuk menerjemahkannya dalam bahasa Arab. Kemudian rajah itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Tulisan rajah dalam bahasa arab itu kini termuat dalam kitab Sullaf Al-Futuhat yang disusun KH Hannan Maksum itu.
****

Keempat: Tasawuf bukanlah semacam kegiatan pertapaan. Adalah benar jika di dalam tasawuf itu benar-benar ditekankan aktifitas seperti Riyadlah (menahan nafsu) dan Mujahadah (sungguh-sungguh beribadah). Namun kedua hal ini semata bukanlah dinamakan tasawwuf. Dalam arti bahwa tasawuf bukan semata-mata kegiatan semacam ini. Seorang sufi pada tahap tertentu memang ada yang memilih kegiatan pertapaan dalam riyadlah dan mujahadah ini. Kegiatan ini disebut dengan ‘tahannus’, namun kegiatan ini pula juga berarti memvonis seseorang yang melakukannya sebagai sufi. Karena banyak orang yang menyepi dengan tujuan yang berbeda-beda.

Suatu saat Salman Al-Ghifari dipuji Rasulullah betapa baiknya ia senantiasa berdiam diri di Masjid dalam sepi. Salman Al-Ghifari kemudian mengatakan bahwa ia berada di Masjid seharian bukan karena apa-apa. Melainkan karena takut ditagih hutangnya. Kita melihat bahwa hal demikian sama sekali bukanlah perilaku sufisme.

Kelima: tasawuf bukanlah klenik. Hal ini adalah sangat jauh sekali. Karena klenik ini adalah sisa-sisa kepercayaan Animisme-Dinamisme dalam perkembangan awal kebudayaan manusia. Kepercayaan Anisme-Dinamisme ini secara umum dapat dikatakan sebagai kepercayaan akan kekuatan-kekuatan roh halus dan benda-benda (yang dianggap) mistis di atas bumi.

Kiranya setelah kita membaca berbagai penjelasan di atas, kita akan bertanya: “lalu, apakah yang dinamakan tasawwuf?.”
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mungkin kita perlu memperhatikan hidup dan kehidupan kita. Dalam kehidupan keseharian, kita sering menjumpai suatu kenyataan yang ironis. Kita sering menjumpai bahwa ada seseorang atau bahkan kita sendiri mengerjakan sesuatu ibadah atau kebaikan seakan-akan adalah benar-benar kebaikan. Ketika kita merasa hidup ini demikian menyesakkan, lalu kita membaca Al-Quran. Ketika kita merasa bahwa hidup ini tidak tenang, maka kita mencoba shalat malam. Ketika kita merasa ekonomi sulit maka kita menjadi rajin shalat Dhuha. Demikian pula ketika kita diundang untuk suatu kajian, kita merasa bahwa kita telah melaksanakan kebaikan sebagai amanah Allah mengajak kepada kebaikan. Tapi mungkin kita mengeluh ketika transportnya dirasa sedikit, apalagi sebelumnya kendaraan bocor dan bensin habis. Kita merasa telah melaksanakan ta’lim dengan mengajar, namun kita masih mengeluh ketika gajinya lambat. Bahkan ada guru yang demo karena sertifikasi tidak cair.

Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa pada dasarnya tasawwuf adalah suatu kondisi. Kondisi yang ada pada diri seseorang yang di mana dirinya mengejewantahkan semua wujud Tauhid dalam setiap tindak-tanduknya. Bentuk pengejewantahan tauhid ini kemudian diaplikasikan dalam bentuk amaliah yang secara kualitatif sangat bernilai sebagai bentuk penghambaan kepada Tuhan yang Maha Wujud.

Dalam pada itu maka seorang sufi senantiasa merasa bahwa dalam segala aktifitasnya sehari-hari, haruslah dipersembahkan kepada Allah. Semua aktifitas baik yang berupa aktifitas ibadah murni maupun aktifitas lainnya seperti: berkeja (melaksanakan tugas), makan, tidur, berbicara dan sebagainya adalah untuk menghamba (ibadah) kepada Allah.

Dengan demikian maka, kenyataan-kenyataan sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bagi orang sufi adalah keliru adanya. Bagi seorang sufi kegiatan ibadah dan berbuat baik bukanlah sebuah transaksi antara manusia dengan Tuhan. Karena dengan demikian seakan-akan seseorang berkata kepada Tuhannya bahwa: ‘Tuhan!, aku membaca Al-Quran, maka hilangkanlah kesempitanku’; ‘Tuhan!, aku bertahajjud, maka hilangkanlah kesusahanku’; ‘Tuhan, aku shalat maka lancarkanlah rezekiku.’ Di sinilah maka kita terkadang tertipu dengan apa yang mengatas-namakan Tuhan.
ولا يغرنكم بالله الغرور
“janganlah engkau tertipu dengan suatu hal yang mengatas namakan Tuhan.”

Kita berdakwah, seakan adalah kebaikan dan mengikuti Tuhan. Tapi ketika yang hadir kecewa kepada kita kita lalu bersedih. Ketika tidak diberi bisyarah (honorarium) kita mengeluh. Kita mengajar sebagai guru, ketika gaji lambat kita mengeluh. Ketika sertifikasi tidak cair lalu demonstrasi. Inilah yang disebut dengan “yaghurronnakum billahi al-gharur.”

Seorang yang sufi berkeyakinan dan menanamkan dalam dirinya bahwa segala bentuk penghambaan (ibadah) baik yang murni maupun kebaikan secara umum adalah untuk dipersembahkan kepada Allah. Inilah amal yang sejati.

Dapat disimpulkan bahwa tasawwuf merupakan suatu kondisi di mana seorang hamba memposisikan Tuhan sebagai Tuhan-nya dan dirinya sebagai hamba. Dan ketika ini telah tertanam, maka ia melaksanakan tugas sebagai hamba kepada Tuhannya. Tuhan adalah absolut adanya. Kuasa dan kehendak-Nya adalah mutlak adanya. Sedangkan semua makhluk adalah relatif adanya.

Menarik untuk menjelaskan relatifitas makhluk ini dalam kacamata tasawwuf. Karena dengan demikian berimplikasi kepada setidaknya 2 (dua) hal yaitu: (Pertama) seorang sufi tidak akan dengan mudah memfonis seseorang dengan vonis yang baik atau buruk. Semua adalah relatif di bawah kuasa dan kehendak tuhan yang mutlak. Bisa saja seorang yang sering ibadah itu masuk neraka, jika Tuhan berkehendak kita mau apa?. Bisa saja seorang pendosa itu masuk surga, jika Tuhan berkehendak kita bisa membantah bagaimana?. (Kedua) seorang sufi akan cenderung untuk melihat pada dirinya sendiri. Akan cenderung waspada akan setiap gerak-geriknya baik lahiriah maupun hatinya yang batiniyyah. Ia lebih mewaspadai dirinya dari pada orang lain.

وفقنا الله وإيكم إلى طريقه القويم....

R. Ahmad Nur Kholis
Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
Pengajar Ilmu Nahwu di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang
Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar