Jika saja kita meninjau kitab-kitab ushul fiqih seperti kitab Ushul Fiqih karya Abdul Wahab Khalaf, Mabadi Awwaliyyah, As-Sullam, Al-Bayan Karya Abdul Hamid Hakim, dan kitab Al-Asybah wa An-Nadhair karya As-Suyuthi, maka kita dapat menyimpulkan bahwa bidang kajian Ushul Fiqih ada empat macam yaitu: (1) Ushul Fiqih; (2) Qawaid Ushuliyyah; (3) Qawaid Fiqhiyyah; dan (4) Al-Asybah wan Nadhair. Jika kita mencermati kitab Ushul Fiqih yang ditulis oleh Abdul Wahab Khalaf, maka kita mengetahui bahwa fokus utama dari Ushul Fiqih adalah berkaitan dengan persoalan hukum. Pembahasannya berkaitan dengan: (1) Sumber Hukum Islam; (2) Tindakan Hukum; dan (3) Obyek Hukum Islam. Qawaid Ushuliyyah membahas tentang kaidah-kaidah ushul dan dampak hukum yang ditimbulkannya seperti kaidah redaksi amar (perintah); nahy (larangan) dan lain sebagainya. Qawaid Fiqhiyyah membahas tentang kaidah-kaidah dasar pengambilan keputusan. Sedangkan Al-Asybah wa An-Nadhair membahas secara induktif tentang berbagai perbedaan pendapat ulama terhadap suatu kasus hukum yang disebabkan cara atau metode hukum yang berbeda. Kiranya tulisan ini hendak membahas tentang cabang yang kedua dari ushul fiqih, yaitu: qawaid ushuliyyah.
Sementara pebelajar ushul fiqih di pesantren mungkin akan rancu serta masih bingung dengan apa sebenarnya perbedaan dari Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid Fiqhiyyah. Keduanya tentu saja berbeda. Perbedaan tersebut bisa ditinjau dari sudut pandang obyek kajian kedua kaidah tersebut, dan sesiapa yang berhak menggunakannya.
Qawaid Ushuliyyah berbeda dengan Qawaid Fiqhiyyah ditinjau dari sudut pandang obyek kajiannya. Objek kajian qawaid Ushuliyyah adalah nash Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Sedangkan obyek kajian dari qawaid fiqhiyyah tindakan hukum dari seseorang yang sudah terkena beban hukum (af’al mukallafina). Oleh kerena itu kita akan menjumpai kaidah-kaidah dalm qawaid ushul seperti kaidah tentang redaksi amar (perintah) dan nahy (larangan) dalam nash Al-Qur’an dan hadits. Dalam contoh dapat diutarakan seperti: Al-Ashlu fi al-Amri lilwujub illa ma dalla ad-dalil ‘ala khilafihi (pada dasarnya setiap perintah itu berarti wajib dilaksanakan kecuali jika ada dalil yang menyatakan berbeda). Al-Ashlu fi Al-Amri la yaqtadli at-Tikrar (pada dasarnya redaksi perintah (dalam nash Al-Qur’an dan Hadits) tidak menyatakan untuk dikerjakan berulang). Demikianlah seterusnya.
Sedangkan di dalam qawaid fiqhiyyah kita akan menjumpai kaidah-kaidah pengambilan keputusan (akan tindakan hukum seorang mukallaf) seperti Al-Umuru bimaqasidiha (setiap perkara ditinjau dari niat atau motifnya); Ad-Dlararu yuzalu (bahaya harus dihilangkan); Al-Adatu muhakkamah (kebudayaan itu dapat menjadi hukum). Demikianlah seterusnya.
Dengan demikian kita akan dengan mudah bisa membedakan antara qawaid ushuliyyah dan qawaid fiqhiyyah. Yaitu bahwa yang pertama (qawaid ushuliyyah) basis analisanya adalah nash Al-Quran dan Hadits. Sedangkan yang kedua (qawaid ushuliyyah) basis analisanya adalah tindakan hukum sesorang yang sudah terkena beban hukum Islam (Af’al Mukallafin).
Dari pemaparan di atas kita juga menjadi mengerti mengenai “kepada siapakah kedua kelompok kaidah itu diperuntukkan. Atau dengan kata lain sipakah yang selayaknya mengkonsumsi kedua cabang ushul fiqih itu?. Qawaid Ushuliyyah tentu saja ia layak dikonsumsi oleh seorang mujtahid. Sedangkan Qawaid Fiqhiyyah dapat diperuntukkan oleh para ulama atau orang yang memiliki perhatian kepada kajian hukum islam yang dalam hal ini bisa dicontohkan para ustadz dan santri.
Ada baiknya kita mencoba untuk memperhatikan contoh penerapan Qawaid Ushuliyyah dalam praktik. Kita akan mengambil contoh perintah kewajiban puasa Ramadhan. Banyak orang menyangka bahwa pelaksanaan berpuasa ramadhan didasarkan kepada ayat Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 183 yang menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Padahal di dalam ayat ini tidak terkandung perintah berpuasa. Pernyataan yang dinyatakan dalam ayat ini merupakan kalam khabariyah (pernyataan pemberitahuan).
Pelaksanaan puasa Ramadhan diperintahkan pada ayat selanjutnya yaitu Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 185 yang menyatakan: “…. Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu ….”
Di dalam ayat yang dikutip terakhir ini ada kata kerja perintah “…. maka hendaklah ia berpuasa ….”, dan di sinilah sinilah letak kajian qawaid ushuliyah itu. Qawaid ushuliyyah dalam hal ini mengkaji redaksi fi’il amar dalam ayat ini apakah perintah yang dikandungnya merupakan kewajiban yang sifatnya dianjurkan, kesunnahan yang sifatnya anjuran, atau mubah yang sifatnya pilihan. Para ulama mujtahid kemudian sepakat dalam ijma’ (konsensus) bahwa perintah itu wajib dilakukan berdasarkan setidaknya dua hal. Pertama bahwa redaksi pada ayat sebelumnya yaitu ayat 183 yang menyatakan “…. diwajibkan atas kamu berpuasa ….”. Kedua: berdasarkan hadits nabi shahih yang menyatakan bahwa: “Islam ditegakkan atas lima hal: (1) Syahadat; (2) Shalat; (3) Zakat; (4) Puasa; dan (5) Haji.” Demikianlah contoh dari aplikasi qawaid ushuliyyah dalam analisa hukum Islam.
Sebagai contoh lagi dapat dipaparkan tentang tafsir Surah Al-Fatihah. At-Thabari dan As-Suyuthi menafsirkan bahwa terdapat kata kerja perintah berupa “quluu” (katakanlah!) yang dilesapkan (mahdzufun) pada permulaan ayat kedua surah Al-Fatihah yaitu pernyataan “Al-Hamdulillahi rabbil ‘alamina.” Demikian pula kata perintah (fi’il amar) yang sama pada ayat keempat: “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’inu”. (kepada-Mu-lah kami menyembah dan kepada-Mu-lah kami memohon pertolongan). Sehingga dalam tafisiran kedua imam itu, Surah Al-Fatihah jika diterjemahkan dalam tafsirnya adalah: “katakanlah! ‘Segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam…’ katakanlah! ‘Kepada-Mu-lah kami menyembah dan kami memohon pertolongan….’ Katakanlah! ‘Tunjukkan kami ke jalan yang lurus….’. Sehingga setiap kalimat dalam surah ini (bahkan mungkin dapat digeneralisasikan ke dalam semua ayat dan surah dalam Al-Qur’an) adalah kutipan langsung. Penafsiran semacam ini tentu saja meneguhkan Al-Qur’an sebagai kalam Allah baik lafadz maupun maknanya.
Pembahasan Ushul Fiqih dalam surah ini adalah berkaitan dengan kata yang dilesapkan (mahdzuf) itu yakni lafadz ‘quluu’ (kataknalah!). Budaya kebahasaan semacam ini sendiri yakni pelesapan, banyak terjadi dalam kebudayaan berbahasa arab utamanya bahasa lisan. Pertanyaan berkaitan dengan ushul fiqh dalam kaitannya dengan kata yang dilesapkan itu adalah apakah perintah yang dikandung makna dalam kata itu menyatakan keharusan untuk dilakukan (wajib) atau hukum lainnya seperti anjuran (sunnah), atau pilihan (mubah)?.
Para ulama kemudian sepakat bahwa bacaan fatihah adalah wajib dibaca saat shalat. Sedangkan pembacaan surah fatihah (dan surah-surah lainnya dalam Al-Qur’an) pada kondisi normal adalah anjuran. Keputusan tentu saja dilandaskan pada dalil-dalil yang lain yang diperbandingkan. Kewajiban pembacaan surah Al-Fatihah misalnya didasarkan kepada hadits yang menyatakan: “tidak sah, seseorang yang shalat tanpa membaca fatihah.” Adapun anjuran (kesunahan) pembacaan Al-Quran pada kondisi normal didasarkan kepada hadits-hadits tentang fadhilah ayat dalam Al-Quran seperti banyak dikodifikasikan dalam kitab semisal Riyadl As-Shalihin dan Al-Adzkar (keduanya disusun oleh Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi).
Dengan demikian kita menjadi mengerti mengenai latar belakang perbedaan pendapat para ulama dalam bidang fiqih (hukum agama). Perbedaannya adalah tentang bagaimana menerapkan kaidah ushuliyyah ini ke dalam obyek penelitiannya yaitu nash Al-Qur’an dan Hadits. Perbedaan-perbedaan ini beserta latar belakangnya dijelaskan secara lebih terperinci dalam kitab-kitab fiqih yang ada yang mana dalam madzhab syafi’i diterapkan secara menarik dan indah dalam kitab Kifayah Al-Akhyar. Pembacaan terhadap kitab-kitab fiqih madzhab yang lain seperti Majma’ Anhur dari kalangan Hanafiyah kiranya dapat membantu kita menambah khazanah keilmuan kita dalam bidang fiqih. Selain itu kita mungkin bisa lebih menyadari bahwa setiap perbedaan itu adalah rahmah, bukan menjadi musibah.
Demikianlah sekedar contoh penerepan Qawaid Ushuliyah dalam analisa hukum. Kiranya bermanfaat adanya. Amin….
R. Ahmad Nur Kholis
(-) Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
(-) Pengajar Ilmu Nahwu di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
(-) Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang
(-) Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang
(-) Anggota Pebelajar di Haraka Institute Junrejo Kota batu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar