Jumat, 23 November 2018

AL-QUR’AN & WAHYU

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

1. PENGERTIAN AL-QUR’AN
a. Pengertian secara Bahasa
Secara bahasa, kata “Al-Qur’an” merupakan mashdar (verbal noun) dari lafadz Qara’a. Yakni: Qara’a – Yaqra’u- Qar’an; Qira’atan; dan Qur’anan. Kata: Qar’an; Qira’atan dan Qur’anan bermakna satu. Yaitu Mashdar yang bermakna maf’ul. Dalam ungkapan lain dapat dikatakan: ‘bacaan’ yang bermakna ‘sesuatu yang dibaca’. (Al-Qattan, tt:14)
Sebagaimana dalam ayat QS Al-Qiyamah (17-18):
Makna frasa ‘Kalam Allah’ adalah susunan idhofah (connexion sentences) yang menyatakan spesifikasi sebagai firman Allah yang kemudian mengecualikan perkataan yang lain selain firman Allah. (Al-Qatthan, tt:16)
Makna frasa ‘yang diturunkan’ adalah untuk mengecualikan kalam Allah yang ditemukan di dalam penciptaan alam yang tidak diturunkan. Melainkan diletakkan di dalamnya (alam tersebut). (Al-Qattahn, tt:16). Juga untuk mengecualikan firman Allah yang lain yang diturunkan kepada selain nabi Muhammad seperti Taurat, Zabur dan Injil. (Al-Qatthan, tt:16)
Menurut Az-Zarqani kata Al-Qur’an merupakan murodif  (sinonim) dari kata qira’ah. Yakni merupakan mashdar dari lafadz qara’a yang kemudian dijadikan nama bagi Kalamullah. Yang merupakan pengambilan makna maf’ul dari mashdar. (Az-Zarqani, 1988:14)
Menurut Shuhbab (1987:18) pendapat yang paling kuat dalam makna Al-Qur’an secara bahasa adalah pendapat golongan (diantarannya adalah Al-Asy’ari) yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari kata Qarana seperti dalam ungkapan Qaranat As-Syai’ bi As-Syai’ (sesuatu yang dikumpulkan dengan sesuatu yang lain). Dengan alasan bahwa di dalam Al-Qur’an dikumpulkan ayat-ayat ke dalam surat-surat. Dan surat-surat menjadi satu kitab.
Kemudian pendapat kedua yang paling kuat adalah pendapat Al-Farra’ yang mengatakan bahwa kata Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata Al-Qara’in dengan makna keserupaan-keserupaan atau pandangan pandangan. Jadi Al-Qara’in itu maksudnya adalah Asybah wan Nadzair. Karena antara ayat yang satu dengan yang lain dalam Al-Qur’an saling membenarkan. (Syuhbah, 1987:18)


b. Pengertian Secara Istilah
Sedangkan pengertian Al-Qur’an secara istilah adalah lafadz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang ditransmisikina secara mutawatir dan bisa dianggap ibadah dalam membacanya. (Az-Zarqani, 1988:20)
Makna ‘lafadz’ yang dimaksud adalah dalam pengertian bahwa ia dapat berupa satu kata (leksem) atau murokkab (frasa). Dan hal ini terjadi dalam proses pengambilan dalil (istidlal) yang dilakukan para ahli fiqih dan ushul fiqih ada yang didasarkan pada dalil ungkapan al-qur’an yang berbentuk frasa, dan ada pula istidlal yang didasarkan pada kata (leksem). (Az-Zarqani, 1988:20)
Frasa ‘yang diturunkan’ menurut Az-Zarqani ialah mengecualikan apa yang tidak diturunkan oleh Allah sama sekali seperti perkataan manusia, dan hadits nabi. Ataupun yang diturunkan kepada selain nabi Muhammad seperti Taurat dan Injil. (Az-Zarqani, 1988:20)
Frasa ‘diriwayatkan secara mutawatir’ menurut Az-Zarqani ialah untuk mengecualikan apa-apa saja dari bagian Al-Qur’an yang diriwayatkan dengan tidak mutawatir. Seperti ayat-ayat yang dimansukh (direvisi) lafadznya atau bacaan-bacaan yang tidak mutawatir riwayatnya. Baik itu masyhur di kalangan para sahabat seperti bacaan Al-Qur’an riwayat Ibnu Mas’ud berikut ini:
متتابعات
Yang mana lafadz ini dibaca oleh Ibnu Mas’ud setelah di belakang ayat Al-Qur’an:
فصيام ثلاثة أيام
Ataupun bacaan al-Qur’an yang tidak masyhur diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud pula yakni lafadz:
متتابعات
Setelah bacaan ayat:
ومن كان مريضا أو على سفر فعدة من أيام أُخر
Maka semua lafadz yang dianggap dari ayat Al-Qur’an itu tidak dinamakan Al-Qur’an karena yang meriwayatkan tidak mutawatir. Dan tidak diambil hukum atas lafadz-lafadz tersebut. (Az-Zarqani, 1988:20-21)
Makna dari frasa “dianggap ibadah bagi yang membacanya” adalah bahwa Al-Qur’an dapat dibaca dan menjadi bagian dari shalat. Hal ini mengecualikan Al-Qur’an dengan pembacaan Hadit Qudsi dan Hadits Nabawi. Dimana membaca kedua yang disebutkan terakhir itu tidak tidak bisa dibaca dalam shalat. (Al-Qatthan, tt:16)
Dengan demikian maka Al-Qur’an tidak sama dengan Hadits Qudsi yang meskipun ia mutawatir tapi tidak dapat dianggap ibadah dengan membacanya. (Az-Zarqani, 1988:21)
Menurut As-Shabuni Definisi Al-Qur’an secara istilah adalah Kalam Allah yang menjadi mu’jizat (bagi Nabi Muhammad) yang diturunkan kepada nabi dan rasul paling akhir dengan perantara Jibril yang ditulis dalam mushaf dan ditransmisikan secara mutawatir, membacanya dianggap ibadah. Diawali dengan surah fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas. (As-Shabuny, 1985:8)
Menurut Al-Bigha & Musthu Al-Qur’an secara istilah didefinisikan sebagai lafadz arab yang mengandung mu’jizat yang diwahyukan kepada Muhammad SAW dengan perantaran Jibril dan diriwayatkan dengan mutawatir. Ditulis dalam mushaf yang dianggap ibadah bagi yang membacanya. Diawali dengan surah Fatihah dan diakhiri dengan surah An-Nas. (Al-Bigha & Musthu, 1998:15)

c. Nama-nama & Sifat Al-Qur’an
Allah menamakan Al-Qur’an dengan beberapa macam yaitu (Al-Qatthan, tt:22):
a. Al-Qur’an (Al-Isra’:9)
b. Al-Kitab (Al-Anbiya’:10)
c. Al-Furqon (Al-Furqon:1)
d. Ad-Dzikr (Al-Hijr:9)
e. At-Tanzil (As-Syu’ara’:192)

Yang dimaksud dengan sifat-sifat al-Qur’an adalah manfaat Al-Qur’an bagi kehidupana manusia. Sifat-sifat Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah:
a. Nur (Cahaya). (An-Nisa’:174)
b. Hudan (Petunjuk). (Yunus:57)
c. Mubarak (Berkah). (Al-An’am:92)
d. Mubin (Penjelas). (Al-Maidah:15)
e. Busyro (kabar baik). (Al-Baqarah:57)
f. Aziz (keagungan). (Fussilat:41)
g. Majid (kemuliaan). (Al-Buruj:21)
h. Pemberi kabar baik dan pemberi kabar buruk (ancaman). (Fussilat:3-4)
Semua nama-nama dan sifat-sifat Al-Qur’an adalah berdasarkan maknanya. (Al-Qatthan, tt:23)

2. PENGERTIAN WAHYU
Secara Bahasa, kata wahyu dapat diartikan sebagai ‘isyarat yang cepat’. Ia bisa saja berupa pembicaraan dengan cara rumus-rumus, bunyi atau dengan isyarat tubuh. Perkataan wahtu menunjukkan 2 (dua) makna asli yaitu ‘samar’ dan ‘cepat.’ (Al-Qatthan, tt:32)
a. Ilham secara fitrah manusia seperti wahyu dalam Al-Qur’an yang disampaikan Allah kepada ibu Nabi Musa: (Al-Qashash:7)
b. Insting untuk hewan seperti wahyu untuk lebah (An-Nahl:68)
c. Isyarat yang cepat dengan rumus. Seperti wahyu kepada Zakaria (Maryam:11)
d. Godaan setan dan tipuan yang jelek dalam hati manusia. (Al-An’am: 121); Al-An’am: 112)
e. Apa yang disampaikan Allah kepada Malaikat sebagai perintah untuk dilaksanakan. (Al-Anfal: 12). (Al-Qatthan, tt:32-33)

Sedangkan pengertian wahyu dalam istilah dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: (1) Pengertian berdasarkan pada anggapan bahwa kata “wahyu” adalah mashdar yang bermakna maf’ul & (2) Pengertian berdasarkan anggapan bahwa kata “wahyu” adalah bentuk mashdar. Pengertian berdasarkan pada anggapan bahwa kata “wahyu” adalah mashdar yang bermakna maf’ul adalah:  “Kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi dari para nabinya.” 
Sedangkan Pengertian berdasarkan anggapan bahwa kata “wahyu” adalah bentuk mashdar adalah: Pengetahuan yang didapatkan oleh seseorang dari dirinya sendiri disertai dengan keyakinan bahwasanya itu adalah dari sisi Allah baik dengan perantara ataupun tidak.
(Muhammad Abduh dalam: Al_Qatthan, tt:33)

a. Teknis penyampaian wahyu dari Allah kepada Malaikat
Sebelum menerangkan tentang masalah teknis penyampaian wahyu dari Allah kepada malaikat, ada baiknya diketahui hal-hal sebagai berikut:
1. Wahyu disampaikan langsung oleh Allah kepada malaikat. (Al-Baqarah:30). Dengan datang langsung kepada malaikat (Al-Anfal:12); dan dengan melaksanakan perenungan akan apa yang ada. Sedang malaikat mendengar apa yang difirmankan oleh Allah. (Ad-Dzariyat:4);(An-Nazi’at:5)
2. Telah dinashkan bahwa Al-Qur’an telah ditulis di lauh al-mahfudz (Al-Buruj:21-22); sebagaimana juga telah dinashkan bahwa Al-Qur’an telah diturunkan dari langit dunia ke Bait Al-Izzah pada lailatul qadr bulan Ramadhan. (Al-Qadr:1);(Ad-Dukhan:3);(Al-Baqarah:185)

Berdsarkan dua hal tersebut di atas maka para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana teknis penyamapian wahyu dari Allah kepada malaikat. Teknis penyampaian wahyu dari Allah kepada Malaikat adalah sebagai berikut:
1. Jibril menangkap apa yang didengarnya dari Allah secara lafadznya saja.
2. Jibril menghafalnya dari lauh mahfudz.
3. Jibril menghafal maknanya saja. Sedangkan lafadnya adalah dari Jibril atau Muahmmad.
Dari ketiga pendapat ini yang paling kuat adalah yang pertama. Pendapat ini adalah pendapat ahlussunnah wal jamaah dan diperkuat oleh hadits An-Nawwas bin Sam’an As-Saabiq. (Al-Qatthan, tt:35)

b. Teknis penyampaian wahyu dari Allah kepada para utusan-Nya
Wahyu disampaikan Allah kepada nabinya dengan beberapa cara yaitu (Al-Qatthan, tt:38):
1. Melalui mimpi yang benar (ru’yah shalihah)
2. Allah berbicara sendiri dari belakang hijab dengan tampa perantara dan dalam keadaan sadar.

c. Teknis penyampaian wahyu Allah dari malaikat kepada Nabi
Penyampaian wahyu Allah dari malaikat kepada nabi bisa dalam beberapa cara berikut ini (Al-Qatthan, tt:38-39):
1. Datang seperti bunyi lonceng dan suara yang kuat yang mengakibatkan tertujunya perhatian padanya. Maka hati (nabi) menjadi siap untuk menerima wahyu
2. Malaikat menyerupai seorang laki-laki tampan.
Menurut Al-Bigha & Musthu (1998) Penyampain wahyu dari malaikat kepada rasul ada 3 (tiga) cara yaitu:
1. Malaikat menyerupai wujud aslinya
2. Malaikat menyerupai wujud manusia
3. Secara sembunyi-sembuny memahamkan wahyu Allah ke dalam hati Nabi Muhammad dalam kondisi tidak terlihat.
Al-Bigha & Musthu (1998) mengatakan bahwa macam-macam wahyu ada 3 (tiga) yaitu:
1. Memberikan makna di dalam hati
2. Berbicara di belakang hijab
3. Apa yang diberikan oleh malaikat penyampai wahyu baik dengan wujudnya sendiri atau menyerupai seseorang.

3. PERBEDAAN WAHTU & ILHAM
Muhammad Abduh (dalam Manna’ Al-Qatthan, tt) mengatakan bahwa perbedaan Wahyu dan Ilham adalah bahwasanya Wahyu adalah pengetahuan yang didapatkan seketika oleh seseorang (nabi) disertai dengan keyakinan bahwa itu adalah dari Allah. Sedangkan Ilham didapatkan oleh seseorang (bisa semua orang) tanpa diketahui dari mana datangnya.

4. PERBEDAAN ANTARA AL-QUR’AN, HADITS QUDSY & HADITS NABAWI
a. Pengertian Hadits Qudsy
Makna “Al-Qudsy” adalah penisbatan terhadap kata “Qudsun” yang berarti “suci.” Shingga dapat dikatakan bahwa “hadits qudsy” adalah hadits suci. (Al-Qatthan, tt:25)
Allah dalam Al-Qur’an telah mengutip ucapan malaikat yang menyatakan bahwa diri mereka senantiasa telah ‘menyucikan-Nya. (Al-Baqarah:31)
Dalam istilah keilmuan hadits, Hadits Qudsy didefinisikan sebagai:
“Apa yang disandarkan nabi (Muhammad) kepada Allah SWT.” yakni bahwasanya Nabi meriwayatkan (menceritakan) bahwa apa yang diucapkannya itu adalah ucapan Allah. Rasulullah adalah perawi dari perkataan Allah dengan lafadz dari Nabi sendiri. Dan ketika hadits tersebut diriwayatkan oleh orang lain (sahabat) maka ia meriwayatkan dari nabi dengan sanad dari Allah. Periwayatan Hadits Qudsy oleh nabi bisa menggunakan redaksi (Al-Qatthan, tt: 25):
قال رسل الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه عز وجل.
أو يقول:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: قال تعالى:، أو يقول الله تعالى:

Contoh-contoh hadits qusy:
(1) عن أبى هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ره عز وجل: (( يد الله ملأى لا يغيضها نفقة، سحاء الليل والنهار...))
(2) عن أبى هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: يقول الله تعالى: ((أنا عند ظن عبدى بى، وأنا معه إذا ذكرنى، فإن ذكرنى فى نفسه ذكرته فى نفسى، وإن ذكرنى فى ملأ ذكرته فى ملأ خير منه...))

b. Pengertian Hadits Nabawi
Secara bahasa hadits adalah: “lawan dari sesuatu yang sudah terdahulu”. Dengan demikian ia berarti “sesuatu yang baru”. Dalam hal ini maka isitilah ini adalah mutlaq untuk seluruh ujaran yang dilakukan pada saat berbicara dan ditransmisikan serta disampaikan manusia dengan cara mendengar (decoding-encoding) atau wahyu dalam keadaan sadar atau bermimpi. (Al-Qatthan, tt:23). Dengan makna ini, maka kata “hadits” dapat meliputi Al-Qur’an juga. (At-Thur:34). Ia juga meliputi apa yang didapatkan seseorang dalam mimpinya. (Yusuf: 101)
Sedangkan pengertian secara hadits adalah: “Semua yang disandarkan kepada Nabi Muhammad dari perkataan,  perbuatan atau ketetapan atau sifat.” (Al_Qatthan, tt:24)
Contoh hadits berupa perkataan:
قوله صلى الله عليه وسلم: ((إِنَّمَا الْأعْمَالُ بِالنيات، وإِنَّمَا لكل امرإٍ مَا نَوى)

Contoh hadits berupa perbuatan:
قوله صلى الله عليه وسلم: ((صلوا كما رأيتمونى أصلى))
وقوله صلى الله عليه وسلم: ((خذوا عنى مناسككم))

Contoh hadits ketetapan:
((أكل الضب على مائدته صلى الله عليه وسلم))
((وما روي من أن رسول الله صلى الله عليه وسلم بعث رجل على سرية، وكان يقرأ لأصحابه فى صلاته فيخم: (قل هو الله أحد) فلما رجعو ذكروا ذالك له عليه الصلاة والسلام، فقال: سلوه لأي شيئ يصنع ذلك؟ فسألواه فقال: لأنها صفة الرحمن وأنا أحب أن أقرأ بها، فقال النبى صلى الله عليه وسلم: أخبروه أن الله يحبه))

Contoh hadits tentang sifat nabi:
مِن أنه صلى الله عليه وسلم: كان دائم البشر، سهل الخلق، لين الجانب، ليس بفض ولا غليظ ولا صخاب، ولا فحاش ولا عياب.

c. Perbedaan Al-Qur’an, Hadits Qudsy & Hadits Nabawi
Ada beberapa perbedaan antara Al-Qur’an dan Hadits Qudsy yaitu (Al-Qatthan, tt:26-27)
a. Al-Qur’an adalah wahyu Allah secara lafadznya serta tidak dapat ditiru oleh orang arab dan merupakan mu’jizat. Sedangkan hadits qudsy dapat ditiru oleh orang arab dalam lafadznya dan bukan merupakan mu’jizat.
b. Al-Qur’an Al-Karim dinisbatkan hanya kepada Allah secara langsung. Sedangkan hadits qudsi dinisbatkan kepada Allah tapi melalui riwayat dari nabi. Dan terkadang dinisbatkan kepada nabi pula
c. Al-Qur’an Al-Karim secara keseluruhan diriwayatkan dengan mutawatir dan bersifat qath’iy ats-tsubut. Sedang kebanyakan Hadits Qudsy adalah diriwayatkan oleh perseorangan maka bersifat dzanniy ats-tsubut. Hadits Qudsy juga bisa berupa hadits shahih, hasan dan bahkan dla’if.
d. Al-Qur’an Al-Karim adalah dari Allah secara lafadz dan maknanya. Ia adalah wahyu secara lafadz dan maknanya. Sedangkan hadits qudsy adalah maknanya saja dari Allah sedangkan lafadznya dari sisi Rasulullah. Maka dapat dikatakan bahwa hadits qudsy adalah wahyu secara maknanya dan tidak secara lafadznya. Ini yang menyebabkan jumhur (kebanyakan) para ulama memperbolehkan periwayatan hadits secara makna.
e. Al-Qur’an Al-Karim dibaca dalam ibadah shalat. (Al-Muzammil:20). Juga dianggap ibadah bagi yang membacanya. Sebagaimana dalam hadits: (barang siapa yang membaca satu huruf dari al-Qur’an maka dicatat satu kebaikan baginya. Dan kebaikan dengan 10 (sepuluh) serupanya. saya tidak mengatakan: alif lam mim sebagai satu huruf, akan tetapi alif adalah satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf). Sedangkan hadits Qudsy tidak bisa/tidak boleh dibaca dalam shalat dan pahala dalam membacanya diberi pahala secara umum tidak seperti membaca Al-Qur’an yang diberi pahala setiap hurufnya dengan 10 kebaikan.

d. Hadits Tauqify & Hadits Taufiqy
Hadits tauqify:
Adalah hadits yang disampaikan nabi berdasarkan wahyu yang dijelaskan oleh nabi kepada masyarakat dengan ucapannya sendiri. Pada ranah ini meskipun hakikatnya ia adalah wahyu dari Allah—dari sudut pandang perkataan—ia adalah bebas untuk dinisbatkan kepada nabi. Karena pada prinsipnya perkataan itu dinisbatkan kepada yang mengatakannya. Meskipun secara maknawi ia dikatakan oleh yang lain.

Hadits Taufiqy:
Ialah apa yang digali oleh rasulullah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Karena Nabi adalah penjelas bagi Al-Qur’an. Atau apa yang digali Nabi Muhammad dengan merenung dan ijtihad. Pada bagian ini ia (hadits) merupakan hasil gailan ijtihad rasulullah yang dapat ditetapkan oleh wahyu jika benar, dan dapa dikoreksi oleh wahyu jika ada kesalahan. Pada ranah ini maka hadits bukanlah Kalam Allah. (Al-Qatthan, tt:27)

5. PERBEDAAN HADITS QUDSY DAN HADITS NABAWY
Dari kedua hal tersebut (hadits Tauqify & Hadits Taufiqy) dapat dipahami bahwa pada hakikatnya semua hadits itu adalah “Kalam Allah”, meskipun dalam maknanya dan bukan lafadznya. Namun kedua-duanya adalah bentuk penjelasan baik penjelasan kepada masyarakat/sahabat yang bertanya maupun penjelasan nabi akan Al-Qur’an. Penyampaian hadits dari Allah kepada nabi tidak melalui prosedur penyampaian wahyu.. (An-Najm: 3-4).
Sedangkan Hadits Qudsy adalah dari Allah secara maknanya dan tidak dalam rangka menjawab atau memberikan penjelasan kepada masyarakat atau terhadap Al-Qur’an. Dan disampaikan oleh Allah dengan prosedur penyampaian wahyu. (Al-Qatthan, tt:27)

Download fulltext: click di sini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar