Mayoritas para ulama Islam di Nusantara, sejak semula
adalah penganut paham Ahlussunnah waljamaah. Hal ini setidaknya jika kita
sepakat dengan apa yang duraikan di dalam buku I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah
karya KH. Siradjuddin Abbas (1965). Kemudian, dalam bukunya yang lain yakni
Tahabaqatus Syafi’iyyah Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad
(1975), KH Siradjuddin Abbas juga mencatat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama
madzhab Syafi’i terkemuka berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.
Kita memang melihat kiprah
perjuagan dan pembelaan hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari terhadap haluan
aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ditandai dengan salah satu kitab
karyanya yang populer di masyarakat berjudul: Risalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Dan artikel ini ingin menguraikan bagaimana pembahasan mengenai pengertian
Sunnah dan Bid’ah yang terdapat dalam kitab tersebut.
KH. Hasyim Asy’ari memulai pasal
pertama kitab tersebut dengan menjelaskan pengertian kata “As-Sunnah” (dalam
bentuk kata kerja khusus (ma’rifah), yang merujuk pada sunnah
rasulullah) dan kata “Al-bid’ah”. KH Hasyim Asy’ari menguraikan pengertian
As-Sunnah dengan kutipan dari Syaikh Abu Al-Baqa’. Syaikh Abu Al-Baqa’ yang
dimaksud adalah Abu Al-Baqa’ Ayyub bin Musa Al-Husaini Al-Kufi (w. 1094 H), penulis kitab “Al-Kulliyyat: Mu’jamun fi
Al-Mushtalahat wa Al-Furuq Al-Lughawiyyah”. Abu Al-Baqa’ merupakan ulama
dari kalangan hanafiyyah (Darwisy & Al-Mishri, 1992). Berikut ini uraian hadlratussyaikh
Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah:
السُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ كَمَا قَالَ أَبُوْ الْبَقَاء فِيْ
كُلِّيَّاتِهِ: لُغَةً الطَّرِيْقَةُ وَلَو غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اسْمٌ
للطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِيْ الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَا أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عِلْمٌ فِي
الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، لَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنِ مِنْ
بَعْدِى، وَعُرْفًا: مَا وَاظَبَ عَلَيْهِ مُقْتَدًى نَبِيَّا كَانَ أَوْ
وَلِيًّا، وَالسُّنِّى مَنْسُوْبٌ إِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ للِنِّسْبَةِ
Artinya:
As-Sunnah dengan diharakati dlammah
dan tasydid sebagaimana dikatakan oleh Abu Al-Baqa’ dalam kita
‘kulliyyat’-nya adalah: secara bahasa merupakan jalan (atau cara) yang
ditempuh, meskipun (jalan/cara tersebut) tidak diridlai. Secara istilah, adalah
sebuah nama dari suatu jalan (cara) yang diridlai ditempuh dalam agama oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama, atau yang lainnya dari
kalangan orang yang mengetahui agama seperti para sahabat radliyallahu
‘anhum. Karena sabda-Nya (rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnah-Ku dan sunnah
Khulafaurrasyidin setelah-Ku. Secara kebiasaan (‘urf): ialah sesuatu
yang dibiasakan oleh orang yang
menjadi panutan, apakah itu nabi, atau wali. Sedangkan (istilah) sunni
dalah kata yang dinisbahkan kepada sunnah, yang dibuang huruf ta’-nya
karena merupakan penisbatan. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, karya: KH Hasyim
Asy’ari, hlm: 5)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Syaikh Abu
Al-Baqa’ Al-Kufi membagi pengertian As-Sunnah menjadi 3 (tiga). Atau melihat
pengertian kata As-Sunnah dari 3 (tiga) sudut pandang, yaitu sebagai berikut:
|
No |
Sudut Pandang |
Pengertian |
|
1. |
Definisi Bahasa |
Jalan/cara yang ditempuh |
|
2. |
Definisi
Istilah |
Cara/jalan yang
diridlai, yang ditempuh rasulullah atau para sahabat |
|
3. |
Penggunaan
secara kebiasaan (‘Urf) |
Sesuatu yang
dibiasakan oleh seorang panutan, baik itu nabi atau wali. |
Adapun mengenai pengertian bid’ah KH Hasyim Asy’ari mengutip pendapat dari
kitab ‘Uddatul Murid karya As-Syaikh Ahmad Az-Zarruq (w. 899 H). Hadlratussyaikh
Hasyim Asy’ari menulis dalalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah sebagai
berikut:
وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ
الشَّيْخُ الزَّرُّوْق فِي عُدَّةِ الْمُرِيْدِ: شَرْعًا أَحْدَاثُ أَمْرٍ فِي
الدِّيْنِ يُشْبِهُ أَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءُ كَانَ
بِالصُّوْرَةِ أَوْ بِالْحَقِيْقَةِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"،
وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ
بِدْعَةٌ"، وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى
فِيْ الْحَديْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ
بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقَ الْأَحْدَاثِ، إِذْ
قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بَأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا إَلَيْهَا
أَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مُقَيَّسًا عَلَيْهَا.
Artinya:
Dan bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ahmad Zarruq di dalam kitab
‘Uddatul Murid’ adalah: secara istilah segala perkara baru di dalam agama. Yang
menyerupai agama sedang ia bukan darinya. Baik serupa dalam nampaknya, maupun
serupa secara hakiki. Karena sabda rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam:
“barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara saya ini, yang tidak
merupakan bagian dari agama, maka ia tertolak”, dan sabda-Nya lagi—shallallahu
‘alaihi wa sallam: “dan setiap perkara baru adalah bid’ah”. Dan para ulama—rahimahullah—sungguh-sungguh
telah menjelaskan bahwasanya makna dari kedua hadits yang disebutkan itu
kembali kepada perubahan hukum dengan meyakini apa yang bukan ibadah sebagai
ibadah, dan bukanlah mutlak semua yang baru. Karena syari’at telah menentukan
landasannya, maka (sesuatu yang baru itu) kembali kepadanya (syariat tersebut),
atau telah menetapkan percabangannya, maka (sesuatu yang baru itu) diqiyaskan
(dianalogikan) kepadanya. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, karya:
Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, hlm: 6)
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa:
1. bid’ah menurut Syaikh
Ahmad Zarruq adalah sesuatu yang baru dalam perkara agama, yang menyerupai
(ritual) agama sedang ia bukan bagian dari agama.
2. para ulama
menjelaskan bahwa bid’ah, adalah tidak meliputi segala sesuatu yang baru.
Melainkan ia hanya meliputi segala yang baru yang di-i’tiqadkan sebagai suatu
ibadah dalam agama, sedangkan ia bukan merupakan bagian dari ibadah dalam
agama, maka itu adalah bid’ah yang tercela. Dan dengan demikian hukumnya haram.
Dalam hal ini dapat dicontohkan: bersalaman
setelah shalat, jika ia dianggap sebagai slaman biasa, dan bukan sesuatu yang
wajib dilaksanakan setelah shalat, maka hal itu tidak bermasalah adanya. Dengan
kata lain bukanlah suatu bid’ah. Akan tetapi, jika bersalaman setelah shalat
diyakini sebagai suatu kewajiban, yang karenanya bagi yang tidak
berjabat-tangan setelah shalat adalah berdosa, maka hal inilah yang dimaksud
dengan bid’ah yang tercela.
3. setiap segala sesuatu
yang baru harus dikembalikan kepada tolak ukur syariat agama, baik dengan cara
dicari landasan dalil-nya atau diqiyaskan dengan praktik-praktik yang telah ada
sejak masa nabi.
Dalam hal ini, dapat dijelaskan tentang masalah
berjabat-tangan setelah shalat. Dikatakan dalam hadits tentang keutamaan
berjabat-tangan antara dua orang muslim. Maka keutamaan tersebut berlaku baik
dilakukan setelah shalat atau di waktu lainnya.
Demikianlah apa yang dapat kami pahami dari uraian sunnah dan bid’ah dari
kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya Hadlratussyaikh Hasyim
Asy’ari ini.
Malang, 3 September 2024
Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Annahdliyyah Karangploso Malang
Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Kepanjen Malang
Pengajar di Pondok Pesantren Riyadlul Qur’an Ngajum Malang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar