Senin, 10 Maret 2025

PENJELASAN PENGERTIAN AS-SUNNAH DAN BID’AH DI DALAM KITAB RISALAH AHLUSSUNNAH WAL JAMAAH KARYA KH. HASYIM ASY’ARI

  


 

Mayoritas para ulama Islam di Nusantara, sejak semula adalah penganut paham Ahlussunnah waljamaah. Hal ini setidaknya jika kita sepakat dengan apa yang duraikan di dalam buku I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah karya KH. Siradjuddin Abbas (1965). Kemudian, dalam bukunya yang lain yakni Tahabaqatus Syafi’iyyah Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad (1975), KH Siradjuddin Abbas juga mencatat KH. Hasyim Asy’ari sebagai ulama madzhab Syafi’i terkemuka berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.

Kita memang melihat kiprah perjuagan dan pembelaan hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari terhadap haluan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini ditandai dengan salah satu kitab karyanya yang populer di masyarakat berjudul: Risalah Ahlussunnah wal Jamaah. Dan artikel ini ingin menguraikan bagaimana pembahasan mengenai pengertian Sunnah dan Bid’ah yang terdapat dalam kitab tersebut.

KH. Hasyim Asy’ari memulai pasal pertama kitab tersebut dengan menjelaskan pengertian kata “As-Sunnah” (dalam bentuk kata kerja khusus (ma’rifah), yang merujuk pada sunnah rasulullah) dan kata “Al-bid’ah”. KH Hasyim Asy’ari menguraikan pengertian As-Sunnah dengan kutipan dari Syaikh Abu Al-Baqa’. Syaikh Abu Al-Baqa’ yang dimaksud adalah Abu Al-Baqa’ Ayyub bin Musa Al-Husaini Al-Kufi (w. 1094 H), penulis kitab “Al-Kulliyyat: Mu’jamun fi Al-Mushtalahat wa Al-Furuq Al-Lughawiyyah”. Abu Al-Baqa’ merupakan ulama dari kalangan hanafiyyah (Darwisy & Al-Mishri, 1992). Berikut ini uraian hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah:

السُّنَّةُ بِالضَّمِّ وَالتَّشْدِيْدِ  كَمَا قَالَ أَبُوْ الْبَقَاء فِيْ كُلِّيَّاتِهِ: لُغَةً الطَّرِيْقَةُ وَلَو غَيْرَ مَرْضِيَّةٍ. وَشَرْعًا اسْمٌ للطَّرِيْقَةِ الْمَرْضِيَّةِ الْمَسْلُوْكَةِ فِيْ الدِّيْنِ سَلَكَهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَا أَوْ غَيْرُهُ مِمَّنْ هُوَ عِلْمٌ فِي الدِّيْنِ كَالصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ، لَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنِ مِنْ بَعْدِى، وَعُرْفًا: مَا وَاظَبَ عَلَيْهِ مُقْتَدًى نَبِيَّا كَانَ أَوْ وَلِيًّا، وَالسُّنِّى مَنْسُوْبٌ إِلَى السُّنَّةِ حُذِفَ التَّاءُ للِنِّسْبَةِ

Artinya:

As-Sunnah dengan diharakati dlammah dan tasydid sebagaimana dikatakan oleh Abu Al-Baqa’ dalam kita ‘kulliyyat’-nya adalah: secara bahasa merupakan jalan (atau cara) yang ditempuh, meskipun (jalan/cara tersebut) tidak diridlai. Secara istilah, adalah sebuah nama dari suatu jalan (cara) yang diridlai ditempuh dalam agama oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama, atau yang lainnya dari kalangan orang yang mengetahui agama seperti para sahabat radliyallahu ‘anhum. Karena sabda-Nya (rasulullah) shallallahu ‘alaihi wa sallam: “wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnah-Ku dan sunnah Khulafaurrasyidin setelah-Ku. Secara kebiasaan (‘urf): ialah sesuatu yang dibiasakan oleh orang yang menjadi panutan, apakah itu nabi, atau wali. Sedangkan (istilah) sunni dalah kata yang dinisbahkan kepada sunnah, yang dibuang huruf ta’-nya karena merupakan penisbatan. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, karya: KH Hasyim Asy’ari, hlm: 5)

 

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Syaikh Abu Al-Baqa’ Al-Kufi membagi pengertian As-Sunnah menjadi 3 (tiga). Atau melihat pengertian kata As-Sunnah dari 3 (tiga) sudut pandang, yaitu sebagai berikut:

No

Sudut Pandang

Pengertian

1.       

Definisi Bahasa

Jalan/cara yang ditempuh

2.       

Definisi Istilah

Cara/jalan yang diridlai, yang ditempuh rasulullah atau para sahabat

3.       

Penggunaan secara kebiasaan (‘Urf)

Sesuatu yang dibiasakan oleh seorang panutan, baik itu nabi atau wali.

 

Adapun mengenai pengertian bid’ah KH Hasyim Asy’ari mengutip pendapat dari kitab ‘Uddatul Murid karya As-Syaikh Ahmad Az-Zarruq (w. 899 H). Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari menulis dalalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah sebagai berikut:

وَالْبِدْعَةُ كَمَا قَالَ الشَّيْخُ الزَّرُّوْق فِي عُدَّةِ الْمُرِيْدِ: شَرْعًا أَحْدَاثُ أَمْرٍ فِي الدِّيْنِ يُشْبِهُ أَنْ يَكُوْنَ مِنْهُ وَلَيْسَ مِنْهُ سَوَاءُ كَانَ بِالصُّوْرَةِ أَوْ بِالْحَقِيْقَةِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ"، وَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ"، وَقَدْ بَيَّنَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ أَنَّ الْمَعْنَى فِيْ الْحَديْثَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ رَاجِعٌ لِتَغْيِيْرِ الْحُكْمِ بِاعْتِقَادِ مَا لَيْسَ بِقُرْبَةٍ قُرْبَةً لَا مُطْلَقَ الْأَحْدَاثِ، إِذْ قَدْ تَنَاوَلَتْهُ الشَّرِيْعَةُ بَأُصُوْلِهَا فَيَكُوْنُ رَاجِعًا إَلَيْهَا أَوْ بِفُرُوْعِهَا فَيَكُوْنُ مُقَيَّسًا عَلَيْهَا.

Artinya:

Dan bid’ah sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Ahmad Zarruq di dalam kitab ‘Uddatul Murid’ adalah: secara istilah segala perkara baru di dalam agama. Yang menyerupai agama sedang ia bukan darinya. Baik serupa dalam nampaknya, maupun serupa secara hakiki. Karena sabda rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam: “barang siapa yang membuat perkara baru dalam perkara saya ini, yang tidak merupakan bagian dari agama, maka ia tertolak”, dan sabda-Nya lagi—shallallahu ‘alaihi wa sallam: “dan setiap perkara baru adalah bid’ah”. Dan para ulama—rahimahullah—sungguh-sungguh telah menjelaskan bahwasanya makna dari kedua hadits yang disebutkan itu kembali kepada perubahan hukum dengan meyakini apa yang bukan ibadah sebagai ibadah, dan bukanlah mutlak semua yang baru. Karena syari’at telah menentukan landasannya, maka (sesuatu yang baru itu) kembali kepadanya (syariat tersebut), atau telah menetapkan percabangannya, maka (sesuatu yang baru itu) diqiyaskan (dianalogikan) kepadanya. (Risalah Ahlussunnah wal Jamaah, karya: Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari, hlm: 6)

 

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa:

1.      bid’ah menurut Syaikh Ahmad Zarruq adalah sesuatu yang baru dalam perkara agama, yang menyerupai (ritual) agama sedang ia bukan bagian dari agama.

2.      para ulama menjelaskan bahwa bid’ah, adalah tidak meliputi segala sesuatu yang baru. Melainkan ia hanya meliputi segala yang baru yang di-i’tiqadkan sebagai suatu ibadah dalam agama, sedangkan ia bukan merupakan bagian dari ibadah dalam agama, maka itu adalah bid’ah yang tercela. Dan dengan demikian hukumnya haram.

Dalam hal ini dapat dicontohkan: bersalaman setelah shalat, jika ia dianggap sebagai slaman biasa, dan bukan sesuatu yang wajib dilaksanakan setelah shalat, maka hal itu tidak bermasalah adanya. Dengan kata lain bukanlah suatu bid’ah. Akan tetapi, jika bersalaman setelah shalat diyakini sebagai suatu kewajiban, yang karenanya bagi yang tidak berjabat-tangan setelah shalat adalah berdosa, maka hal inilah yang dimaksud dengan bid’ah yang tercela.

3.      setiap segala sesuatu yang baru harus dikembalikan kepada tolak ukur syariat agama, baik dengan cara dicari landasan dalil-nya atau diqiyaskan dengan praktik-praktik yang telah ada sejak masa nabi.

Dalam hal ini, dapat dijelaskan tentang masalah berjabat-tangan setelah shalat. Dikatakan dalam hadits tentang keutamaan berjabat-tangan antara dua orang muslim. Maka keutamaan tersebut berlaku baik dilakukan setelah shalat atau di waktu lainnya.

 

Demikianlah apa yang dapat kami pahami dari uraian sunnah dan bid’ah dari kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari ini.

 

 

 

Malang, 3 September 2024

 

R. Ahmad Nur Kholis

Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Annahdliyyah Karangploso Malang

Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Kepanjen Malang

Pengajar di Pondok Pesantren Riyadlul Qur’an Ngajum Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar