Menarik untuk mengutip apa yang dikatakan oleh Bruinessen (1994), bahwa kemunculan figur berada dalam suatu situasi tertentu jika diperlukan. Dan sebagus apapun pemikiran seorang figur, maka ia tidak akan muncul jika tidak sesuai dengan situasi sosial politik tertentu. Demikian kurang lebih kata Martin van Bruinnessen dalam jurnalnya berjudul: “Konjungtur Sosial Politik di Jagat NU Paska Khittah NU 1926: Pergulatan NU Dekade 1990-an”, yang dimuat dalam buku: “Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil” editor: Ellyasa KH Dharwis (1994).
Kemunculan sosok Gus Dur yang kritis dan berani, apalagi menjai pucuk pimpinan organisasi Nahdlatul Ulama yang dibawanya untuk kembali khittah 1926, adalah tepat dalam situasi pemerintahan negara yang semakin otoriter dan sentralistik. Demikianlah, Gus Dur dan NU kemudian menjelma sebagai suatu kekuatan sipil, yang satu-satunya berani berhadapan vis-à-vis pemerintah yang semakin tidak demokratis dan menjunjung tinggi supremasi birokrasi. Kekuatan yang lain seperti partai politik kala itu sudah dilumpuhkan lebih awal melalui fusi oleh pemerintah dengan arsiteknya yakni Ali Murtopo.
Perubahan kondisi ini rupanya dibaca dengan baik oleh Gus Dur ketika menjelang dan sesaat setelah reformasi. Ia membaca bahwa Indonesia ke depan akan lebih demokratis, dan bahkan akan sangat kebablasan. Dalam kondisi yang demikian, maka partai politik akan kembali menjadi kekuatan sipil untuk mengimbagi pemerintah. Sebagaimana hakikatnya, bahwa keberadaan partai politik adalah untuk membatasi kekuasaan pemerintah.
Oleh karena itu, kemudian Gus Dur dengan meminta restu kepada PBNU, hendak mendirikan partai politik. Hal ini diperlukan karena, dalam pemerintahan yang lebih demokratis, kekuatan sipil berada di tangan partai politik. Dan NU yang menyadari ummatnya cukup banyak memerlukan suatu wadah partai politik untuk menyalurkan aspirasi dan mengambil peran di pemerintahan. Maka lahirlah apa yang kita sebut sekarang sebagai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari sini pula kita menyadari bahwa PKB adalah anak kandung dari NU.
***
Mungkin sebagaian orang hanya melihat tersebut sebagai kilasan sejarah, namun latar belakang di atas, dapat kita jadikan semacam pisau analisis untuk membaca konflik NU dan PKB sekarang ini. Di satu sisi, PKB sebagai partai politik, meskipun sempat dikatakan oleh beberapa kalangan NU sendiri sebagai suatu eksperimen politik yang gagal karena sering dilanda konflik internal sejak masih baru berdiri, namun sekarang kiranya PKB telah menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh. Kita melihat bahwa PKB mampu “bangkit” dari keterpurukannya di tahun 2009, yang hanya memperoleh 4,95%; menjadi 9,04% pada tahun 2014; dan 9,69% pada tahun 2019; serta 10,62% pada tahun 2024. Fakta ini kemudian membawa PKB menjadi partai menengah yang kekuatannya tidak bisa diabaikan oleh pemerintah. Hal ini juga menunjukkan bahwa PKB dalam satu aspek mampu mencapai apa yang dicita-citakan Gus Dur sebagai salah seorang pendirinya. Di sisi lain, NU memiliki segudang cita-cita dan rasa cinta tanah air yang kuat dan lama tertanam sebagai modal untuk menguatkan karakter generasi bangsa kita yang semakin tergerus oleh derasnya medernisasi--yang absurd seperti kata John L. Esposito--dan dipercepat oleh perkembangan teknologi informasi yang mencapai puncaknya.
Melihat kenyataan seperti ini, saya kira PBNU haruslah bersinergi dengan PKB agar supaya—di satu sisi—saluran politik praktisnya untuk menyarakan aspirasi di parlemen menjadi tersedia. Pada sisi lain, supaya PKB juga memiliki wadah untuk berembuk persoalan-persoalan yang sifatnya strategis kebangsaan dan kerakyatan. Di samping itu juga mungkin PKB dapat memiliki kekuatan tambahan dan berarti untuk lebih kritis dan tidak selalu oportunis terhadap pemerintahan. Tanpa mampu mengelola kondisi demikian, saya kira PBNU akan sulit untuk menanamkan pengaruhnya yang berarti dalam pemerintahan.
Seharusnya, hubungan keduanya diperbaiki, dan sinergi yang baik dilakukan.
Malang, 19 September 2024
R. Ahmad Nur Kholis
(Warga NU di Malang)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar