Sabtu, 30 Mei 2020

MENJELASKAN AL-FATIHAH




Jika kita membaca Al-Fatihah maka akan kita sadari bahwa ada pada beberapa ayatnya terdapat pernyataan-pernyataan yang menarik. Pernyataan pertama surah ini pada ayat kedua, (bagi yang berpendapat bahwa basmalah bagian dari ayat fatihah) menyatakan: “Al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamina (segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam). Kemudian ayat keempat menyatakan: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iina.” (Kepada-Mulah kami menyembah, dan kepada-Mu pula kami mohon pertolongan). Ayat keenam dari surah ini menyatakan: “Ihdina As-Shiratha Al-Mustaqiima.” (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus).
Berdasarkan uraian-uraian di atas kita lalu bertanya: “apa maksudnya semua ini?”. Bukankah kita (ummat Islam) percaya dan meyakini bahwa Al-Qur’an dalam semua bagiannya adalah firman Allah?. Demikian pula kita percaya bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah berdasarkan lafadz dan maknanya berasal dari-Nya. 
Namun mengapakah bunyi ayat ini sebagaimana disebutkan adalah ganjil (aneh) adanya?. Pada ayat pertama keganjilan mungkin sedikit dirasakan pada pernyataan: “segala puji bagi Allah.” Apakah maksudnya ini adalah Allah memuji dirinya sendiri sembari memberitahu Muhammad atau Jibril?. Kita tahu bahwa salah satu riwayat mengatakan bahwa surah fatihah ini didektekan oleh Jibril. Dengan demikian apakah bacaan Al-hamdu ini adalah kalimat dari Jibril atau Muhammad?. Jika saja demikian maka batallah Al-Qur’an sebagai kalam Allah.
Keganjilan pertama terletak pada kata Al-Hamdulillah (segala puji Bagi Allah). Apakah itu diucapkan oleh Allah sendiri?, dengan demikian itu adalah pujian dari Allah kepada diri-Nya sendiri? Atau itu adalah ucapan dari Jibril atau Muhammad?. 
Keganjilan kedua terletak pada pernyataan: “iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iinu” (kepada-Mu lah kami menyembah, dan kepada-Mu lah kami memohon pertolongan). Apakah yang dimaksudkan dari pernyataan ini. Apakah Allah menyembah kepada Jibril atau Muhammad? Sedang ia adalah Dzat yang disembah, dan bukan hamba yang menyembah?.
Keganjilan ketiga terletak pada pernyataan:”Ihdina as-Shiraatha Al-Mustaqim” (Tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus). Bukankah Allah maha memberi petunjuk (al-Hadi). Mengapa ia meminta petunjuk. Siapakah yang Allah minta petunjuk? 
Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat meragukan ini, (pertama) perlu dijelaskan bahwa, sebagaimana dijelaskan dalam Tafsir Jalalain (karya Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli) bahwa alif-lam (article) pada pernyataan ‘Al-Hamdu’ (yang artinya segala puji) secara semantis menunjukkan makna ‘istigraq’ artinya meliputi segala hal. Dalam hal kalimat ‘al-hamdu’ maka dinyatakan bahwa Allah berhak atas segala bentuk pujian. Segala bentuk pujian ini dijelaskan oleh para ulama ada 4 (empat) yaitu: (1) pujian Tuhan kepada diri-Nya sendiri; (2) Pujian Tuhan kepada Makhluk-Nya; (3) pujian Makhluk kepada Tuhan; dan (4) pujian makhluk kepada makhluq. Dalam hal bentuk pujian yang pertama; yakni pujian Tuhan kepada dirinya, dan bentuk ppujian ketiga yakni pujian makhluk kepada Tuhannya adalah wajar adanya. Bahwa Tuhan memuji diri-Nya sendiri itu adalah hak atasnya. Dan bahwa makhluk senantiasa memuji tuhannya memang sering kita jumpai dan lakukan.
Akan tetapi permasalahan mengenai Tuhan yang memuji makhluknya apakah mungkin di lakukan?, jawabannya adalah iya bisa saja dan mungkin. Tuhan berhak untuk memuji makhluknya yang mana saja. Karena jika saja Tuhan melakukannya hal itu pada hakikatnya adalah memuji Tuhan sendiri. Alasannya, karena Tuhan yang menciptakan makhluk. Jadi Tuhan memuji hasil karya (creation)-Nya sendiri. Jadi pada hakikatnya Ia (Tuhan) memuji dirinya sendiri.
Adapun mengenai makhluk yang memuji sesama makhluk, dapat dijelaskan bahwa hal ini pada hakikatnya sama saja dengan memuji penciptanya. Karena baik yang memuji maupun yang dipuji adalah hasil ciptaan Tuhan. Ketika kita menyanjung seseorang karena fisik atau sifatnya, pada hakikatnya yang baik yang tersanjung adalah pencipta makhluk yang kita puji itu. Dari sinilah  maka dikatakan bahwa: “Al-Hamdu lillahi Rabbil ‘Alamiina.” (Segala puji bagi Allah). Yakni baik bentuk pujian yang pertama, kedua, ketiga, dan keempat adalah milik Allah.
(Penjelasan kedua) adalah bahwa  baik dalam Tafsir Jalalain maupun Thabari, dijelaskan bahwa terdapat kata yang dilesapkan (mahdzuf) yang terletak sebelum kata “al-Hamdu”. Kata yang dilesapkan itu adalah kata: “Quluu” (katakanlah!). Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagian besar sudah terpecahkan. Bahwa Surah Al-Fatihah harus kita letakkan dalam konseks bahwa surah tersebut (dan semua bagian dari Al-Qur’an) harus dan hendaklah kita baca. Demikianlah maka Imam At-Thabari dengan analisa wacana (discourse analysis) bahasa mengatakan bahwa pembacaan Al-Fatihah (dan Al-Qur’an secara umum) merupakan perintah yang bernilai ibadah jika dilakukan.
Dalam penjelasan yang lebih mendetail, Imam At-Thabari menjelaskan makna dari Al-Fatihah tersebut demikian: “(Quluu) Al-Hamdulillahi Rabbil ‘alamiina” ((katakanlah!) Segala puji bagi Allah).  Dan demikian pula pada ayat kelima dita’wilkan: “(Quluu) Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’iinu.” ((katakanlah!) kepada-Mu lah kami menyembah dan kepada-Mulah kami memohon pertolongan). Hal serupa juga dikatakan oleh As-Suyuthi dalam Jalalain. Secara koheren dapat pula kita pahami meskipun tidak dikatakan oleh Thabari dan Suyuthi bahwa ayat keenam juga dapat dipahami sebagai: “(Quluu) Ihdina As-Shiratha Al-Mustaqim” ((Katakanlah!) berilah kami petunjuk ke jalan yang lurus!)”
Namun demikan di dalam Kitab At-Thabari kita jumpai satu lagi diskusi tentang Al-Fatihah ini. Yaitu pertanyaan mengenai: “bagaimana kita lalu berkesimpulan bahwa yang dilesapkan di depan pertanyaan ‘Al-Hamdu’ itu adalah kata ‘quluu’ (katakanlah!)?. At-Thabari menjelaskan hal ini adalah berasal dari konteks pemahaman ketika kata itu diucapkan. Secara apologetik ia mengatakan:

قيل: قد دللنا فيما مضى أن العرب من شأنها—إذا عرفتْ مكان الكلمة، ولم تشكَّك أن سامعه يعرف، بما أظهرت من منطقها، ماحذفت-حذف ما كفى منه الظاهر من منطقها، ولاسيما إن كانت تلك الكلمة التي حذفت، قولا أو تأويل قول. (إ.هـ.)
Artinya:
Dikatakan: kami telah menunjukkan sebelumnya bahwa bahasa bangsa arab secara alamiah (jika mengetahui kedudukan kata sedang ia tidak diaungkapkan, pendengarnya menjadi mengerti apa yang menjadi konsekuensi logisnya dari apa yang dilesapkan dalam kalimat) melesapkan apa yang tidak perlu dijelaskan secara langsung (manthuq). (Hal ini sering terjadi) apalagi jika kalimat yang dilesapkan adalah (diungkapkan) dalam perkataan lisan atau penjelasan ucapan. (tafsir Thabari (1):61-62)

Hal inilah yang dalam ushul fiqh disebut sebagai dilalah mafhum (indeks pemahaman). Artinya, secara semantis sebuah pernyataan yang dilontarkan seseorang dapat dipahami melalui konteks, tanpa harus terikat dengan aturan kebahasan yang rumit (sintaksis dan sebagainya). Yang terakhir ini kita sebut sebagai dilalah mantuq (indeks tekstual).
Ketika kita di pinggir jalan dan mencari tumpangan ke suatu tempat kita dapat saja berteriak: ‘becak..!’ pada tukang becak. Dan becak itupun mendekati kita dan kita menumpanginya. Padahal kita tidak menyuruhnya mendekat. Namun pemahaman konteks pembicaraan dapat dipahami seperti itu dan kedua belah pihak menangkapnya sesuai tujuan satu sama lain.
Di dalam ilmu nahwu, terdapat konsep bahwa: “suatu kata itu boleh dilesapkan jika sudah dipahami dalam suatu pembicaraan atau percakapan (takallum)”. Hal yang sering dicontohkan adalah ketika ada pertanyaan: “Apa itu?”; atau “Kamu membawa apa?”. Seorang yang ditanya akan langsung menjawab: “buku” atau sebagainya. Padahal secara sintaksis, maksudnya adalah: ‘ini buku’; atau ‘saya pegang buku’. Wallahu a’lam.
At-Thabari juga mengatakan bahwa, dengan di-muqaddarkan kata “quluu” tersebut maka hal ini koheren dengan kenyataan bahwa membaca Fatihah (dan Al-Qur’an secara umum) adalah perintah yang dinilai sebagai ibadah (muta’bbad) bagi yang melakukannya.
Wallahu a’lam.

R. Ahmad Nur Kholis
Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
Pengajar Ilmu Nahwu di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang
Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang
Anggota Pebelajar di Haraka Institute Junrejo Kota batu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar