Perdebatan dan diskusi tentang nasab masih terus berlanjut sampai sekarang, dan sepertinya belum menemukan titik kesudahannya. Hal ini utamanya--dan diperkeruh oleh--perdebatan di media sosial. Yang sangat disayangkan adalah karena utamanya di media sosial, perdebatan ini kebanyakan tidak bersifat konstruktif. Rupanya benar jika dikatakan bahwa perdebatan itu tidak banyak manfaatnya untuk dikatakan sebagai pencarian kebenaran.
Saya secara pribadi, pada dasarnya setuju dan menerima tesisi kiai Imaduddin Utsman secara adil. Adil dalam artian menerima keberadaan dan kebenarannya secara pola pikir ilmiah dan sebagai hasil riset. Dan penerimaan ini adalah bukan penerimaan yang "buta", karena sebagaimana karakteristik kebenaran ilmiah, hasil riset harus diterima secara kebenaran, sampai ia ditemukan data dan fakta yang menjadi kontra kepadanya. Demikian pula hasil riset itu terbuka untuk selalu dipertanyakan, diuji dan bahkan dibantah kebenarannya sampai kapanpun. Inilah kiranya penjelasan dari apa yang disebut oleh Karl Raymund Popper sebagai "falsifikasi terus menerus". (Maxwell, 2007)
Lalu, sebagai urun rembuk saya, sebagi warga Nahdlatul Ulama (NU), seharusnya struktur NU memberikan ruang bagi kiai Imaduddin Utsman dan hasil risetnya untuk didiskusikan. Demikian pula NU semestinya menerima hasil riset tersebut sejauh belum ada data pembandingnya. Ini kiranya adalah pilihan bijaksana dan selaras dengan prinsip sikap tawassuth sebagai langkah organisasi. Mengingat pula bahwa Kiai Imaduddin Utsman memiliki potensi yang cukup besar secara pemikiran dan keilmuan.
Di sisi lain, NU juga harus memberikan kesempatan yang terbuka bagi siapapun untuk melakukan riset tandingan, bagi sesiapa saja yang ingin membantah penelitian Kiai Imaduddin. Selenggarakanlah majelis-majelis diskusi ilmiah layaknya majlis musyawarah (syawir) kitab kuning di pesantren-pesantren. Toh lembaganya sudah ada, yakni Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU).
Semoga masalah ini cepat selesai dengan lancar dan aman.
Salam.
RS. Slamet Martodirdjo (Smart), Pamekasan, 21 Agustus 2024
R. Ahmad Nur Kholis
Pengajar di Madrasah Diniyah Annahdliyyah Karangploso Malang

Tidak ada komentar:
Posting Komentar