Rabu, 17 April 2024

SHALAT WITIR DAN MASALAH DEFINISI

 


Jika kita belajar logika, persoalan term dan definisi adalah persoalan yang terlebih dahulu diuraikan. Setidaknya ada 2 (dua) macam definisi yang sering digunakan. Pertama adalah definisi etimologis (bahasa), dan kedua adalah definisi terminologis (istilah).

Masalah shalat witir menjadi rancu karena klausa "shalat witir", pada kata "shalat" diterjemahkan dalam definisi istilahnya, yaitu: "ibadah yg dimulai dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam". Sedangkan kata "witir" diterjemahkan ke dalam definisi "bahasa"-nya, yakni ganjil. Tidak diterjemahkan sebagai suatu kesatuan istilah, seperti: "shalat yang bilangannya ganjil dan bisa dilaksanakan secara washal (sambung) atau fashal (terpisah).

Padahal jika kita mau tepat dalam menggunakan definisi, kedua-duanya harus diterjemahkan dalam definisi yang sama. Sama-sama diterjemahkan ke dalam definisi bahasa atau keduanya diterjemahkan ke dalam definisi istilah. Jika definisi bahasa yang digunakan, maka kata "shalat" secara bahasa adalah "doa". Sedangkan "witir" secara bahasa adalah "ganjil". Jadi shalat witir adalah "shalat ganjil".

Akan tetapi, apakah ini yang benar-benar diinginkan dari istilah shalat witir?. Yakni apakah semata-mata pengertian bahasa saja yang akan kita gunakan?. Tentu saja tidak. Karena (menurut para ulama) Nabi diutus tidak untuk tunuan mengajarkan bahasa, melainkan mengajarkan syariat. Maka di sini pengertian istilah (syar'an) harus didahulukan.

Shalat witir itu bisa disambung bisa dipisah. Kalau disambung 3 rakaat sekaligus. Kalau dipisah maka dilaksanakan dengan 2 rakaat dulu lalu salam. Kamudian 1 rakaat lalu salam.

Dalam satu kitab busyro karim yg saya baca, yg lebih afdal adalah cara yg terakhir ini. Yakni yg dipisah. Karena nabi melaksanakan demikian.

Jadi bukan perkara genap ganjil. Tapi praktik shalat witir adalah demikian.


Malang, 17 April 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar