Jumat, 03 November 2023

HAL YANG DISAYANGKAN DARI PERDEBATAN NASAB HABAIB DI KESULTANAN BANTEN

 


Sesungguhnya agak terlambatlah saya untuk menjelaskan pendapat dan sikap saya--setidaknya sikap untuk saya sendiri—mengenai debat persoalan nasab habaib di Kesultanan Banten tanggal 27 Agustus 2023 yang lalu. Saya belum merasa tertarik untuk menyimak dan menyaksikan perdebatan itu ketika live dan ketika lagi rama-ramainya persoalan ini dibahas. Dan saya baru tergerak untuk menyimak dan menyaksikannya tidak lama—belum ada satu bulan—sebelum tulisan ini ditulis. 

Apa yang saya harapkan ketika menyaksikan debat itu sebenarnya, adalah suatu debat yang benar-benar ilmiah. Di mana bantahan-bantahan yang logis terhadap karya ilmiah Kiai Imaduddin Utsman disajikan dan dijelaskan secara logis dan sistematis. Data-datanya juga valid (sahih) dan reliable (bisa diandalkan).

Jika memang debat ilmiah yang diinginkan, seharusnya perdebatan tersebut tidak melibatkan emosi dan kemarahan. Karena sifat dasar dari ilmu pengetahuan itu adalah bebas nilai (free value). Oleh karena ia bebas nilai, maka dalam perdebatan (diskusi) ilmiah itu tidak perlu—atau bahkan—diharamkan untuk melibatkan emosi dan mengeluarkan kata-kata yang merendahkan orang lain. Di sinilah maka sebenarnya istilah perdebatan (jadal) yang—bahkan--digunakan di dalam tulisan ini sebenarnya adalah keliru. Karena perdebatan yang dalam istilah Ihya’ Ulumuddin disebut sebagai “jadal” adalah suatu perdebatan yang berorientasi menang-kalah dari pada benar-salah, dan karenanya Imam Al-Ghazali melarangnya. Istilah yang lebih tepat sebenarnya adalah diskusi (munaqasyah).

Secara umum sebelumnya, saya menerima dan menyetujui penjelasan dari Kiai Imad yang telah membuat kesimpulan bahwa nasab Ba’alawi terputus karena tidak ada catatan yang sezaman yang menjelaskannya. Ini sangat logis sekali, dan memang belum ditemukan data catatan yang tersedia. Dan kesimpulan ini harus saya—dan kita semua—terima sampai ada bukti lain yang sahih dan dapat diandalkan yang bisa membantahnya (membuktikan fakta yang sebaliknya). Hal inilah yang menimbulkan rasa penasaran saya akan perdebatan di Kesultanan Banten itu. Pertanyaan mendasar saya adalah: “kira-kira data dan fakta seperti apa yang dibawa--sebagai sebagai bukti kebalikan—yang diajukan oleh pihak pembantah tesis tersebut.

Namun, sayangnya ketika dan setelah saya menyaksikan perdebatan tersebut via Youtube, saya merasa apa yang saya harapkan di atas ternyata tidak kesampaian. Apa yang saya harapkan bahwa diskusi yang dalam temanya adalah membedah tesis Kiai Imaduddin Utsman berlangsung secara ilmiah tidak terjadi. Yang ada hanyalah perdebatan penuh emosional belakan.

Yang tak kalah pentingnya—bahkan ini adalah poin inti yang ingin saya sampaikan—adalah bahwa dari pihak pembantah tesis tersebut yang diwakili oleh Abuya Qurtubi Jaelani (Banten); Habib Hanif (Jakarta); dan Ustad M. Fuad Abdul Wafi (alumni pesantren Sidogiri) tidak dapat menyajikan data yang valid dan reliable untuk membantah tesis tersebut. Argumen-argumen yang dibangun pun tidak logis dan sistematis. Dan pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok persoalan yang diajukan oleh KH. Imaduddin melalui para utusannya yakni Tengku Muda Qori dari Aceh dan kawan-kawannya tidak terjawab. Bahkan banyak waktu terbuang untuk membahas banyak hal yang melebar dari fokus permasalahan semula. Hal ini sangat disayangkan bagi saya yang sejak semula dipenuhi rasa penasaran akan data-data apa yang disajikan.


Malang, 4 Nopember 2023


R. Ahmad Nur Kholis

e-mail: kholis3186@gmail.com

1 komentar: