Anis Baswedan, dulunya (dan juga sampai sekarang) adalah seorang pemikir dan pegiat pendikan. Ia beraktifitas di Universitas Paramadina Jakarta. Sejak waktu belakangan ini, mengikuti pola umum pasca pak Joko Widodo, ia ramai disuarakan sebagai calon presiden setelah menjadi gubenur Jakarta sejak tahun 2018 lalu. Kenyataannya pun demikian, kali ini menjelang pemilu tahun 2024 ia mencalonkan diri sebagai presiden dengan kendaraan Partai Nassional Demokrat (Nasdem) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Di sisi lain, Abdul Muhaimin Iskandar (Gus Imin) adalah seorang pemimpin Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan aktifis politik sejak pasca reformasi tahun 1998. Gus Imin, bagaimanapun pro-kontra terhadapnya, masyarakat melihatnya sebagai warga NU. Ia juga merupakan cucu keluarga pendiri Nahdlatul Ulama. Dan berasal dari daerah pusat (basis) massa Nahdlatul Ulama yang utama: Jombang.
Demikian pula PKB, bagaimanapun pendapat orang terhadap partai ini saat ini, masyarakat di bawah, (juga masyarakat non-NU) melihatnya sebagai representasi partai berbasis massa Nahdlatul Ulama. Warga NU masih banyak yang memiliki (setidaknya) hubungan emosional dengan partai ini. Meskipun dalam beberapa hal tidak dengan Muhaimin. Banyak nahdliyyin yang masih belum bisa melepaskan ikatan emosional dan kesejarahan dengan partai ini. Meskipun di antara mereka mungkin masih sakit hati dengan Muhaimin.
Sepanjang sejarah NU sebagai partai politik, dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik praktis, NU lebih tampak selalu bergandengan dengan kalangan (ultra) nasionalis Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dari pada dengan partai Islam Masyumi. Dalam banyak hal yang berkaitan dengan politik praktis seperti patronase, kedudukan dalam kabinet, NU sebagai partai politik waktu itu (1952-1967) selalu saja bergandengan tangan dengan PNI. Dan dalam hal ini, setidaknya dalam analisis Greg Fealy (1999) NU selalu lebih mendapatkan keuntungan secara materialis daripada keuntungan secara strategis. Sebaliknya, dalam hubungannya dengan partai Masyumi, NU sering (jika tidak selalu) berseberangan dengan partai kaum modernis ini.
Hubungan NU dengan Masyumi selalu terlihat “bergandeng tangan” dalam hal yang bersifat strategis-ideologis. Katakanlah dalam kasus-kasus seperti: (1) ketika Soekarno menentang gagasan negara Islam pada tahun 1953; (2) kedekatan Soekarno dengan kaum komunis, ketika ia (Soekarno) mengemukakan konsepsinya tentang Nasakom; dan (3) perdebatan tentang dasar negara (Islam atau Pancasila) pada tahun 1959. Dalam kasus-kasus seperti ini, NU berada satu barisan dengan Masyumi.
Masalahnya sekarang adalah: (Pertama) PKB sebagai representasi politik NU pasca reformasi,”bergandeng-tangan” dengan PKS, yang tidak saja modernis, melainkan pula dicap sebagai transnasional, oleh karena ia disinyalir merupakan kaki-tangan ikhwanul muslimin di Indonesia. (Kedua) bentuk satu barisannya adalah bukan lagi dalam masalah-masalah yang ideologis, melainkan politik praktis kekuasaan.
Akankan hal ini akan menjadi pola baru dalam gaya berpolitik warga NU kedepannya?, sebagaimana pola baru calon presiden yang berangkat dari Gubenur?. Dan bagaimana warga NU merespon hal ini?
Malang, 7 September 2023
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

menurut njenengan ustad, dari 3 nama populer yg mencalonkan diri sebagai capres, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mana yg lebih pantas untuk memimpin Indonesia 5 tahun kedepan?
BalasHapusdalam konteks saat ini saya lebih cenderung Prabowo Subianto.
Hapus