Jumat, 09 Juni 2023

PUTUS SEKOLAH ANAK DAN REMAJA MILENIAL: MEDIA SOSIAL SEBAGAI FAKTOR

Fenomena putus sekolah mungkin merupakan suatu dampak yang mulai dirasakan di zaman perkembangan puncak teknologi informasi dan komunikasi saat ini. BPS (https://bps.go.id; diakses 10 Juni 2023; 5:36 AM) mencatat bahwa tren putus sekolah naik selama era pandemi sampai tahun 2022. Sepanjang 2020 sampai dengan 2022, secara berturut-turut tercatat tren peningkatan sebagai berikut:

Pada jenjang Sekolah Dasar (SD), tercatat angka anak tidak sekolah sebesar 0,62 pada tahun 2020. Angka ini kemudian meningkat 0.03 menjadi 0.65 pada tahun 2021, dan meningkat sebesar 0.06 menjadi 0.71 pada tahun 2022. Pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), tercatat anak tidak sekolah sebesar 7.29 pada tahun 2020. Kondisi ini menurun ke angka 6.77 pada tahun 2021; dan meningkat ke angka 6,94 pada tahun 2022. Pada jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA), angka tersebut lebih tinggi yakni dari angka 22.31 pada 2020, menurun menjadi 21,47 pada 2021; dan meningkat ke angka 22,52 pada tahun 2022.


Media Sosial Sebagai Variabel?

Beberapa pihak seperti Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menilai bahwa hal ini disebabkan faktor-faktor seperti: minat individu, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, dan masalah finansial sebagai penyebab (atau setidaknya determinan). (https://majalahaula.id; diakses 10 Juni 2023; 5:36). Namun menurut saya pribadi, hal ini lebih disebabkan oleh perubahan gaya hidup dan kehidupan sosial di era puncak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Ingatkah kita pada fenomena Citayam Fashion Week yang beritanya santer pada bulan Juli (bulan tahun pelajaran baru) pada 2022 lalu. (https://kompas.com; diakses: 10 Juni 2023; 5:38 AM). Dapatkah kita memikirkan korelasi fenomena ini dengan dengan angka putus sekolah (https://lifestyle.kompas.com/; diakses 10 Juni 2023: 5:40 AM)

Penulis menjumpai pula sebuah kasus di mana pada 3 (tiga) tahun yang lalu, seorang siswa penulis di sebuah sekolah tingkat pertama enggan masuk sekolah. Guru dan orang tuanya pun tidak dapat membujuknya untuk kembali bersekolah. Bahkan orang tuanya pun menjadi putus asa membujuknya. Usut punya usut karena si anak telah merasa nyaman dengan menjadi youtuber di usianya yang masih sangat muda. Ia bersama dengan beberapa temannya memiliki suatu kelompok pertunjukan budaya lokal yang kemudian diunggahnya kea kun youtube yang ia punya. Monetisasi dari youtub sudah lolos dan ia mendapat uang yang relatif besar bagi anak seumurannya. Ia kemudian merasa nyaman dengan kondisi tersebut. Dan ia pun putus sekolah.

Sebenarnya, saya masih mengantongi setidaknya satu kasus serupa dan sepola, yaitu aktif bermedia sosial dan putus sekolah. Namun kiranya kedua fenomena tersebut menunjukkan kepada kita bahwa media sosial adalah variabel baru dalam dunia pendidikan yang harus diperhatikan utamanya oleh pemikir pendidikan. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) merupakan varibel baru dunia yang begitu deras melaju di era saat ini. Kiranya para akademisi dan pemikir pendidikan kita harapkan untuk memberikan suatu formulasi baru di dalam rangka keberlangsungan pendidikan Indonesia untuk tetap berkembang melesat sembari juga menjaga akar-akar kebudayaan dan nilai-nilai yang mencengkram kuat ke dalam bumi kebudayaan negeri kita sendiri di masa sekarang dan akan datang.

Kemudian, adalah sangat mungkin jika masalah ini juga parallel dan memiliki korelasi dengan fenomena-fenomena lain seperti turunnya minat baca anak muda dan fenomena kelesuan pasaran buku-buku di Indonesia. NU Online pernah merilis bagaimana keluh kesah para penjual buku di Jakarta. (lihat: NU Online) Serta bagaimana kelesuan pasaran buku di tempat-tempat populer sebagai pasar buku di masa lalu seperti di Kwitang. (lihat: NU Online). Namun tentu saja ini perlu riset tersendiri, dan demikian pula langkah-langkah strategis.


Malang, 10 Juni 2023


R. Ahmad Nur Kholis

Guru di Malang; HP: 081335557124

Tidak ada komentar:

Posting Komentar