Selasa, 02 Mei 2023

KHUTBAH IDUL FITRI: BAHASA DAERAH, INDONESIA, ATAU BAHASA ARAB?



Lebaran, idul fitri tahun 1444 H/2023 M ini, saya diminta untuk menyampaikan khutbah idul fitri di Masjid kampung halaman saya. Yakni di Masjid An-Nur Bandungan Pakong Pamekasan. Di tengah-tengah perbedaan pendapat hari raya Jum'at atau Sabtu, masjid kampung saya ini memilih hari Sabtu. 

Saya sendiri, pada sholat Jum'at hari sebelumnya bertindak menjadi imam dan khatib sekaligus. Sedang pada hari Sabtu-nya, kami bertidak hanya sebagai Khotib. Adapun imam shalat 'Id adalah adik sepupu saya Kiai Jamaluddin Kafi. 

Pada khutbah Jum'at kali ini saya menyampaikan dengan bahasa pengantar bahasa arab, baik untuk khutbah pertama maupun khutbah kedua. Adapun pada khutbah Idul fitri, kami menggunakan bahasa pengantar bahasa madura untuk khutbah pertama dan bahasa arab untuk khutbah kedua. Jika dihitung-hitung, ini merupakan khutbah ketiga dalam khutbah Jum'at yang saya sampaikan. Dan merupakan khutbah yang kedua, dari khutbah hari raya yang saya sampaikan dalam bahasa madura. Kami pernah menyampaikan khutbah dalam bahasa arab, indonesia, madura, maupun jawa di dalam khutbah yang saya sampaikan baik di tempat tinggal saya di Malang, maupun di kampung halaman saya di madura. 

Secara kajian fiqih, masalah bahasa pengantar khutbah ini memang terjadi perbedaan pendapat. Satu pendapat mewajibkan disampaikan dalam bahasa arab. Pendapat yang lain mengatakan boleh disampaikan dalam dalam bahasa yang dipahami kaum jamaahnya. Alasan dari pendapat pertama adalah: (1) ayat Al-Quran sursh al-Jumu'ah: "Jika kalian dipanggil untuk shalat, maka bergegaslah kepada dzikir Allah dan tinggalkanlah perniagaan." Dzikir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah khutbah. Dan dzikir sebagaimana shalawat dan ayat Al-Quran dibaca dalam bahasa arab. (2) karena khitbah adalah bagian dari shalat Jum'at maupun shalat 'Id. Sedang nabi menjelaskan "shalatlah kalian sebagailana Aku shalat." Sedang shalat Jum'at (dan hari raya) Nabi adalah dengan khutbah dalam bahasa arab. (3) karena tradisi dari generasi salaf (terdahulu) sampai generasi khalaf (belakangan) khutbah disampaikan dalam bahasa arab bukan bahasa yang lain. Meskipun Islam sudah tersebar ke berbagai wilayah dunia. Adapun alasan yang berpendapat boleh disampaikan dalam bahasa nasional atau daerah ialah: karena di dalam khutbah ada peringatan (mau'idzah). Dan ia harus disampaikan dalam bahasa yang dapat dipahami jamaahnya. (Lihat diskusi hal ini misal dalam: Kifayah Al-Akhyar,  I'anah Thalibin, dan Muharrar).

Secara kesejarahan, perdebatan tentang bahasa pengantar khutbah di Indonesia sempat menghangat pada era 1920 s.d. 1930-an. Pada masa sebelumnya, sebagaimana catatan Snoukhougrounje, semua masjid di Nusantara menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab. Baru kemudian pada tahun 1920-an mulai ada gagasan dari kalangan muda muslim nusantara yang progresif untuk menyampaikan khutbah Jum'at dan hari raya dalam bahasa daerah dan melayu. Dalam catatan sejarawan Univerditas Gajah Mada (UGM), kalangan Muhaadiyyah, Al-Irsayad, dan Syarikat Islam serta kalangan modernis lainnya setali tiga uang sepakat menyampaikan khutbah dalam bahasa setempat. Adapun kalangan pesantren, Al-Wahiliyah dan Perti, bertahan dalam menyampaikan khutbah dalam bahasa arab. KH. Agus Salim adalah orang yang pertama menyampaikan khutbah dalam bahaa Melayu di Jakarta pada tahun 1926 dan itu sempat menimbulkan kegaduhan-kegaduhan. Pada beberapa masjid di pelosok Sumatera, sebagaimana di Madura dan Pasuruan Jawa Timur sampai saat ini masih menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab.

Terlepas dari itu semua, mungkin seiring dengan swmakin memudarnya sekat antara Islam "tradisionalis-modernis" di Indonesia, perdebatan mengenai bahasa pengantar khutbah sudah mereda dan sangat rendah frekuensinya saat ini. Kullun ya'malu 'ala tsaqilatih. Semua beramal sesuai kemantapannya masing-masing. Saya pun juga fleksibel setelah mempelajari nalar berfikir masing-masing pendapat. Dan saya kira cukup menarik juga. 

Wallahul muwaffiq ila aqwamitthariq. 

Pamekasan,  23 April 2023

R. Ahmad Nur Kholis

Pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyyah Karsngploso Malang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar