Alhamdulillahirabbil ‘alamin, hari ini, 23 Dzulqa’dah 1442 H / 05 Juli 2021 M pelaksanaan kajian rutin kitab Fathul Mu’in di Pondok Pesantren Al Fithriyah Ngadilangkung Kepanjen Malang berjalan lancar. Beberapa pembahasan kali ini adalah meliputi: (1) ketentuan prosedur mandi wajib; dan (2) mensucikan badan, tempat, dan baju dari najis. Para peserta yang terdiri dari kurang lebih 20 orang santri mengikuti dengan antusias. Dialog dan tanya jawab juga terjadi di dalam kegiatan ini.
Ada beberapa pokok pembicaraan, dan topik yang menarik dari pembahasan kali ini. Hal ini seperti berkaitan dengan pernyataan dalam kitab Fathul Mu’in sebagai berikut:
وَلَوْ رَاثَتْ أَوْ قَاءَتْ بَهِيْمَةٌ حَبًّا فَإِنْ كَانَ صَلَبًا بِحَيْثُ لَوْ زُرِعَ نَبَتَ فَمُتَنَجِّسٌ. يُغْسَلُ وَيُؤْكَلُ. وإَلَّا فَنَجِسٌ. (فتْحُ الْمُعِيْن:11)
Artinya:
Dan jika saja seekor binatang membuang tinja, atau memuntahkan sesuatu berupa biji, jika (biji tersebut) masih utuh, sekiranya jika ditanam masih bisa tumbuh, maka (ini dimanakan mutanajjis). Ia dapat dicuci dan dapat pula dimakan. Jika tidak demikian (tidak utuh) maka dinamakan najis. (Fathul Mu’in, hlm:11)
Keterangan tersebut menjelaskan bahwa: jika saja seekor binatang memakan makanan berupa biji-bijian dan ketika keluar berupa tinja ataupun keluar dikarenakan muntah masih dalam keadaannya sebagaimana sedia kala. Dalam kondisi demikian ini maka hukum biji yang keluar dalam keadaan utuh tersebut disebut dengan mutanajjis. Dengan kata lain, ia dikatakan sebagai benda suci yang kena najis.
Pernyataan Syaikh Al-Malibari di atas juga menjelaskan mengenai konsekuwensi logis dari pada hal ini. Konsekuensi logisnya yaitu: bahwa benda tersebut bisa saja dicuci dan menjadi suci kembali. Demikian pula ia bisa saja dimakan setelah itu. Diskusi pun menjadi berkembang kepada permasalahan lain seperti: (1) bagaimana dengan hukum mengkonsumsi kopi luwak sebagaimana sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari?. Dan karena pernyataan Al-Malibari menyangkut pula mengenai muntahan, yang secara implisit dikatakan sebagai sesuatu yang najis, maka pembahasan menjadi berkembang pula ke dalam pernyataan lain tapi sejenis yaitu: (2) bagaimana hukumnya memakan cumi-cumi yak kita tahu bahwa ia mengeluarkan cairan dari mulutnya yang ‘seperti’ muntahan?.
Kami menjelaskan bahwa kiranya permasalahan kopi luwak sudah jelas dapat terjawab dari pernyataan Al-Malibari ini. Yakni karena hewan yang kita namakan luwak tersebut memakan biji-bijian dari buah kopi, dan ketika keluar berupa kotoran ia masih utuh sebagai kopi, maka hukumnya adalah mutanajjis. Dan dengan demikian dapat disucikan dan kemudian dikonsumsi.
Namun demikian, berkaitan dengan pernyataan Al-Malibari yang mengatakan bahwa ukurannya adalah sejauh biji-biji tersebut masih bisa tumbuh jika ditanam, maka pertanyaannya kemudian, apakah biji-biji kopi tersebut yang telah dimakan luwak masih bisa ditanam dan tumbuh. Tentu saja konsekuensinya adalah jika masih dapat tumbuh maka ia tidak najis dan halal. Sedangkan jika ia tidak dapat lagi tumbuh maka iat najis dan haram dimakan.
Adapun mengenai masalah mengkonsumsi hewan semacam cumi-cumi. Secara tangkapan indera kita, kita memang melihat bahwa ia mengeluarkan cairan hitam seperti sedang muntah. Karena cairan hitam tersebut keluar dari mulutnya. Kemudian dari sini dijelaskan bahwa: “jika saja memang cairan tersebut keluar dari perutnya, maka berarti ia adalah najis.”
Dengan demikian, maka karena ketika cumi-cumi itu dimasak untuk dikonsumsi, cairan hitam tersebut keluar, maka dihukumi dengan muntah. Dan jika pernyataan mengenai cumi-cumi yang telah sebelumnya dijelaskan diatas kita terima, maka itu adalah najis. Dan karena najis, maka haram dikonsumsi.
Jika demikian, maka kita akan merombak segala kebiasaan yang sudah umum terjadi dalam masyarakat kita di Indonesia. Namun, apakah demikian adanya kita lalu serta-merta menghukumi kehalalan dan keharaman cumi-cumi ini? bukankah masih ada pertanyaan-pertanyaan lain berkenaan dengan ini yang harus kita jawab?. Misalkan pertanyaan: “apakah memang cairan tersebut keluar dari perutnya, ataukah ada tempat atau bagian lain dalam tubuhnya sebagai tempat cairan tersebut.” Hal ini dengan mengingat bahwa secara perilaku (behavior), cumi-cumi sengaja mengeluarkannya ketika terdesak untuk melindungi dirinya dari serangan musuh. Di sisi lain, setiap kita mendengar kata ‘muntah’ kita hampir selalu mengandaikan sesuatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau hewan, yang tiada disengaja dan bahkan tidak diinginkan adanya.
Kiranya kita memerlukan perangkat kajian yang lain dalam keputusan ini terkecuali dalil-dalil doktrinal. Hal ini seperti dalil ilmu pengetahuan yang dalam kaitannya dengan pembahasan kita sekarang adalah bidang kajian ‘morfologi tubuh cumi-cumi’ dan kajian ‘fisiologi’-nya.
Cukup menarik bukan?
Malang, 23 Dzulqo’dah 1442 H / 5 Juli 2021 M
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Pengajar mata pelajaran Fiqih dan Ushul Fiqih di Pondok Pesantren PPAI Al Fithriyah Ngadilangkung Kepanjen Malang

Terima kasih ilmunya. Tabarokallah.... Aamiin
BalasHapus