Minggu, 06 Juni 2021

TRADISI YANG MULAI HILANG: BEROBAT DENGAN AIR LEBURAN TULISAN AL-QUR’AN

 


Di dalam kitab Fathul Mu’in karya Syaikh Zainuddin Al-Malibari disebutkan demikian:

وَيَحْرُمُ تَمْكِيْنُ غَيْرِ الْمُمَيِّزِ مِنْ نَحْوِ مُصْحَفٍ وَلَوْ بَعْضِ آيَةٍ وَكِتَابَتُهُ بِالْعَجَمِيَّةِ وَوَضْعُ نَحْوِ دِرْهَمٍ فِى مَكْتُوْبِهِ وَعِلْمٍ شَرْعِيٍّ وَكَذَا جَعْلُهُ بَيْنَ أَوْرَاقِهِ خِلَافًا لِشَيْخِنَا وَتَمْرِيْقِهِ عَبَثًا وَبَلْعُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ لَا شُرْبُ مَحْوِهِ وَمَدُّ الرِّجْلِ لِلْمُصْحَفِ مَالَمْ يَكُنْ عَلَى مُرْتَفِعٍ. (فتح المعين:9)

Secara bebas, dapat dijelaskan bahwa teks tersebut menjaskan bahwa adalah haram hukumnya: (1) meletakkan mushaf Al-Qur’an dari jangkauan anak kecil (seusia kurang lebih balita) meskipun sebagian ayat Al-Qur’an; (2) Menulisnya dengan selain tulisan arab; (3) meletakkan (menghiasi) benda sejenis dirham (perak) pada tulisan Al-Qur’an dan ilmu syari’at; (4) menjadikan (meletakkan sejenis perak) pada sela-sela lembaran mushaf Al-Qur’an; (5) menyobek mushaf Al-Qur’an; (6) menelan sesuatu yang terdapat tulisan Al-Qur’an; (7) menelunjurkan kaki terhadap mushaf selama mushaf itu tidak berada di tempat yang tinggi. (Al-Malibari, (tt):9)

Pada point keenam, dikatakan bahwa: “haram hukumnya menelan sesuatu yang terdapat di dalamnya tulisan Al-Qur’an.” Mengenai point ini, Syaikh Al-Malibari menambahkan bahwa: “tidaklah haram menelan apa yang terlebur (seperti dalam air) dari bagian tulisan Al-Qur’an. (وبَلْعُ مَا كُتِبَ عَلَيْهِ لَا شُرْبُ مَحْوِهِ).

Membaca keterangan dalam kitab Fathul Mu’in sebagaimana di atas, saya menjadi teringan sesuatu yang sering saya lihat ketika masa kecil saya dulu. Keterangan yang dimaksud adalah keterangan mengenai: ‘ketidak haraman menelan apa yang terlebur dari bagian tulisan Al-Qur’an.’ Sesuatu yang saya ingat dimaksud adalah: “taridisi pengobatan dengan menggunakan leburan tulisan Al-Qur’an.” Tradisi tersebut adalah berupa pemberian air pada suatu wadah yang di dalamnya terdapat tulisan Al-Qur’an pada secarik kertas. 

Dulu di desa saya, ketika saya masih kecil, jika ada seseorang yang sakit, biasanya seorang famili atau para tetua orang yang sakit tersebut mendatangi seorang kiai. Utusan seorang yang sakit tersebut melaporkan kepada kiai tersebut bahwa seorang sanak keluarganya ada yang sakit. Untuk itu, sudilah kiranya sang kiai memberikan do’a-do’a dan obat demi kesembuhan sanak keluarga yang bersangkutan yang sedang sakit adanya.

Seorang kiai ketika itu biasanya mengambil air di dalam wadah semacam gelas, merapal doa, dan meniupkannya ke dalam air tersebut. Ada kalanya, dan sering terjadi bahwa air di dalam wadah itu diberikan suatu tulisan berupa do’a, shalawat, atau tulisan ayat Al-Qur’an. Air tersebut kemudian di bawa kepada orang yang sakit dan ia meminumnya secara rutin. Beberapa hari kemudian, si sakit pun sembuh adanya. 

Semua itu dilakukan atas dasar kepercayaan bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat barokah yang bisa diambil manfaatnya. Tentu saja keberkahan itu diyakini dari Allah. Meminum air leburan tulisan Al-Qur’an itu sendiri adalah suatu cara dan ikhtiar si sakit dan keluarganya itu. Hal demikian ini disebut sebagai: ‘tabarruk’ yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa jawab sebagai: ‘ngalap barokah.’

Secara logika hal ini dapat dijelaskan demikian: “Karena ini ditulis dan didoakan oleh seorang kiai (yang notabene dan diyakini adalah sebagai kekasih Allah), juga yang tertulis di dalamnya adalah ayat-ayat kitab suci, maka berkah semua itu semoga Allah memberikan kesembuhan kepada yang sakit.” 

Logika demikian ini jika kita telusuri dapat kita lacak dalam karya-karya Al-Ghazali seperti dalam kitab Minhaj Al-‘Abidin. Di dalam kitab tersebut, Al-Ghazali kurang lebih menjelaskan: “seorang kekasih Allah, jangan lagi do’anya, setiap segala sesuatu yang terjadi pada diri kekasih Allah itu adalah mengandung kebaikan adanya.” Jangankan lagi doa seorang kekasih Allah, bahkan sisa makanan seorang wali (kekasih) Allah pun adalah kebaikan adanya. Karena yang memakan adalah bukan orang sembarangan, melainkan seorang kekasih Tuhan. Bukankah ketika kita benar-benar mencintai seseorang, semua tindak-tanduk seorang yang kita cintai itu adalah baik bagi kita?.

Hal inilah yang berlaku di dalam tradisi masyarakat yang saya ceritakan itu.

Namun, sekarang hal demikian ini sudah demikian jarang saya temukan. Saya masih menemui akhir-akhir ini ada orang yang datang kepada seorang kiai untuk meminta semacam ‘air doa.’ Namun, saya sudah hampir tidak menemui ada seseorang yang berobat dengan leburan tulisan Al-Qur’an. Demikian pula saya tidak menemui di masa sekarang ada seorang kiai yang memberikan resep seperti itu.

Tradisi yang sudah mulai hilang.

Di masa pandemi korona ini, mungkin juga hal semacam ini akan terbentur dengan hal semacam protokol kesehatan.


Malang, 26 Syawal 1442 H / 7 Juni 2021 M



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar