Jumat, 23 April 2021

MENGUJI FIQIH DENGAN KUTUBUSSITTAH?


(Download Musnad Imam Abu Hanifah)

(Download Muwattha' Imam Malik bin Anas)

(Download Musnad Imam Syafi'i)

(Downlad Musnad Ahmad)


Dalam waktu beberapa bulan ini, saya meluangkan waktu lebih untuk mengkaji fiqih. Kajian saya khususnya adalah kitab Kifayatul Akhyar. Sebuah kiatab Fiqih madzhab syafi'i yang ditulis oleh Syaikh Ad-Dimasyqi. Seorang ulama dari kalangan syafi'iyyah yang hidup pada kira-kira abad ke-9 H.

Selain saya membaca dan memperhatikan kitab tersebut dalam makna pesantren, saya juga meninjau kitab tersebut yang ditahqiq oleh kaum terpelajar Timur Tengah yang kitabnya saya miliki dalam bentuk pdf. Di dalam kitab pdf tersebut dilakukan semacam takhrij terhadap hadits-hadits yang menjadi landasan madzhab syafi'i dalam rumusan fiqihnya.

Dari sinilah saya kemudian terfikir sesuatu hal. Dan muncullah beberapa pertanyaan dalam diri saya. Hal itu karena takhrij hadits yang dilakukan adalah pengujian terhadap rumusan fiqih tersebut dengan menggunakan hadits-hadits yang dikumpulkan oleh ulama yang datang setelah para ulama madzhab menyusun kitabnya. Terdapat dalam takhrij tersebut seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Ibnu Majah, dan selain kutubussittah (enam kitab hadits utama), juga ada sunan Ad-Darimi.

Kita mengerti bahwa para ulama hadits yang masyhur sampai sekarang, mereka datang dalam masa  setelah masa para Imam Madzhab. Dan bahkan mereka juga memilih jalan bermadzhab terhadap seorang imam madzhab tertentu.

Kemudian, jika kita melihat kitab fiqih seperti Al-Umm karya Imam Syafi'i, kita melihat di sana terdapat ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjadi landasan Imam Syafi'i dalam merumuskan fiqihnya. Secara peninjauan sekilas, saya melihat kitab Al-Umm tampaknya disusun dengan sistematika di mana Imam Syafi'i memeriakan dahulu ayat-ayat dan hadits-hadits yang menjadi landasan beliau dalam suatu pembahasan. Kemudian secara reflektif ia mengajak kita berfikir terhadap dalil-dalil tersebut. Lalu, dirumuskanlah pendapatnya, bagaimana dirinya menalar dan memperlakukan dalil-dalil yang ia ajukan menjadi suatu rumusan fiqih.

Demikianlah para ulama yang lain. Saya juga melihat, para ulama fiqih itu memiliki kitab apa yang disebut sebagai kitab "Musnad". Secara mudahnya kitab musnad ini kita dapat sebut sebagai kitab yang berisikan landasan teori para imam tersebut. Jadi ibarat skripsi, tesisi, atau desertasi, kitab musnad ini adalah bab 2 dari karya ilmiah tersebut. 

Kita mengetahui bahwa Imam Malik memiliki kitab Al-Muwathha'. Imam Ahmad bin Hambal memiliki apa yang disebut sebagai Musnad Ahmad. Demikian pula Madzhab Hanafi memiliki apa yang disebut sebagai Musnad Abi Hanifah, Kitabul Atsar, dan Musnad Al-Imam Al-A'dzam. Meskipun kitab-kitab ini saya merasa perlu menelitinya lebih lanjut. Karena sepertinya, kitab-kitab tersebut disusun oleh generasi pertama dari murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi'i juga memiliki kitab musnad Imam Syafi'i.

Dari sini saya berkesimpulan bahwa menguji validitas fiqih dengan kutubussittah adalah sesuatu hal yang "tidak adil." Karena para imam madzhab tersebut telah memiliki landasan dalilnya tersendiri. Penilaian terhadap hadits di antara mereka pun berbeda-beda. Beberapa hadits mungkin dinilai shahih (valid) oleh seorang imam yang lain.

Dalam beberapa kasus, bisa saja suatu hadits dinilai lemah oleh beberapa imam. Akan tetapi hadits tersebut tetap diambil sebagai dalil oleh seorang imam dan tidak diambil oleh imam yang lain.

Sebagai contoh kasus:

Menurut Imam Abu Hanifah seorang perempuan hadih minimal selama 3 hari. Hal ini berdasarkan hadits nabi tentang ummu salamah. Menurut Imam Syafi'i, minimal haidh adalah sekali keluar darah. Argumentasi Madzhab Syafi'i adalah: bahwa hadits tentang Ummu Salamah mengenai haidh 3 (tiga) hari itu terputus sanadnya di tengah (inqatha'a sanaduhu fi atsnaa-ih). Dengan demikian maka ia tidak layak dijadikan landasan. Dan oleh karena tidak ada landasannya, maka harus dilakukan survey (istiqra'). Maka disebarlah angket. Hal ini berkaitan dengan Bayan Burhani sebagaimana dalam kitab Ar-Risalah. Bahwa jika di dalam Al-Quran (bayan ilahi) tak ditemukan penjelasan, demikian pula di dalam hadits (bayan nabawi) tidaj ditemukan, maka harus kembali kepada penelian ilmiah (bayan 'aqli). Setelah Angket disebarkan, kemudian dicarilah nilai kecenderungannya (sentral tendensi) dalam bentuk rerata (mean), nilai tengah (median), dan modusnya. Hasilnya: Imam Syafi'i merumuskan: minimal haid sekian, maksimal sekian, dan biasanya (rerata) sekian hari. Demikianlah.

Akan tetapi, bagi Imam Abu Hanifah berbeda. Hal ini karena perbedaan metodologis. Argumentasinya, karena hadita tentang ummu salamah adalah satu-satunya yang dapat diandalkan, meskipun lemah harus digunakan. Demikian ini secara metodologis disebut sebagai "penggunaan dalil terlemah" (adzna dalil).

Demikianlah. Lalu, adilkah menguji Fiqih Madzhab dengan Kutubussittah?. Kiranya hal itu tidak layak dilakukan karena beberapa hal:

(Pertama) Karena kutubussittah tersebut ditulis oleh ulama yang datang belakangan setelah masa kehidupan 4 (empat) Imam Madzhab, bahkan lebih belakangan pula dari pada kehidupan keseluruhan para imam madzhab yang 13. Sehingga, merupakan hal yang tidak layak jika dikatakan bahwa karya Ilmiah yang datang setelahnya, menguji karya yang ada sebelumnya. Hal ini tentu saja jika memang dengan tujuan mengkritik.

(Kedua) Para Imam Madzhab memiliki hadits-hadits mereka sendiri yang mereka kumpulkan dan nilai sendiri kesahihan (validitas)-nya dengan menggunakan standar mereka sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa rumusan fiqih mereka didasarkan kepada ayat (yang sudah tentu mutawatir) dan atau hadits yang mereka sendiri sudah berikan penilaian sebagai shahih. 

Hal yang kedua di atas tentu akan berbeda hasilnya jika rumusan fiqih para imam tersebut dinilai dengan hadits yang dinilai dengan standar orang lain seperti Al-Bukhari, Muslim dan sebagainya. Bahkan pula jika dinilai dengan hadits berdasarkan standar para imam yang lainnya.


Malang, 10 Ramadhan 1442 H / 22 April 2021



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.

(Pengajar Fiqih di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar