Senin, 15 Maret 2021

MENGAPA TIDUR [DIANGGAP] MEMBATALKAN WUDLU’?

(Kajian dalam Fiqih Syafi’i)


Pendahuluan

Di dalam madzhab syafi’i, salah satu hal yang membatalkan wudlu’ adalah tidur. Tidur yang dimaksud adalah selain tidur dalam posisi duduk, seperti tidur telentang, tidur dengan posisi bersandar dan lain-lain. Tidur dalam posisi duduk akan tetapi tubuhnya bergerak sehingga posisi tulang duduk (pantat) terangkat, adalah membatalkan wudlu’ di dalam madzhab syafi’i. Demikian ini didasarkan kepada hadits yang menyatakan:

الْعَيْنَانِ وِكَاءُ السَّهِّ، فَإِذَا نَامَتْ الْعَيْنَانِ اْنْطَلَقَ الْوِكَاءُ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ. 

Artinya:

Kedua mata adalah tali bagi dubur. Ketika kedua mata itu terpejam (tertidur) maka tali ini akan terbuka. Maka barang siapa yang tidur, maka hendaklah berwudlu’.


Kajian Hadits Dirayah

Lafadz hadits di atas adalah lafadz berdasarkan pengutipan penulis dari kitab fiqih syafi’i di dalam Kifayah Al-Akhyar. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam pembahasan tentang thaharah, terkhusus di dalam bab wudlu’ karena tertidur (hadits no. 202). Adapun lafadz di dalam As-Sunan yang disusun Abu Dawud adalah sebagai berikut:

وِكَاءُ السَّهِّ الْعَيْنَانِ، فمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Artinya:

Tali dubur itu adalah mata. Maka barang siapa yang tidur, maka hendaklah ia wudlu’

Hadits di atas diriwayatkan Abu Dawud dari Haywah bin Syuraih Al-Himshy, dan yang lain dari pada guru Abu Dawud, dari Baqiyyah, dari Wadliyn bin Atha’, dari Mahfudh bin ‘Al-Qamah, dari Abdurrahman bin ‘Aaidh, dari ‘Ali bin Abi Thalib (r.a). Ali bin Abi Thalib berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda sebagaimana di atas.

Demikian pula hadits ini diriwayatkan Ibnu Majah di dalam pembahasan tentang thaharah terkhusus di dalam bab wudlu’ disebebkan tidur (hadits no. 477). Adapun lafadz dari Ibnu Majah adalah sebagai berikut:


العَيْنُ وِكَاءُ السَّهِ. فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ

Artinya:

Mata adalah tali dari dubur. Maka barang siapa yang tidur, hendaklah dia berwudlu’

Hadits dari Ibnu Majah ini diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Mushaffa Al-Himshy. Diceritakan oleh Baqiyyah, dari Al-Wadliyn bin Atha’, dari Mahfudh bin ‘Alqamah, dari Abdurrahman bin ‘Aaidz Al-Azdy, dari ‘Ali bin Abi Thalib. Berdasarkan hal ini maka kita mengetahui bahwa sanad hadits ini adalah sama, baik hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, maupun Ibnu Majah. Meskipun lafadznya terdapat perbedaan.

Diriwayatkan pula oleh Imam Ad-Darimi di dalam pembahasa tentang wudlu’ terkhusus dalam bab ke-48 tentang wudlu’ disebabkan tidur (hadits no. 1). Demikian pula dijelaskan di dalam kitab “Al-Musnad” karya Imam Ahmad.


Kajian Fiqih Syafi’iyyah

Berdasarkan hadits di atas, dikatakan para ulama syafi’iyyah bahwa tertidur menyebabkan wajibnya melaksanakan wudlu’ jika ia hendak melaksanakan kegiatan yang wajib wudlu’ (seperti shalat, memegang mushaf, dan sebagainya). Seseorang yang tidur dalam kondisi berwudlu’ menjadi batal wudlu’nya disebabkan tertidur. Di dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa pada dasarnya tidur itu sendiri tidak membatalkan wudlu’. Sehingga dapat dipahami bahwa pada dasarnya, orang yang tertidur tidak diwajibkan untuk melaksanakan wudlu’ ketika ia hendak melaksanakan kegiatan seperti shalat dan sebagainya. Akan tetapi kewajiban wudlu’ tersebut menjadi ada karena terdapat ‘illat (alasan hukum) sebagaimana akan dibahas berikut ini: 

  • Analisa Kebahasaan. Di dalam hadits sebagaimana di awal wacana ini, terdapat suatu klausa (jumlah) syarthiyyah dalam bentuk pernyataan: ‘jika….maka’. Pernyataan tersebut adalah: فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ (barang siapa yang tidur, maka hendaklah ia berwudlu’). Klausa فَلْيَتَوَضَّأْ (maka hendaklah dia berwudlu’) sebagaimana telah pernah dibahas sebelumnya dalam artikel “Mandi Jum’at: antara Sunnah dan Wajib” merupakan kata kerja present yang kemudian mendapatkan imbuhan lam (ل) yang berfungsi mengubah makna dari kata kerja present (sedang) menjadi perintah/anjuran (hendaklah). Dalam hal demikian maka hadits ini menjadi mengandung kajian hukum secara kacamata ushul fiqh. 

Pertanyaannya kemudian adalah: “apa hukum berwudlu’ setelah tidur”  dalam rangka mengikuti perintah nabi tersebut sebagaimana dijelaskan: “jika kamu tidur, maka hendaklah berwudlu’.” Adakah dengan demikian berwudlu’ bagi orang yang tidur adalah suatau kewajiban? (wajib), atau anjuran? (sunnah), atau hanya sebatas kebolehan? (mubah). Di dalam menjawab hal ini maka dua point terakhir berikut ini haruslah diperhatikan. 

  • Tidur mengkhawatirkan keluarnya angin dari dubur [yang biasa disebut sebagai ‘kentut’] yang menyebabkan batalnya wudlu’. Seseorang ketika tertidur, sebagaimana tersirat di dalam hadits di atas, dia tidak akan sadar apakah selama dia tertidur telah keluar angin atau tidak. Kondisi demikian meniscayakan seseorang berada di dalam kebimbangan. Dalam kondisi ini maka wudlu’ pada dasarnya suatu bentuk kehati-hatian.
  • Keluarnya angin adalah tidak berwujud (tidak dapat dilihat) sebagaimana keluarnya benda lain dari kemaluan (seperti kencing, berak, mani, darah, dan sebagainya). Berdasarkan hal ini maka para ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa wajib hukumnya wudlu’ setelah bangun tidur. Demikian karena seseorang tidak dapat menyadari bahwa selama ia dalam kondisi tertidur telah keluar angin atau tidak seperti dijelaskan dalam point pertama, dan angin tersebut tidak dapat dilihat, tidak seperti jika benda lain yang keluar.


Malang, 2 Sya’ban 1442 H / 15 Maret 2021



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd


-------------------------------------


REFERENSI


  • Ad-Dimasyqy, Taqyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishny. tt. Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghayat Al-Ikhtishar. Surabaya: Maktabah Al-Hidayah
  • Al-Qazwiny, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid. tt. Sunan Ibnu Majah (vol. 02). Mathba’ah Daar Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyyah Faishal ‘Isa Al-Baby Al-Halaby 
  • As-Sahranfury, Khalil Ahmad. 2006. Al-Badzl Al-Majhud fi Halli Sunan Abi Dawud (vol. 02). Azamgarh: Markaz As-Syaikh Hasan An-Nadwi fi Al-Buhuts wa Dirasat Al-Islamiyyah
  • As-Sajistani, Al-Imam Abi Dawud Sulaiman bin Al-Asy’ats. 2015. As-Sunan (vol. 02). Cairo: Daar At-Ta’shid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar