مَنْ أَتَى مِنْكُمْ الْجُمُعَةَ فَلْيَغْتَسِلْ
Artinya:
Barang siapa di antara kalian datang untuk shalat jum’at maka hendaklah mandi
Hadits di atas terdapat di dalam Bukhari dalam bab keutamaan mandi hari jum’at (hadits no. 877; 894; dan 919). Hadits Muslim di dalam pembahasan Kitab Al-Jum’ah (hadits nomor 1, 2, dan 4). Hadits Tirmidzi dalam Bab Jum’at hadits no. 492. Hadits An-Nasa’i di dalam Kitab Al-Jum’ah bab mengenai kewajiban mandi jum’at (hadits no. 1). Demikian pula di dalam hadits riwayat Ibnu Majah (hadits no. 1088; 1098). Dan juga di dalam kitab-kitab hadits lain seperti Ad-Darimi, Kitab Muwattha’ Imam Malik, dan Musnad Ahmad.
Dalam hadits di atas terdapat klausa: "فليغتسل" yang artinya: ‘maka hendaklah ia mandi’. Dalam gramatikal bahasa arab, klausa "يغتسل" yang berarti “dia mandi” secara morfologis merupakan kata kerja dalam bentuk present (fi’il mudlari’) yang berarti: ‘dia sedang mandi.’ Ketika klausa tersebut dibubuhi huruf ‘lam (ل) amar' (huruf lam yang berfungsi memberikan makna perintah) maka klausa tersebut menjadi bermakna: ‘maka hendaklah ia mandi’. Sehingga kata kerja tersebut meskipun tidak mengalami perubahan secara infleksional (tashrif ishtilahi) namun secara makna (leksikal) mengalami perubahan dari kata kerja present menjadi kata kerja perintah/anjuran (fi’il amar).
Di sinilah maka hadits ini menjadi pembahasan di dalam ushul fiqih. Keberadaan klausa “فليغتسل” ini membuat hadits ini menjadi pembahasan pokok di dalam ushul fiqih tentang hukum mandi jum’at. Dan bukan sekedar pembahasan yang bersifat sekunder sebagai qarinah (indikator) bagi pernyataan ayat dan hadits yang lain. Pembahasan dimaksud adalah mengenai ‘apakah hukum mandi jum’at tersebut?; adakah ia wajib? (keharusan), ataukah sunnah? (anjuran), ataukah mubah? (kebolehan).
Dalam hal tersebut di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mandi Jum’at adalah sunnah. Pendapat yang lain mengatakan bahwa hukum mandi jum’at adalah wajib. Termasuk yang berpendapat dengan sunnah adalah Imam Syafi’i. Imam Dawud Ad-Dzahiri adalah termasuk imam madzhab yang berpendapat bahwa mandi jum’at adalah wajib.
Imam Dawud Ad-Dzahiri berpendapat bahwa mandi jum’at adalah wajib berdasarkan hadits yang dikutip di atas. Dengan penjelasan bahwa klausa “فليغتسل” di dalam hadits di atas adalah mengikuti ketentuan umum di dalam kaidah ushuliyyah yakni:
الْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ إِلَّا مَا دَلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى خِلَافِهِ
Artinya:
Pada dasarnya, perintah itu menunjukkan wajib (keharusan) untuk dilaksanakan. Kecuali ada sesuatu dalil lain yang menjukkan selainnya.
Dalam hal ini berarti perintah yang dinyatakan dalam hadits adalah menunjukkan kewajiban. Demikian ini didukung oleh hadits lain yang menyatakan:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Artinya:
Mandi jum’at adalah wajib bagi setiap lelaki dewasa.
Hadits di atas terdapat di dalam Shahih Bukhari, (hadits no: 858, 879, 880, 895, dan 2660). Hadits Muslim dalam Kitab Al-Jum’ah bab tentang kewajiban mandi Jum’at (hadits no. 5). An-Nasa’i di dalam Kitab Al-Jum’ah bab kewajiban mandi di hari jum’at (hadits no. 1). Di dalam hadits Ibnu Majah (hadits no. 1089). Di dalam hadits riwayat Imam Malik dalam Muwatha’ bab mengerjakan mandi di hari jum’at (hadits no. 2, dan 4). Demikian pula terdapat dalam musnad Ahmad dan Ad-Darimi.
Para ulama yang berpendapat bahwa mandi jum’at adalah wajib menyatakakan bahwa hadits yang disebutkan lebih belakangan ini sebagai penjelas bagi hukum kewajiban mandi Jum’at. Dengan kata lain bahwa hadits ini merupakan dalil pendukung sekunder terhadap hukum kewajiban mandi Jum’at dan bukanlah qarinah (indikator) terhadap hukum kewajiban itu sendiri. Hal ini karena para ulama yang memilih pendapat kewajiban mandi jum’at mendasarkan pendapatnya kepada kaidah umum yang ditimbulkan dari hadits yang disebutkan sebelumnya.
Adapun pendapat Jumhur Ulama yang mengatakan sunnah juga mendasarkan pendapatnya kepada hadits sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini. Hanya saja atas pengambilan keputusan hukum sunnah ini mereka melandaskan pendapat mereka terhadap banyak hadits yang shahih di antaranya:
مَنْ تَوَضَّأَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَبِهَا وَنِعْمَتْ، وَمَنْ اغْتَسَلَ فَالْغُسْلُ أَفْضَلُ
Artinya:
Barang siapa yang berwudhu pada hari jum’at, maka dengannya (ia mendapat pahala kesunnahan) dan hal itu adalah sebaik-baiknya perbuatan. Sedang siapa yang mandi (pada hari Jum’at), maka mandi adalah lebih utama.
Hadits ini terdapat di dalam riwayat At-Tirmidzi dalam pembahasan mengenai Shalat Jum’at, hadits no. 497. Hadits Riwayat An-Nasa’i dalam pembahasan Shalat Jum’at hadits no. 2. Hadits riwayat Ibnu Majah No. 1091. Hadits Riwayat Ad-Darimi dalam Kitab As-Shalat, hadits no.: 5. Dan hadits ini dinilai shahih oleh Imam Nawawi.
Demikian pula pendapat tersebut didasarkan kepada hadits yang menceritakan seorang sahabat rasul yang menghadiri ritual shalat jum’at pada saat Umar bin Khattab berkhutbah. Umar memarahi seorang sahabat yang ketika itu datang hampir terlambat dan ternyata dia hanya wudhu saja dan tidak mandi. Umar memarahinya kembali dan mengatakan: ‘bukankah nabi memerintahkan mandi?’. Akan tetapi di dalam hadits tidak dinyatakan bahwa seorang sahabat yang dimarahi Umar tersebut kemudian pergi mandi.
Berdasarkan cerita di atas, maka para ulama (termasuk Imam Syafi’i) mengambil keputusan bahwa hukum mandi jum’at adalah sunnah. Dengan alsan, jika saja wajib, maka tentu saja sahabat yang datang tersebut, ia tidak akan hanya sekedar wudhu saja, melainkan mandi. Umar pun tidak memintanya mandi, hanya menyatakan kemarahannya saja, padahal Ia (Sayyidina Umar) merupakan khalifah ketika itu di mana ia memiliki otoritas (ahl halli wa al-‘aqdi) untuk itu. Kenyataan bahwa sang sahabat rasul tersebut tidak mandi menyatakan bahwasnya mandi jum’at bukanlah kewajiban. Adapun dalil hadits yang menyatakan dengan redaksi wajib, hal tersebut hanya menunjukkan bahwa mandi jum’at merupakan sunnah mu’akkad (anjuran yang sifatnya demikian penting).
Namun demikian, kita belum membahas mengenai makna apa yang sebenarnya dikandung dari hadits yang juga dikutip dalam pembahasan kali ini yang menyatakan:
غُسْلُ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
Apakah makna dari kata مُحْتَلِمٍ dalam hadits tersebut. Kata ini secara morfologis berasal dari kata kerja إِحْتَلَمَ yang di dalam pembahasan fiqih selalu dimaknakan sebagai tidur, dan bermimpi 'sesuatu' sehingga keluar mani (sperma). Akan tetapi ia dapat pula diterjemahkan sebagai: 'telah dewasa.' Jika makna demikian ini yang dimaksud dari hadits tersebut, maka maknanya adalah: 'mandi jum'at adalah wajib bagi setiap lelaki yang mimpi basah.' Dan jika kita memilih pemaknaan kedua, maka hadits tersebut dapat diartikan sebagai: 'mandi jum'at adalah wajib bagi setiap lelaki dewasa.' Pemaknaan pertama tentu saja kita sepakati, tapi pemaknaan kedua tentu saja akan menimbulkan pembahasan lanjutan sebagaimana dibahas di dalam tulisan ini.
Wallahu a’lam bi as-shawab.
Malang, 29 Rajab 1442 H / 13 Maret 2020 M
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
(Ketua LBM-NU Kec. Ngajum Kab. Malang)
---------------------------------------------------------------------
REFERENSI
- Al-Imam Taqyuddin Abi Bakar bin Muhammad Al-Husaini Al-Hishni Ad-Dimasyqi. Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghayat Al-Ikhtishar
- Imam Muslim bin Hajjaj An-Naisaburi. Shahih Muslim
- Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi. Al-Minhaj fi Syarhi Muslim bin Hajjaj
- Abdul Hamid Hakim. Mabadi’ Awwaliyyah
- Dan lain-lain

Tidak ada komentar:
Posting Komentar