Assalamualaikum wr wb. Afwan Ustadz, ana mau tanya" tentang artikel antum yang berjudul: Bagaimana Kita Bersikap Kepada Para Habaib?
Saya sebagai pembaca mengapa seolah diarahkan ke doktrin Khawarij ya?
Sebagian saya setuju dan sebagian lain saya tidak setuju.
Saya setuju dengan pembahasan yang mengenai otoritas agama dalam islam namun tidak sepenuhnya. Yang menjadi fokus kritik saya pada pembahasan mengenai "siapakah ahlul bait rosulullah ?". Namun disana tidak dijelaskan hakikat siapapakah ahlul bait rosulullah bahkan tidak ada jawabanya. Artikel sepertinya lebih terpusat memgomentari dan menggiring pembaca langsung ke arah ahlul bait rosulullah bukanlah termasuk otoritas. Namun bukan dijawab siapanya?. Sebab antum sebutkan
قال: (أَمَّا بَعْدُ. أَلَا أَيُّهَا النَّاسُ! فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوْشِكُ أَنْ يَأْتِيَ رَسُوْلُ رَبِّى فَأُجِيْبَ. وَأَنَا تَرِكٌ فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ: أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللهِ فِيْهِ الْهُدَى وَالنُّوْرُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللهِ وَاسْتَمْسِكُوْا بِهِ) فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللهِ وَرَغَّبَ فِيْهِ. ثُمَّ قَالَ: (وَأَهْلُ بَيْتِى. أُذَكِّرُكُمُ اللهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى. أُذَكِّرُكُمْ فِى أَهْلِ بَيْتِى. أُذَكِّرُكُمْ فِى أَهْلِ بَيْتِى) فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ: وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ؟ يَا زَيْدُ! أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ؟ قَالَ: نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ. وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ: وَمَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ آلُ عَلِيٍّ، وَآلُ عَقِيْلٍ، وآلُ جَعْفَرٍ، وَآلُ عَبَّاسٍ. قَالَ: كُلُّ هَؤُلَاء حُرِمَ الصَّدَقَةُ؟ قَالَ: نَعَمْ.
Redaksi asli dari yang ini pun juga tidak dicantumkan.
Di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj dijelaskan:
أما الشريفة فلا يكافئها إلا شريف، والشرف مختص بأولاد الحسن والحسين - رضي الله تعالى عنهما - وعن أبويهما، نبه على ذلك ابن ظهيرة
[الخطيب الشربيني، مغني المحتاج إلى معرفة معاني ألفاظ المنهاج، ٢٧٤/٤]
Ini adalah perkataan imam khothib syarbini yang menjelaskan sikap pengambilan mukafi' untuk perempuan yang walinya mujbir. Dan mukafi' disana untuk seorang syarifah adalah syarif. Dan disana disebutkan syarif adalah keturunan Hasan dan Husein.
Bahkan janganlah jauh untuk memgambil syahid di kitab Mughnil Muhtaj. Didalam hadits sendiri disebutkan ahlul bait itu adalah salah satunya آل علي.
Ini salah satu kritik terhadap artikel anda yang membahas esensi siapakah ahlul bait Rasulullah. Substansi dari judul tidak tersampaikan secara sempurna. Sebab di catatan penyimpul, anda belum menjelaskan sikap riil dalam ber mu'amalah (bersikap dan bersosialisasi) kepada para habaib. Sikap riil contoh yang bisa didapati adalah sikap mencari pasangan yang sekufu untuk anak. Apalagi kafa'ah untuk anak nya yang perempuan berstatus "syarifah". Karena Wali Mujbir (Wali Paksa) untuk seorang wanita yang perawan adalah haknya wanita tersebut untuk dicarikan pasangan yang sekufu'. Sebagai, penuntut ilmu seyogyanya menjaga keotentikan nash - nash ke arah perspektif pribadi. Baik saya dan juga anda.
Saya mohon dari diri yang rendah hina ini untuk ditinjau ulang.
Bagaimana pendapat antum ?
Umar, Tarim-Yaman
Jawab
Waalaikum salam mas Umar di Tarim.
Pertama, kiranya saya harus sangat berterimakasih atas segala atensi mas umar terhadap artikel kami. Kiranya kita akan senantiasa mendapatkan kebaikan selalu.
Sejauh saya menyimpulkan, point kritik anda terhadap tulisan saya bisa dirangkum di dalam beberapa point sebagaimana akan saya jelaskan berikut ini:
1) Merasa digiring ke dalam pemikiran khawarij?
Sejauh saya menulis, saya tidak bermaksud untuk menggiring anda dan pembaca yang lain ke arah pemikiran khawarij. Mungkin anda bisa menunjukkan kepada kami pada point yang manakah hal itu terdapat?. Kiranya masalah orientasi artikel akan saya jelaskan pada point-point berikutnya.
2) tidak dijelaskan siapa sebenarnya ahlulbait?
Mengenai hal ini, kiranya harus saya akui bahwa penjelasan mengenai siapakah ahlul bait ini adalah minim. Ini adalah sesuatu yang terlewatkan dari tulisan saya.
Melalui jawaban saya ini mungkin sedikit akan saya jelaskan. Meskipun penjelasan yang lengkap kiranya akan membutuhkan point terendiri.
Sebenarnya penjelasan mengenai makna ahlulbait terkhusus di dalam hadits Muslim No. 4208 telah dijelaskan oleh An-Nawawi dalam Al-Minhaj. Ada beberapa pemaknaan, yaitu: (a) Bani Hasyim dan Bani Muthalib; (b) Bani Hasyim saja; dan (c) Orang yang tinggal bersama nabi dalam rumahnya selama hidupnya.
Kekurangan tulisan kami adalah karena hanya mengutip yang terakhir dan tidak semuanya. Yakni pada paragraf tulisan saya yang menyatakan:
Adapun mengenai term ahlibait Rasulullah, dapat dijelaskan di sini dua hal berkaitan dengannya. Pertama: bahwa wasiat mengenai ahlibait ini tidak berkaitan ketaatan melainkan berkaitan dengan penjagaan akan penghormatan kepada mereka. Kedua: bahwa yang dimaksud dengan ahlibait di dalam hadits tersebut adalah orang-orang yang tinggal bersama nabi dan menemani hidupnya. Demikian sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi. (Al-Minhaj:1471)"
3) sebagian setuju tentang otoritas agama sebaian tidak?
Jika anda membaca prawacana tulisan saya itu, kiranya akan dapat diketahui bahwa inilah sebenarnya orientasi tulisan kami. Yakni untuk menjelaskan posisi habaib dan ulama di dalam Islam.
Secara umum dapat diutarakan bahwa tulisan saya memberikan pesan:
Ulama adalah otoritas agama dalam Islam. Akan tetapi habaib bukan otoritas. Sehingga ketaatan kepada ulama adalah wajib. (QS. Annisa,(4):59). Sedang kepada habaib adalah tidak wajib. Namun... penghormatan kepada habaib harus tetap dijaga. (HR. Muslim: 4208)
4) artikel tidak menjelaskan bagaimana kita harus bersikap dalam muamalah
Memang ini tidak membahas masalah muamalah dengan habaib dalam keseharian dan terperinci dalam banyak hal. Artikel kami hanya ingin menjelaskan bahwa ulama harus ditaati dan habaib harus dihormati.
5) Tulisan lebih menggiring pembaca bahwa ahlulbait bukanlah otoritas
Jika kita memahami artikel saya dalam menjelaskan QS. Annisa,(4):59 dan HR. Muslim 4208 memang demikianlah adanya. Dan inilah orientasi tulisan ini. Karena berdasarkan fakta yang saya paparkan dalam prawacana saya banyak perdebatan tentang "apakah kita harus taat pada habaib apakah tidak?". Di satu sisi, beberapa orang menganggap bahwa habaib pun perilakunya tidak baik.
Semangat artikel saya adalah: "taatilah ulama, hormatilah habaib!"
6) sebagai penuntut ilmu sebaiknya menjaga otentisitas nash dari perspektif pribadi.
Iya. Tentu hal ini harus saya sadari. Saya sebagai pebelajar ilmu haruslah bebas nilai dari kepentingan-kepentingan tertentu saat menganalisa nash hadits. Namun, jika kita juga berpegang pada kaidah ilmu, setiap pernyataan harus disertai alasan baik naqliyah maupun logika bukan?
Dan sebagaimana tulisan saya yang didukung oleh dalil dan alasan logis. Setiap kritikpun harus disertai dengan keduanya. Kiranya demikian pesan Syaikh Nawawi dalam Muqaddimah Kasyifah bukan?
Wallahu a'lam...
Salam.
Malang, 12 Jumadil Ula 1442 H
27 Desember 2020
R. Ahmad Nur Kholis

Tidak ada komentar:
Posting Komentar