Membincang Ihya’ Ulumuddin
Pada masa sekarang ini, setelah kiranya lebih dari seribu tahun kewafatan Al-Imam Al-Ghazali (At-Thusy), masih saja ada yang memperdebatkan tentang hadits-hadits yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Tema yang dipermasalahkan adalah sama, yaitu bahwa hadits-hadits yang ada di dalam kitab Ihya’ adalah dlaif (lemah) di dalam kualitasnya. Kelanjutan dari hal ini, dikatakan bahwa hadits tersebut tidak boleh dan tidak bisa diamalkan. Konsekuensi logisnya lagi adalah bahwa beramal dengan landasar hadits tersebut sebagaimana yang ada di dalam kitab Ihya’ adalah batal.
Sebenarnya, jika saja perbedaan-perbedaan pendapat ini berlangsung di dalam ranah akademis, mungkin hal ini bisa dimaklumi. Permasalahannya adalah karena kritik terhadap kitab ini kemudian dibawa ke dalam ranah emosional dan sampai-sampai mengatakan bahwa orang yang mengkaji dan mengamalkan isi kitab ini adalah para pelaku bid’ah. Hal ini mungkin tidak baik bagi perkembangan keber-agama-an di dalam masyarakat Indonesia ini, di mana kitab ini telah banyak dikaji oleh masyarakat muslim nusantara sejak lama. Demikian pula masyarakat secara terinternalisasi telah mengaplikasikannya di dalam kehidupan keseharian mereka. Hal ini tentu saja dikarenakan pada umumnya ulama Nusantara memiliki pendapat yang berbeda dengan beberapa pihak yang memberikan kritik terhadap kitab ini.
Kabarnya, mendiang As-Syaikh Said Ramadlan Al-Buthy, seorang ulama sepuh dari Syiria yang wafat dalam suatu peledakan bom oleh kelompok garis keras juga pernah mendapatkan pertanyaan semacam ini dalam suatu majelisnya. Jawaban dari Said Ramadlan Al-Buthi kiranya dapat disimpulkan ke dalam 2 (dua) hal, yaitu: (Pertama) bahwa hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab tersebut adalah masalah keutamaan amal (fadlail al-a’mal) dan bukan di dalam masalah hukum. Dijelaskan bahwa para ulama ahli hadits (muhadditsin) bersepakan bahwa hadits dla'if masih bisa digunakan sebagai dalil dalam masalah fadlail al-a’mal. Hal ini sejauh ke-dla'if-an tersebut tidak terlalu jauh sampai kepada derajat hadits palsu (mawdlu’). (Kedua) bahwa, bagaimanapun, Imam Al-Ghazali tidak melakukan kebohongan apapun. Di dalam arti bahwa Imam Al-Ghazali tidak mengatakan dan memberikan keterangan sedikitpun tentang hadits-hadits tersebut shahih atau tidak. Jelasnya, Al-Imam Al-Ghazali tidak mengatakan yang dla'if sebagai shahih, dan demikian pula sebaliknya. Ia bahkan tidak memberikan catatan atau keterangan sedikitpun tentang hadits-hadits yang ia gunakan. Adalah Al-Iraqi yang kemudian melakukan pemeriksaan (tahqiq) kitab tersebut dan menyatakan kualitas haditsnya.
Berikut ini penulis mencoba memberikan penjelasan atas permasalahan hadits-hadits di dalam Ihya’ tersebut yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai hadits dla'if :
Sebelumya harus dikatakan bahwa: agama Islam memiliki dua sumber utama yang disepakati para ulama. Kedua sumber tersebut adalah Al-Qur’an yang merupakan dan diyakini ummat Islam secara keseluruhannya, baik lafadz maupun maknanya adalah dari Allah. Sumber kedua adalah Hadits, yang merupakan sabda Nabi Muhammad yang salah satu fungsinya adalah sebagai penjelas dari Al-Qur’an.
Antara Sejarah dan Metode
Kita mengetahui bahwa posisi Hadits adalah sumber kedua di dalam agama Islam. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yang di antara beberapa itu kiranya relevan untuk dibahas berkaitan dengan hadits-hadits yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
(Pertama) dapat dijelaskan bahwa dari sudut pandang sejarah, periwayatan hadits ini di dalam kualitasnya lebih lemah daripada periwayatan Al-Qur’an. Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa posisi hadits menjadi nomor dua di bawah Al-Qur’an dalam kedudukannya sebagai dalil dan juga sebagai sumber hukum. Periwayatan hadits pun tidak sama dengan Al-Qur’an karena kesemua ayat Al-Qur’an diriwayatkan oleh lebih dari satu orang atau di dalam istilah ilmu hadits sebagai mutawatir.
Adapun hadits, di sana tedapat riwayat-riwayat yang sifatnya personal. Yakni periwayatnya hanya perseorangan, atau di kalangan pakar hadits disebut sebagai hadits ahad. Dalam hal ini bahkan Imam Malik di dalam penggalian hukum lebih mendahulukan tradisi para penduduk Madinah (amal ahli Madinah) daripada hadits ahad.
Hal lain yang mungkin dapat ditinjau adalah bahwa hadits di dalam sejarahnya dikodifikasikan dalam waktu yang cukup lama setelah kewafatan rasulullah. Hal ini berbeda dengan Al-Qur’an yang dihimpun pada masa Abu Bakar dan diresmikan kodifikasinya pada masa Utsman bin Affan. Penjelasan yang baik mengenai bagaimana kodifikasi Al-Qur’an dilakukan pada masa Sayyidina Utsman bin Affan kiranya telah dilakukan oleh Quraisy Syihab di dalam bukunya "Membumikan Al-Qur’an".
Hal demikian ini menampakkan kepada kita bahwa kodifikasi hadits dilakukan di dalam suatu masyarakat Islam yang sudah sedemikian berdinamika. Berbagai peristiwa besar telah terjadi di dalam Islam. Dalam hal ini mungkin bisa sedikit diejalaskan persoalan politik yang begitu besar pengaruhnya terhadap masyarakat Islam ketika itu. Beberapa hadits seperti hadits yang menjelaskan perpecahan Islam ke dalam 73 (tujuh puluh tiga) golongan kabarnya juga muncul di dalam situasi politik ummat Islam yang cukup kelam. Berdasarkan fakta ini, maka setiap kajian terhadap hadits bisa mengundang kecurigaan tertentu akan adanya sebuah hadits yang dikelilingi oleh konteks-konteks yang mengitarinya.
(Kedua) adalah berkaitan dengan masalah metode periwayatan hadits. Hal ini biasa disebut dengan ilmu hadits dirayah. Dalam hal ini dapat kita jelaskan bahwa hadits sedemikian bergantung kepada tradisi oral (riwayah). Di sisi lain ia juga menggunakan sistem seleksi dan analisa yang sedemikian subyektif di dalam apa yang dinamakan sebagai tajrih wa ta’dil (uji kelayakan periwayat hadits). Di dalam hal yang pertama itu, kita dapat mempermasalahkan sejauh mana daya ingat dan daya hafal seseorang dapat dipertanggung-jawabkan. Pada bagian kedua kita juga dapat mempertanyakan, bagaiman kelayakan seseorang dapat diukur (kuantitatif) dan dinilai (kualitatif). Adalah mungkin seseorang dapat dinilai sebagai ‘baik’ bagi seseorang dan sekaligus ia ‘buruk’ (dalam arti tidak adil dan layak) bagi orang yang lain. Hal ini adalah sesuatu yang problematis.
Kita kemudian menjadi sadar bahwa metode tashhih wa tadl’if ini sedemikian subyektifnya. Karenanya, kita dapat menjumpai hadits yang dinilai shahih bagi seorang ahli hadits tapi tidak oleh lainnya. Kita masyarakat muslim sekarang mengakui bahwa di antara kitab hadits yang disusun para ulama hadits, Bukhari dan Muslim-lah yang dianggap paling valid. Kitab Shahih Bukhari merupakan kitab hadits yang paling shahih di antara kitab hadits Imam yang enam (kutub as-sittah).
Namun demikian, kita juga mengetahui bahwa Imam Malik dalam selang waktu kira-kira seratus tahun sebelumnya telah menyusun kitab hadits yang dinamakan sebagai muwattha’. Kita mendengar bahwa Imam Al-Bukhari mengambil setidaknya seribu hadits dari dalamnya sebagai hadits yang dinyatakan shahih olehnya. Namun, mengapakah kita tidak memasukkan kitab ini ke dalam kutub as-sittah?.
Dalam hal ini, mungkin kita akan menjawab, bahwa muwattha’ tidak lebih valid dari kitab shahih bukhari berdasarkan standar Imam Al-Bukhari. Terhadap pernyataan seperti ini kita akan mempertanyakan pula: ‘apakah dibenarkan bagi kita menggunakan standar yang datang lebih belakangan untuk menilai sesuatu yang sudah pertama kali ada?’. Lalu bagaimana dengan pertimbangan yang lain seperti: ‘bahwa muwattha’ ditulis kira-kira seratus tahun sebelum shahih bukhari sehingga kemungkinan reduksi data menjadi lebih sedikit?’.
Di dalam kaitannya dengan metode penelitian hadits ini kita menemukan banyak fenomena. Para ulama merumuskan beberapa metode penelitian untuk menentukan shahih & dlaif-nya sebuah hadits. Metode ini disebut sebagai metode tashhih-wa tadl’if. Yakni suatu metode untuk menentukan valid atau tidaknya sebuah hadits. Di dalam metode ini, salah satu di antaranya yang dikenal adalah apa yang disebut sebagai metode tasawwuf.
Dalam apa yang disebut terakhir ini (metode tasawwuf), ia merupakan metode yang di dalam penggunaannya, para ahli hadits sendiri tidak memprioritaskannya. Bahkan dapat dikatakan cenderung membenci metode ini. Dampaknya adalah bahwa metode ini tidak begitu populer di kalangan mereka.
Membaca Hadits dalam Ihya’ Ulumuddin
Berdasarkan kedua faktor sebagaimana telah diuraikan di atas, maka kita setidaknya bisa memberikan suatu penilaian kepada hadits di dalam Ihya’ Ulumuddin itu secara lebih bijaksana:
(Pertama) bahwa hadits merupakan suatu sumber agama dan hukum Islam yang memang lebih problematik sedari awal jika kita bandingkan dengan Al-Qur’an. Dalam hal ini maka kemungkinan kita untuk memberikan ruang perbedaan di antara para ulama adalah lebih besar. Seorang ulama bisa saja mengatakan hadits ini shahih meskipun orang lain mengatakan dla'if.
Dalam kaitannya dengan Imam Al-Ghazali dan Ihya’ Ulumuddin, kiranya kita dapat memberikan ruang bagi hadits-hadits dalam kitab ini bahwa itu termasuk ke dalam perbedaan pendapat akan kualitas hadits. Singkatnya, kita bisa mengatakan bahwa: ‘adalah mungkin bahwa ia adalah hadits yang dianggap shahih berdasarkan standar Imam Al-Ghazali’. Dan merupakan suatu hal yang kurang terhormat jika kita menggunakan standar ulama lain ke dalam apa yang menjadi pendapat ulama yang lain. Seorang ulama tidak harus mengikuti ulama lainnya.
(Kedua) adalah berkaitan dengan persoalan metode tashhih wa tadl’if. Hal ini memang merupakan suatu dilema bagi hadits-hadits yang ada di dalam Ihya’ Ulumuddin. Kita mengetahui bahwa kitab ini disusun dalam suatu kondisi di mana Imam Al-Ghazali telah menjalani kehidupan yang sufistik. Dengan demikian kita menjadi sah jika mengatakan bahwa metode yang digunakannya adalah dipengaruhi jalan sufi yang ia tempuh pula.
Akan tetapi, problem yang lain adalah bahwa metode tasawwuf ini tidak populer di dalam kajian akademik hadits. Bahkan sebagaimana dikatakan sebelumnya, metode tasawwuf ini cenderung dibenci di dalam studi hadits. Hal ini belum lagi terbentur dengan kenyataan bahwa: ‘rata-rata para orang yang melakukan kritik terhadap Ihya’ Ulumuddin adalah mereka yang menolak keabsahan tasawuf sebagai cara beragama.’
Kepanjen, Malang, 26 Nopember 2020
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Tidak ada komentar:
Posting Komentar