Sabtu, 24 November 2018

Syariat Qurban Dalam Perspektif Kehidupan Bernegara

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis

Ketika Nabi Muhammad membangun negara Madinah, peran sebagai penyampai agama dan kepala negara menjadi integral dalam pribadi Nabi. Hampir bisa dipastikan pada saat itu bahwa ketika Nabi berbicara tentang keputusan agama, maka keputusan itu juga dalam konteks sebagai kepala negara, demikian pula sebaliknya. Sederhananya, berbicara agama berarti juga berbicara politik, berbicara politik berarti juga berbicara agama.


Sebagai contoh, bahwa pada zaman nabi, orang yang keluar dari Islam atau disebut juga dengan murtad maka ia akan dihukum mati, jika dikhawatirkan membocorkan persoalan-persoalan dalam negeri Madinah kepada orang kafir. Hal ini dikarenakan ketika itu keluar dari Islam atau murtad adalah sama halnya dengan berkhianat kepada negara. Sehingga bisa dikatakan juga bahwa hukuman mati bagi orang murtad adalah merupakan keputusan politik.
Lambat laun sepeninggal Nabi Muhammad Islam menyebar ke berbagai pelosok dunia, bahkan sampai ke Asia Tengah. Maka pembicaraan mengenai Islam saat itu tidak hanya bersangkut paut dengan timur tengah belaka dan apalagi hanya jazirah Arab. Islam sudah dianut juga oleh orang non-arab seperti orang Turki, Spanyol, India, dan bahkan China. Konsep kepemimpinanpun menjadi berubah dimanna sebelumnya Islam terpusat pada Nabi dan para penggantinya, lalu kemudian muncullah beberapa kerajaan yang mengaku sebagai penegak hukum-hukum Allah di muka bumi (khalifah). Dalam hal ini maka Ahmad Amin berpendapat bahwa adalah suatu kewajaran jika di masa kemudian lalu muncul kerajaan-kerajaan Islam yang memiliki pemimpinnya sendiri. Hal itu karena Islam sudah meluas dan dianut oleh hampir separuh masyarakat di berbagai belahan dunia.
Kondisi semacam itu, dan terutama ditambah lagi dengan lahirnya konsep negara-bangsa di awal abad ke-19 mendorong terpisahnya Islam dari negara. Berbicara negara tidak lagi berarti membicarakan agama, demikian pula sebaliknya. Hukuman mati bagi orang murtad tidak lagi dibunuh karena sudah tidak merepresentasikan penghianatan kepada negara.
***
Syariat Qurban, merupakan ajaran Islam yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Dzulhijjah, tepatnya pada musim haji atau Iedul Adha. Hukum ibadah ini adalah Sunnah, artinya dianjurkan untuk dilakukan, bukan sebuah kewajiban yang harus dilakukan. Berbeda dengan Zakat yang khusus bagi orang yang mampu, syariat ini merupakan anjuran yang tidak hanya ditentukan bagi keluarga atau orang yang mampu saja, melainkan semua orang yang mau. Penerimanya pun tidak hanya orang yang yang fakir-miskin saja, meskipun hal itu menjadi prioritas. 
Ibadah ini berbentuk penyembelihan hewan berupa Kambing, Domba, Sapi atau Kerbau yang mana dagingnya (dalam bentuk masih mentah) dibagi-bagikan kepada masyarakat sekitar tempat dilaksanakan pengorbanan atau tetangga-tetangga sekitar orang yang melaksanaan Kurban. Ibadah ini dalam Islam adalah meneruskan apa-apa yang  diperintahkan Allah kepada Nabi Ibrahim. Dalam Islam, syariat yang berupa meneruskan ajaran nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad disebut dengan Syar’u Man Qablana (Syariat Nabi seblum Nabi kita). Selain brkurban, ritual sunatan bagi anak laki-laki dapat pula dicontohkan kedalam Syar’u man Qablana ini.
Masyarakat kita di Indonesia pada umumnya, memahami bahwa dalam kegiatan berkurban, orang-orang yang berhak menerima daging kurban adalah mereka orang-orang atau tetangga-tetangga muslim. Hal ini disebabkan karena mereka melihat syariat berkurban semata dari aspek doktrinal. Yakni hanya memandang bahwa ia merupakan bagian dari ajaran Islam semata.
Namun, jika kita boleh meninjau dari aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat dikatakan bahwa syariat Qurban tersebut merupakan kebijakan Nabi Muhammad sebagai kepala negara. Dalam konteks ini maka kegiatan tersebut merupakan intruksi kepala negara (semacam impresa tau undang-undang) kepada masyarakat yang mampu untuk menyembelih kambing atau semacamnya dan diberikan kepada masyarakat sekitar. daging-daging kurban tersebut dimaksudkan untuk diberikan kepada segenap masyarakat atau warga negara. Hal ini semacam merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya.
Dalam konteks Indonesia, alangkah baiknya jika kita memandang syariat berkurban dari sudut pandang kehidupan bernegara. Dalam arti pemahaman sempit akan syariat berkurban sekarang diperluas sedikit sebagai upaya menggerakkan masyarakat dalam mensejahterakan dirinya sendiri dimana hal tersebut dilindungi negara. Konsekuensinya adalah, orang non-muslim pun berhak mendapatkan daging kurban tersebut.
Hal ini menjadi sangat berarti di masa sekarang, apalagi Indonesia saat ini dalam tantangan Masyarakat Ekonomi Asean dan dibanjiri daging impor.


Malang, 14 September 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar