Sabtu, 24 November 2018

Sistem Nilai dalam Sekolah

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis

Suatu hari saya mengantarkan anak saya untuk masuk sekolah di sebuah Playgroup. Karena anak kami masih belum bisa ditinggal saat itu, maka saya harus menemaninya sampai proses pembelajaran (atau lebih tepatnya bermain) dimulai.Ketika saya dalam waktu menunggu tersebut saya mendengar musik senam dari dalam ruangan senam para murid Play Group tersebut yan saya nilai agak aneh. Baru kemudian saya tahu bahwa itu adalah senam pinguin.
Saya melihat, gaya senamnya agak berbau dewasa. Ada poa-pola gerakan, yang jika saya meihat bisa dinialai sebagai gerakan senam dewasa. Pemeraga senampun juga orang dewasa.


Jika saya harus menilai peristiwa itu, maka sebaiknya, hal tersebut tidak terjadi. Dalam kata yang lebih sederhana dan mengena, pemilihan tema senam tersebut adalah kurang tepat bagi anak seusia playgroup. Namun disisi lain, penulis tidak bisa memaksakan penilaian penulis ini diterima orang lain, karena mungkin saja mereka memiliki penilaian yang berbeda.
Meniai sesuatu tanpa patokan tertentu hanya akan membawa kita pada subyektifisme. Karena semua orang memiliki sistem nialainya sendiri-sendiri. Oleh karenanya maka penulis sebenarnya tidak bisa menilai dan mengkritik fenomena yang terjadi tersebut tanpa ada unsur subyektifisme dari diri penulis sendiri. Dan penulispun menyadari bahwa sistem nilai pada masing-masing orang itu adalah berbeda. Begitu juga sistem nilai antara sekolah, orang tua dan masyarakat.
Namun, setidaknya dalam pandangan penulis harus ada sistem nilai dalam setiap sekolah yang ditentukan dan disepakati bersama serta dijalankan bersama. Sistem nilai yang tertulis dalam bentuk aturan-aturan yang diberlakukan baik kepada siswa maupun guru dan disosialisasikan kepada orang tua dan masyarakat. Lebih jauh lagi jika aturan tersebut dirumuskan bersama para wali murid juga. Dengan demikian sisitem nilai yang bersifat kualitatif pada pribadi masing-masing orang akan terkuantifikasikan dalam sebuah aturan yang disepakati bersama.
Jika hal ini dilakukan, secara teoritis insiden pemukulan guru seperti terjadi beberapa waktu lalu dan juga di waktu sebelumnya yang tidak diliput media, tidak akan terjadi lagi. Jika memang harus terjadi kembali berarti ada hal lain yang perlu ditelusuri. Berarti ada hal lain yang menjadi pemicunya.
Peristiwa pemukulan guru sebagaimana banyak disiarkan berbagai media (utamanya media online) adalah salah satu contoh bahwa sistem nilai antara sekolah dan orang tua adalah berbeda. Tanggapan akan persitiwa tersebut juga akan berbeda di masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa sistem nilai dalam masyarakat dan sekolah juga berbeda.
Demikianlah, tugas guru menjadi sedemikian berat pada hakikatnya adalah karena terletak adanya keharusan mereka untuk selalu menganalisis tentang baik dan buruk pada apa yang telah, sedang dan akan ia berikan kepada peserta didiknya. Kesalahan dalam melakukan hal ini (analisis) akan berdampak buruk baik bagi siswa maupun guru itu sendiri dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Secara ungkapan ringan penulis mengungkapkan bahwa saat siswa berkelakuan buruk, maka gurulah yang ditanyakan, namun jika berkelakuan baik maka orang tualah yang dicari.
Dalam ungkapan ini sebenarnya terdapat keluhuran profesi guru dan sekaligus beratnya tanggung jawab mereka.

Malang, 22 Agustus 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar