Senin, 26 November 2018

PENJUAL DURIAN & DAKWAH ISLAM

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Suatu saat dalam perjalanan dengan istri saya menjumpai pedagang durian di pinggir jalan. Terdapat papan terpajang di atas tumpukan durian itu bertuliskan “Rp. 10.000”. Melihat tulisan itu saya lalu mengajak istri saya membeli durian itu karena dalam anggapan saya harga sekian itu sangatlah murah. Istri saya menolak dengan alasan bahwa duriannya kecil-kecil, dan kita juga tidak tau apakah durian itu isinya bagus di dalam.
Cerita istri saya pun berlanjut dengan mengatakan bahwa dirinya berdasarkan pengalamannya sendiri maupun pengalaman teman sudah tidak percaya lagi akan pedagang buah di pinggir jalan. Rata-rata pembohong katanya.


Dirinya lalu menceritakan bagaimana ia tertipu pedagang magga saat ia membeli di pinggir jalan beberapa waktu lalu. Ia melihat mangga besar-besar di atas mobil pick-up penjual, juga disertai tulisan: “Rp. 5.000”, tapi ketika hendak dibeli, ternyata diberi mangga kecil-kecil setengah (hampir) membusuk. Adapun buah yang bagus dan besar harganya jauh lebih mahal. Juga pernah seorang teman istri saya bercerita bahwa ada penjual duku (juga di tepi jalan) yang memasang harga “Rp. 2.000/kilo”, namun saat hendak dibeli ternyata diberi buah yang juga sudah hampir membusuk. Demikianlah sekedar bercerita. Bukan untuk mengeluh dan sebagainya.
Saya tidak hendak membicarakan apakah kejadian-kejadian tersebut termasuk kategori berbohong atau bukan karena banyak cara untuk melihatnya. Apakah itu termasuk kiteria berbohong atau strategi penjualan itu bukanlah apa yang hendak di bahas dalam tulisan ini. Namun pada intinya, jual beli dengan cara seperti ini telah membuat kecewa orang lain.
Lebih dari itu saya lalu teringat akan kisah masyarakat arab pra-Islam (zaman jahiliyyah) dan masa para nabi sebelumnya di mana para pedagang masa itu suka mengurangi timbangan. Ketika Al-Qur’an mengatakan: “Jangan mengurangi timbangan!” pada intinya adalah: “Jangan mengecewakan orang lain!.” Nabi sendiri sukses dalam ekspedisi ekonominya ke Syiria juga karena ia merupakan pedagang yang jujur di tengah-tengah pedagang yang curang ketika itu. Islam sendiri baik dalam sumber primernya, maupun dalam kenyataan sejarahnya memiliki  konsep tentang penguatan dan etika ekonomi. Bahakan trend saat ini di Indonesia semakin condong pada sistem ekonomi syariah. Di sisi lain yang juga sangat meyakini bahwa pedagang di pinggir jalan itu adalah seorang muslim.
Pertanyaanya kemudian adalah: “Lalu apa bedanya masyarakat Indonesia yang demikian ini dengan masyarakat jahiliyyah?”. Padahal Islam telah datang lebih 1.400 tahun yang lalu. Dan bagaimana hal ini bisa terjadi di tengah-tengah Indonesia yang merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia?. Informasi terakhir saya dapatkan saat seminar dengan BNPT, 88% penduduk Indonesia adalah muslim. 
Rupanya masih ada masalah dalam dakwah islam di negara kita ini. Pola-pola dan orientasi dakwah rupanya masih harus dibenahi. Agar supaya Islam mampu terinternalisasi dalam individu-individu masyarakat kita. Pengajian-pengajian yang marak diselenggarakan dalam majelis-majelis tampaknya harus dievaluasi karena nampaknya tak memiliki korelasi positif terhadap pola pikir dan moral masyarakat. Wa billahittaufiq.

Malang, 7 April 2018; 04:47 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar