Oleh : R. Ahmad Nur Kholis
HP/WA: 082257330218
Pemberian judul diatas dengan pertimbangan bahawa tema yang dibahas ini sudah banyak dibicarakan berbagai kalangan. Tulisan inipun terinspirasi dari hasil perbincangan pribadi penulis dengan seorang rekan yang meminta menjelaskan sebuah permasalahan yang akat diangkat menjadi sebuah makalah untuk dipresentasikan dalam kelas sebagai tugas matakuliah fiqih siyasah di sebuah Sekolah Tinggi Agama Islam Strata satu (S1). Sahabat itu meminta penulis untuk menjelaskan konsep bernegara dalam Islam. Masalah ini sebenarnya bukan masalah yang baru bagi kita sebagai bangsa yang sudah 60 tahun lebih merdeka. Dalam catatan sejarah kita pembicaraan mengenai hal ini sudah dibahas dan dipecahkan dalam Musyawarah Nasional (MUNAS) Alim Ulama pada tahun 1936. Akan tetapi, bagi orang sekelas mahasiswa strata satu hal ini mungkin adalah sesuatu yang seru untuk tetap dibicarakan. Oleh karena itu penulis menjelaskannya kembali kepadanya dengan berusaha sekuat pikirannya menjadi penjelasan yang singkat tapi padat.
Penulis merasa perlu membuat uraian yang ditulis untuk dibaca publik—atau mungkin beberapa kalangan yang masih tertarik membahasnya di zaman sekarang. Beberapa kalangan masih terlihat—baik secara samar maupun terang-terangan—keinginan dan ambisinya menjadikan negara kita ini sebagai negara-agama (teokratis). Setidaknya terlihat dengan semakin maraknya semangat ‘beragama’ kaum muda kita di beberapa Universitas baik negeri maupun swasta. Sampai-sampai mereka memberanikan diri untuk ‘tampil beda’ dari kalangan sekelilingnya dengan tampilan yang salah kaprah sepeti memakai cadar bagi kaum perempuan dan berpakaian celana ‘cingkarang’ plus jenggotnya yang dipelihara—yang sebenarnya itu bukanlah budaya Islam, tapi budaya Timur tengah. Dan beberapa partai politik yang memiliki tujuan itu dengan mengusahakannya sedikit demi sedikit dengan cara yang cukup cerdik dan halus.
Kepada sang sahabat itu penulis memulai dengan menjelaskan bahwa dalam Islam ada dua perkara berbeda dilihat dari sumbernya. Yakni : perkara yang secara langsung ada perintahnya dalam Al-Qur’an dan Hadits, yang di kalangan pesantren biasa disebut : Amrun Qath’iyyun. Dalam hal ini bisa ditarik contoh : Shalat, Puasa, Zakat, Haji, bersedekah, jujur, adil dan menepati janji. Perkara ini menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Dan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam kedua sumber utama agama kita itu, yang kemudian dirumuskan oleh para ulama setelah era Nabi, baik para shahabat, tabi’in maupun ulama-ulama yang ada di bawahnya. Yang terakhir ini yang disebut dengan Amrun Ijtihadiyyun. Untuk yang terakhir ini bisa dicontohkan tentang : letak niat dalam shalat, hukum surat nikah dan surat tanah—yang tidak pernah ada pada zaman nabi dan Al-Qur’an sendiri tidak pernah membahasnya (atau mungkin karena penulis sendiri belum menemukannya?). Yang terakhir ini, karena sumbernya adalah ijtihad manusia, maka tidak menjadi kewajiban sepenuhnya untuk dilaksanakan.
Dari sinilah muara perbedaan antara kita yang manganggap mendirikan sebuah negara Islam adalah bukan suatu kewajiban di satu sisi, dan mereka yang mengatakannya sebagai kewajiban yang harus dilakukan seorang muslim di satu sisi. Penulis tidak merasa perlu untuk memaksanakan pendapat dan kehendaknya dalam masalah ini. Karena ia tidak mau dan tidak menyukai seorang diktator (meskipun kenyataannya dirinya sendiri adalah orang awam yang sangat jauh kemungkinan berada di oemerintahan). Akan tetapi penjelasan yang ada dalam tulisan ini adalah untuk sebisa mungkin memberi penjelasan dan mungkin untuk membantu orang yang berpikiran sejalan—atau mungkin mahasiswa S1—yang dalam dirinya tidak menerima sebuah bentuk negara agama tapi tidak bisa menjelaskan alasannya secara memadai (karena mungkin hanya melihat bahwa sesuatu yang ada embel-embelnya Islam itu baik).
Bagi yang menyatakan bahwa mendirikan Negara Islam adalah suatu kewajiban, mungki diajukan sebuah alasan demikian: pertama: ayat al-Qur’an yang menyatakan: “Udkhuluu fi-as-Silmi Kaaffah”(masuklah kalian dalam Islam secara sempurna). Sehingga kita harus membentuk Negara Islam sebagai tanda bahwa Islam kita sempurna dengan kata lain negara yang tidak berbentuk demikian adalah salah. Kedua, karena kita dalam seluruh aspek kehidupan—termasuk dalam cara berpakaian dan jenggotan sampai masalah carar bernegara—harus meniru apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Karena termasuk melaksanakan ajaran yang merupakan perilaku Nabi Muhammad. Mungkin ada alasan yang lain saya tidak mengetahuinya. Karena penulis sendiri telah mendefinisikan dirinya bukan termasuk golongan di atas.
Kita melihat bahwa alasan yang digunakan diatas tidak logis, kurang ilmiah dan mengingkari kenyataan sejarah. Mengapa demikian ? karena dalam al-Qur’an tidak pernah dinyatakan bahwa bentuk negara harus Islam, Demokrasi, Tirani, atau lain-lain. Tidak pernah Kitab Suci kita menentukannya secara jelas. Ayat yang diungkapkan diatas bukanlah sebuah pewajiban bahwa kita harus membuat negara Teokratis Islam. Akan tetapi anjuran untuk masuk Islam dan mendalami aga itu dengan benar. Bisa saja dikatakan bahwa orang yang telah benar-benar mendalmi Islam tidak akan setuju mengubah bentuk negara Indonesia ini menjadi sebuah negara Agama. Justru yang berpikiran dangkal sajalah yang menyatakan harus.
Demikian pula Nabi Muahmmad tidak pernah menyatakan bahwa ‘negara Madinah’ yang Ia bangun adalah negara Islam. Dan atau menganjurkan kepada sahabatnya untuk membentuk negara Islam sepeninggal Beliau. Bahwa Nabi Muhammad tidak menentukan siapa pengganti Beliau, itu sudah cukup membuktikan bahwa Ia tidak pernah menjelaskan bentuk negara. Tidak ditemukannya dalil resmi tentang bentuk sebuah negara dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dengan sendirinya menjelaskan kepada kita bahwa masalah ini merupakan masalah Ijtihadiyyah. Apalagi sepeninggal Nabi Muhammad para sahabatnya bermusyawarah bersama untuk menentukan pengganti Rasulullah. Hal ini menejelaskan bahwa mereka telah berdemokrasi.
Kenyataan sejarah bahwa pergantian dari Rasul kepada Abu Bakar ditentukan dengan cara musyawarah para sahabat, dan umar melalui penunjukan (seperti penunjukan Wakil Presiden di negara kita dan pemilihan Kapolri yang baru oleh presiden kita beberapa pekanlalu), serta penunjukan Usman dan Ali melalui tim Formatur (Ahlul Halli wal ‘Aqdi) telah memberikan kejelasan kepada kita bahwa bentuk pemerintahan dalam Islam tidak jelas, dan dengan demikian semakin menyatakan bahwa bernegara dalah Amrun Ijtihadiy. Apalagi masa selanjutnya dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, pembangun Daulah Bani Umayah hingga masa Daulah Utsmaniyah bentuk negara kita (Ummat Islam) adalah kerajaan. Dan disinlah salah satu letak kerancuan dan ke-tidakmasuk akal-an gerakan fundamentalis Islam di Indonesia saat ini. Mereka menyatakan bahwa meneruskan Khilafah Utsmaniyah yang kini sudah hancur tampa menjelaskan khilafah yang manakah yang hendak dilanjutkan. Khilafah masa nabikah ?, khulafa’ur Rasyidinkah? Atauh daulah Umayah, Abbasyiah, dan Utsmaniyahkah?. Semua tidak jelas. Dan ketidak jelasan inilah yang sedikit menjelaskan kepada kita bahwa mereka ingin melanjutkan Khilafah Islam terakhir Turki tersebut. Dan menjadi sedikit lebih jelas pula bahwa tindakan dan paham mereka hanya dilatarbelakangi perasaan sakit hati atas hancurnya Daulah di Turki itu pada tahun 1920-an lalu.
Kenyataan lain yang terjadi saat ini adalah, bahwa di negara-negara yang menyatakan Islam sebagai dasar pun bentuknya tidaklah sama. Saudi Arabia, Islam Kerajaan, Iran Islam Republik, Libiya Islam sosialis. Dan lain sebagainya. Dan tanggapan serta sikapnya kepada Amerika, yang oleh para sparatis dianggap sebagai musuh Islam pun berbeda. Ada yang dengan jelas menampakkan permusuhan, seperti Iran. Tapi ada pula yang secara intens bekerja sama, sebagaiman Pakistan dan Saudi Arabia.
Nyatalah sekarang bahwa mereka tidak mewakili Islam yang ala Rasulillah yang sebenarnya. Dan apa yang mereka coba laksanakan untuk bangsa kita ini hanyalah dipenuhi alasan politis saja. Seperti ingin berkuasa dan memaksakan ajarannya untuk diterima masyarakat luas. Benarkah pernyataan ini ? sejarahlah yang akan membuktikan. Tapi dari mana ini menjadi keyakinan penulis ?. jawabannya adalah karena tindakan mereka tidak memiliki landasan yang kuat dan masuk akal itu.
Yang menarik adalah pendapat yang dikeluarkan oleh Organisasi Nahdlatul Ulama dalam 2 (dua) tahap. Tahap pertama, 1930-an melalui Bahtsul Masail dalam Munas Alim Ulama di Banjarmasin. Ada pertanyaan: ‘Wajibkah penduduk Nusantara melaksanakan Syariat Islam ?’. Jawabannya wajib. Akan tetapi pada saat pertanyaan lagi diajukan : ‘Wajibkah kita membentuk sebuah Negara Islam ?’. Jawabnnya tidak wajib. Karena berbentuk apapun sebuah negara tidak menjadi persoalan. Yang penting kita bisa melaksanakan ajaran Islam di sana.
Tahap kedua, pasca kemerdekaan. Setelah peristiwa DII/TII di Jawa Barat dan beberapa daerah di luar jawa. Institusi NU mengeluarkan Statemen bahwa tanah Jawa adalah negara Islam (secara de facto) karena sebelumnya sudah berdiri kerajaan-kerajaan Islam di sana dan semua urusan Ummat Islam diurusi pula oleh lembaga khusus yang juga dipimpin oleh orang Islam. Hal ini dianggap selaras dengan keterangan yang ada dalam kitab Ahkam as-Sulthaniyahyang dipresentesikan oleh sahabat penulis tersebut. Yang juga diperkuat dalam keterangan Kitab Bughyah Musytarsyidin tentang hukum kepemilikan penghidupan bumi mati.
Dalam kitab itu dijelaskan bahwa: “Orang Islam yang membuka tanah kosong (Ihya’ul mawat), maka hukum buminya adalah Islam”. Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa cita-cita membentuk negara Islam sudah tercapai. Dan dengan demikian pula segala upaya membentuk Negara Islam adalah usaha yang sia-sia dan berdosa.
Dan pada kenyataannya, para Ulama di kalangan Nahdlatul Ulama ternyata—disadari atau tidak—telah mencarikan bentuknya sendiri bagi negara Indonesia. Pemikiran mereka rupanya dengan sendirinya merupakan implementasi dari apa yang dilakukan Nabi sendiri dalam membentuk negara. Yakni : ijtihad. Hal ini terlihat bahwa Negara Indonesia telah keluar dari pendapat mainstream Ulama Islam. Jika dalam khazanah Islam kita mengenal Darus Islam, bagi negara yang sudah berlaku hukum Islam. Dan Daar al-Harb bagi negara yang masih dalam kondisi perjuangan—menjadi negara Islam--. Akan tetapi Indonesia memilih bentuknya sendiri sebagai: Daar al-Sulh : Negara yang terjalin pedamaian antara Orang Islam dan non-Islam. Dengan alasan bahwa kemerdekaan kita diraih bersama. Hal ini adalah rumusan dan hasil perjuangan yang unik.
Kemudian problematika kemudian muncul, dan sering dipertanyakan oleh orang yang masih meragukan kebasahannya. Bagaimana kita mengambil sikap dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi: ‘waman lam yahkum bimaa anzala Allahu, fa’ulaaika humul kafiruun’: ‘dan mereka yang tidah berhukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah adalah orang kafir’. Dengan demikian kita yang beragama Islam tapi tidak menerapkan hukum Islam di Negara kita menjadi kafir. Jawabannya tidak. Karena jika kita harus memahami al-Qur’an maka tidak boleh sembarangan.
Pada kenyataannya bahwa para ulama sejak zaman dahulu tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Karena bagi mereka kata ‘yahkum’: berhukum tidak serta merta berarti melaksanakan hukum. Akan tetapi bisa juga berarti berbudaya. Sehingga dengan demikian menciptakan negara yang aman dan penuh dengan keadilan, serta penegakan supremasi hukum dengan benar, menghindari penyelewewngan jabatan dan korupsi berarti kita telah berbudaya Islam.
Inilah mengapa para ulam kita membela mati-matian NKRI sejak perjuangan kemerdekaan dahulu. Hingga para Ulama NU mengobarkan semangat membara rakyat Surabaya dengan Komando Jihad fi Sabilillah yang pada akhirnya mendorong terjadinya pertempuran 10 Nopember yang kita kenal sebagai hari pahlawan itu.
Hal ini merupakan fenomena yang sangat menarik karena: kenyataan bahwa perkumpulan ulama Islam memerintahakan masyarakat dengan cara jihad Islam melawan penjajah, tapi bukan di Negara Islam, melainkan negara pancasila. Sangat menarik dan mungkin merupakan satu-satunya di dunia. Dan paling tidak merupakan hasil ijtihad seorang tokoh penganut taqlid.
Banjarsari, Ngajum, 4 Desember 2011
s.d 11 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar