Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Bagi kebanyakan warga Nadlatul Ulama mungkin fenomena Resolusi Jihad yang dikomandokan oleh para Ulama di bawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari dipandang sebagai kejadian yang sangat luar biasa karena mampu memobilisasi massa dengan sangat besar. Namun dalam pandangan penulis, kehebatan Resolusi Jihad bukan hanya demikian itu. Melainkan ada unsur lain yang sangat unik dari peristiwa 22 Oktober tersebut.
Kehebatan lain tersebut adalah kehebatan intelektual. Karena hal itu sepanjang pengetahuan penulis adalah satu-satunya di dunia. Dimana sekumpulan warga sipil muslin memobilisasi massa muslim sedemikian besarnya untuk membela negara mereka di mana ia merupakan entitas negara yang bukan Islam, yakni Negara Pancasila. Apalagi gerakan tersebut dilandasi dalil agama akan kewajibannya. Dan kewajiban itu wajib ‘ain. Jadi seperti wajibnya shalat.
Di Mesir pernah ada gerakan serupa, yang dipimpin Gamal Abdul Nasser. Namun gerakan gerakan tersebut bukan gerakan yang dilandasi agama. Melainkan dilandasi nasionalisme Mesir semata untuk melawan Israel dan sekutunya.
Dalam setiap kurun waktu atau zaman, pastilah muncul pemikir-pemikir yang hebat. Yang berusaha mengejuantahkan Islam sesuai dengan zamannya. Sayyidina Ali pernah berkata, bahwasanya Al-Qur’an itu diam (statis) yang membuatnya dinamis adalah pemikiran manusia yang membacanya.
Kiranya fenomena Resolusi Jihad pun bisa dipandang demikian. Sebagai kecemerlangan berpikir seorang ulama yang ingin menyatukan antara cita-cita Islam dan Nasionalisme. Lebih dari sekedar gerakan yang hebat, juga pemikiran yang hebat.
Rasanya, KH Hasyim Asy’ari tidak hanya ketika itu saja menuangkan pemikiran hebatnya. Pendirian oraganisasi Nahdlatul Ulama juga merupakan hasil pemikiran KH Hasyim Asy’ari yang cemerlang. Martin van Bruinnessen memberikan komentar dalam bukunya Tradisionalist Muslim bahwa argumen KH Hasyim dengan mengatakan bahwa medirikan Organisasi sebagai bentuk kesadaran ingin meningkatkan taraf hidup masyarakat dan membangkitkan nasionalisme adalah wajib hukumnya. Hal tersebut merupakan ijtiad seorang penganut taklid. Bruinnessen juga berkomentar terhadap Organisasi NU intinya adalah meskipun para penikutnya kaum tradisionalis namun dengan adanya bidang garapan yang bermacam-macam di dalamnya, hal terebut menunjukkan organisasi yang modern.
Sayangnya golongan Islam Radikal saat ini tidak pernah membaca hal itu. Alih-alih mereka malah kembali pada kekolotan pemikiran.
Malang, 24 Nopember 2018
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Tidak ada komentar:
Posting Komentar