Oleh: R. Ahmad Nur Kholis
Dengan menyebut kyai Madani, yang saya maksud disini bukalah Kyai Malik Madani yang ada dalam jajaran Syuriyah Nahdlatul Ulama. Melainkan seorang kyai berasal dari pulau madura dengan nama lengkap : KH. Madani Maarif. Kyai dengan keahlian Nahwu yang cukup baik dan mendalam. Semenjak dahulu, saat penulis masih menjadi santrinya, dan bahkan puluhan tahun sebelumnya, beliau memang istiqamah dalam mengajarkan ilmu Nahwu kepada santrinya yang rata-rata berumur 12-16 tahun itu. Hampir tidak pernah sang kyai berpostur gemuk ini mengajarkan fan ilmu yang lain, baik itu fiqih, tafsir, dan apalagi tasawwuf, yang biasanya banyak diminati sebagai disiplin ilmu yang ada di pesantren. Yang agak sering hanyalah ilmu kebahasaan terutama Nahwu dan juga Sarraf dalam beberapa kesempatan. Kalau kedua bidang ini sudah cukup banyak yang ia baca. Dari yang paling kecil, yang ditulisnya sendiri atau ditulis gurunya sendiri seperti kitab nubdah yang ditulis gurunya : Kyai Abdul Majid bin Itsbat Banyuanyar Pamekasan hingga yang besar-besar seperti: al-Fiyah ibni Malik, yang ditulis ulama Spanyol itu. Dan saya sendiri membuktikan bahwa keterangan-keterangan kaidah bahasa arab yang saya dapat dari Kyai Madani Maarif sangatlah lengkap. Tidak ada yang lebih lengkap lagi yang saya temui setelahnya.
Sebuah keunikan muncul dari diri beliau. Karena sang kyai ini tidak pernah menerangkan kitab yang dibacanya. Beliau hanya membaca kitab tersebut dan sepertinya hanya untuk mengingat-ingat apa yang telah ia pelajarinya dahulu sewaktu ia mondok. Ada riwayat bahwa selain beliau pernah belajar di sebuah pesantren salaf terbesar di Madura (Ponpes Bata-Bata dan Banyuanyar) sang kyai ini juga pernah belajar di Pondok Pesantren Buduran Sidoarjo. Anggapan bahwa kyai madani mengaji hanya ingin agar pelajaran yang ia dapat itu tidak hilang dari ingatannya semakin mendekati kebenaran jika kita melihat bahwa ia hanya selalu meminta muridnya untuk membacakan penjelasan i’rab (kaidah bahasa) dengan cara sang murid menghafalnya. Hafalan itupun dilakukan secara sederhana saja. Sang kyai hanya mendengar tidak pernah menghafalkan atau membacakan didepan muridnya secara langsung. Sedangkan para santri mendapatkan bimbingan dari senior-senior yang juga mewarisi hafalan itu dari santr-santri lama yang kebanyakan sudah alumni. Benar-benar cara yang sangat liberal. Karena bisa dibayangkan jika para senior itu sudah keluar, sedangkan adik-daik kelasnya masih belum matang hafalan dan pemahamannya. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian, karena pada saat ini pesantrennya masih eksis dan metode yang digunakan tidak berubah.
Jika kita melihat asrama para santri, dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berubah, sebuah kompelks kecil (hanya terdiri dari satu komplek saja) yang berbentuk huruf ‘U’. Lantai dasar di-tegel dan terlihat kumuh. Sedangkan lantai dua hanya berlantaikan batangan-batangan kayu (jawa: Blabak) yang juga tidak kalah kumuh dan selalu berderak jika ada santri yang berjalan diatasnya dan seringnya hal ini hanya mengganggu teman yang ada di bawahnya. Jika santri yang tinggal diatas tidak mengikuti jamaah atau ngaji dan harus disiram air oleh pengurus, maka yang dibawah harus rela terkena imbasnya meskipun telah rajin mengikuti kegiatan pesantren.
Akan tetapi jangan dikira jika kyai ini memeiliki visi pembangunan dan pengembangan SDM kedepan yang baik. Dan secara disadari atau tidak—bahkan sang kyai sendiri tidak tahu bahwa ia telah memilikinya—ia telah ikut andil untuk mempersipakan generasi yang baik dan berpandangan maju untuk membangun daerahnya sendiri. Ini bisa dilihat jika kita telah mengetahuia bahwa dua putranya saat telah memasuki usia mahasiswa ia sekolahkan di Timur Tengah. Untuk menempuh kiuliah disana. Yang tertua Arif Madani menempuh pendidikan di Yordania sampai jenjang S-2. Adiknya Thayib Madani belajar di Baghdad, dan Abdullah Ahmad Madani saat ini di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta sembari tinggal di Pesantren Krapyak Jawa Tengah. Budaya seperti ini juga ia tularkan kepada para santrinya. Beberapa santrinya telah melanjutkan di Perguruan Tinggi ternama di negeri kita. Tercatat ada yang belajar di Universitas Indonesia, UIN Jakarta, dan sejumlah Universitas ternama di Jogjakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Seringnya, jika penulis sowan padanya di sebelahnya terdapat koran. Dan ia sering membacanya. Sebagai orang pesantren, ia secara budaya (amaliyah) lebih dekat dengan NU, meskipun dia tidak pernah menyatakan dirinya sebagai aktif dalam kegiatan organisasi ini. Akan tetapi, sebagai santri dari Pondok Pesantren di madura yang pada tahun 50-an berafiliasi pada partai AKUI (Aliansi Kebangkitan Umat Islam) yang didirikan oleh Chaliq Hasyim, secara organisasi sebenarnya ia lebih dekat dengan Syarikat Islam. Dan secara politis saat ini ia simpati dengan Partai Amanat Nasional. Di sinilah letak kontroversi sikapnya itu. Sangat liberal sekali.
Lebih liberal lagi bahwa para santirnya pun yang belajar di luar daerah yang jauh banyak yang aktif dalam organisasi-organisasi Islam Modernis Progresif. Dan Kyai Madani sangat senang dan bersyukur sekali akan hal ini. Ia secara efektif masih memiliki dan membangun komunikasi dengan para utusan itu. Dan mereka pun masih sering sowan kepadanya. Nampak bahwa ia mencintai dan dicintai para santrinya. Sang kiyai juga sangat senang apabila diantara mereka ada yang bercerita telah bekerja di sebuah isntansi pemerintah. Seperti saat penulis sowan bersamaan dengan seorang alumni yang bercerita kepada sang kyai berpostur gemuk itu bahwa dirinya telah menjadi staf di Mahkamah Konstitusi (MK).
Lalu apakah Kyai Madani memiliki pandangan yang sama sekali berbeda dengan Islam Tradisionalis?. Apakah beliau ingin merubah daerahnya sendiri menjadi daerah yang tidak lagi ingin menjaga budaya keagamaannya?. Dengan kata lain apakah ia menginginkan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah akan dihapuskan oleh nya melalui para ‘utusan’-nya itu. Jawabannya tidak mesti demikian, karena ia pun sangat mendukung penulis untuk senantiasa tekun dan istiqamah berada dalam pesantren, karena beliau mengetahui bahwa penulis semenjak keluar dari pesantrennya memilih untuk mondok lagi. Bahkan bisa dikatan sampai sekarang penulis masih belum bisa lepas dari kehidupan pesantren. Meskipun saya sudah berkeluarga. Al-Hamdulillah.
Untuk mencari jawaban dari kegundahan dalam hati, pada suatu kesempatan ayah penulis sebagai orang yang aktif sebagai salah seorang pengurus NU di Kecamatan dan salah seorang wakil MUI di kecamatan yang sama, menanyakan tentang maksud dari tindakan yang beliau lakukan. Mengapa para santrinya yang aktif dalam berbagai organisasi Islam ekstrim itu dibiarkan ?. Beliau dengan mudah menjewab: “Ah, nanti mereka kan juga akan kembali pada pangkuan kita?”.
Nampaknya beliau tahu bahwa apa yang telah ia tanamkan pada diri santrinya hanyalah sebagai alat saja untuk meraih kesuksesan dari luar. Dan ia tahu bahwa para santri itu belum mepunyai sebuah dasar kekuatan prinsip yang kuat sehingga mudah goyah. Harapannya, dengan masih membangun hubungan dengan mereka, Ia ingin mengembalikan mereka ke pangkuannya lagi dan kemudian akan membangun daerahnya lagi dengan bekal ilmu yang telah diserapnya dari luar itu. Akan tetapi dalam kondisi aqidahnya sudah kembali lagi seperti semasa masih tinggal di tempatnya dahulu. Hal ini penulis temukan saat ia menghadiri malam 7 (tujuh) hari wafatnya paman sekalligus Guru penulis: Al-Maghfurlah Kyai Sholihuddin bin Abu Bakar yang juga merupakan kemenakannya sendiri karena Kyai Sholehoddin menikah dengan anak dari Sepupu beliau. Apa yang ia nyatakan?. “Bahwa pembangunan di Madura dan terutama setelah selesainya Jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya dan Pulau Madura akan membuat perubahan sosial ekonomi di Madura akan berlangsung dengan cepat tidak lama lagi. Dan itu memerlukan kesiapan warganya sendiri agar tidak ditangani orang luar. Oleh karenanya setiap santri yang mondok di pesantren saya saya ‘usir’ untuk belajar di luar”.
Memang benar-benar bebas….
Banjarsari, 07 Pebruari 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar