Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Istilah Islam Nusantara (dalam bentuk jumlah idlofiyah/connexion sentence) sebenarnya berangkat dari sebuah tema dalam muktamar NU ke-33 di Jombang. Gagasan tersebut kemudian coba dimatangkan ke dalam sebuah konsep oleh muktamar namun masih menemui kegagalalan. Perhelatan ilmiah dalam bentuk bahsul masail di daerah-daerah kemudian digelar untuk mencoba mencari rumusan terbaik tentang konsep Islam Nusantara tersebut yang sedianya akan diajukan ke PBNU.
Saya bersyukur karena sempat melihat diskusi para kiai Jawa Timur dalam sebuah Bahsul Masail (diskusi ilmiah) di Universitas Negeri Malang. Pada kesempatan dan tempat yang sama para guru besar dan doktor melaksanakan diskusi panel mengenai Islam Nusantara tersebut. Seorang doktor dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta juga turut serta di dalamnya. Karena saya datang sebagai wartawan NU Online, maka berita tentang hal tersebut saya kirim sebagai berita dan kemudian dimuat dengan judul: Panas Dingin Islam Nusantara di Malang.
Secara pribadi saya melihat bahwa perdebatan mengenai Islam Nusantara itu hanya berputar pada masalah hubungan Islam dan Budaya. Dan dalam hal tersebut sebenarnya diskusi para ulama telah berlangsung lama.
KH. Muhammad Tolchah Hasan (2004) mengatakan bahwa Islam di masa Rasulullah itu masih sederhana dan tidak sekompleks perkembangannya yang sekarang. Karena semua persoalan dapat ditanyakan kepada Rasulullah. Dan solusi langsung diberikan oleh-Nya.
Namun, dalam perkembangannya kemudian, di samping kewafatan Rasulullah dan permasalahan ummat Islam yang semakin kompleks karena daerah yang semakin meluas sampai daerah ajamy (non-arab), maka tantangannya pun semakin banyak. Maka perkembangan keilmuan pun menjadi tidak dapat dihindarkan.
Menurut Kiai Tolchah, perkembangan keilmuan dalam Islam itu ada yang mucul karena kebutuhan masyarakat seperti ilmu fiqih, hadits dan tafsir dan ada juga yang berkembang karena tantangan dari budaya luar seperti: Ilmu Kalam dan Tasawuf yang merupakan bentuk jawaban Islam terhadap berkembangnya filsafat dalam dunia Islam yang mana ia berasal dari Yunani.
Ada saya dengar bahwa seorang habib mengatakan bahwa seorang kiai boleh dibunuh karena mencampur adukkan antara agama dan budaya. Saya kira ini kurang benar. Karena agama tampa budaya akan tidak bisa apa-apa. Dan budaya tanpa agama akan miskin nilai. Sebagai contoh: shalat adalah agama, pakai baju adalah budaya. Haji urusan agama naik pesawat adalah naik budaya. Demikianlah. Saya melihat sang habib bukanlah berkapasitas ahli dalam merumuskan hukum fiqh (fuqaha’) tapi sangat ahli dalam berkhutbah (khutoba’).
Jikalau kita belajar ushul fiqh ada bab khusus tentang teori ‘urf (tradisi) dimana di sana dijelaskan hubungan antara agama dan budaya. Dari teori ‘urf ini lalu diturunkan kaidah-kaidah (premis-premis) seperti: “Al-adah Muhakkamah” (Adat dapat dijadikan hukum). Bahkan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa: “Laa yanbaghi al-khuruj minal ‘adah illa fil haram.” (Tidak selayaknya keluar dari sebuah tradisi keculai dalam perkara yang haram).
Yang jelas dalam teori ‘urf ini batasan-batasan yang dirumuskan para ulama adalah bahwa: “adat itu bisa diterima jika sesuai dengan syariat.” Inilah batasannya. Dengan demikian maka berbeda dengan rumusan orientalis Snouckhourounje yang mengatakan: “Syariat baru bisa diterima jika sesuai dengan Budaya.” Ini tertolak dengan pendapat para ulama itu.
Sehingga entah mau menamakan Islam Nusantara atau apapun jika tidak melanggar batasan ini maka tidak masalah. Demikian pula sebaliknya.
Hanya saja persoalan Islam Nusantara ini menjadi menyedihkan (balada) karena faktor kondisi politik yang sekarang ini. Dan juga pendapat-pendapat orang yang tak mengerti dan menafsirkan Islam Nusantara sendiri lalu kemudian menyalahkan orang lain. Mengatakan ulama suu’ dan sebagainya. Inilah yang bikin kacau. Imam Al-Ghazali mengatakan: “Dunia ini kacau karena fatwa (comment) orang-orang yang bodoh.”
Bumiaji, Batu, 19 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar