Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Jikalau harus dicontohkan hasil pergumulan Islam dan budaya, maka temuannya akan banyak sekali. Oleh karenya saya langsung menerima sebagian pendapat Paus Benediktus VIII yang mengatakan: Agama jika ingin bertahan, haruslah membawa kebudayaan (peradaban) itu saya setuju. Namun selanjutnya ia mengatakan: ”Islam tidak berperadaban” itu salah besar. Berikut saya akan paparkan beberapa contoh hasil pergumulan Islam dan Peradaban. Mulai dari yang remeh temeh samapai yang serius.
Dalam bidang Seni Bangunan
Kubah masjid yang umum di gunakan bahkan di pelosok Madura itu adalah mencontek bangunan gereja. Muhammad Al-Fatih yang membawanya menjadikan bangunanan Masjid. Menara masjid pun juga demikian, asalnya adalah tugu perapian raksasa orang majusi. Namanya saja menara (dari bahasa arab: “manarah” isim makan (place), artinya adalah tempat perapian). Apinya dibuang tugunya digunakan. Sudah dengarkan cerita 2 (dua) orang penjaga perapian tersebut yang akhirnya menemukan kebenaran Islam dan belajar kepada seorang ulama. Di masa sekarang, bahkan gereja di Indonesia lebih mirip rumah warga Indonesia dari pada masjid.
Dalam bidang ilmu
Penerimaan Imam Syafi’i akan Qiyas (analogi) yang mana ia merupakan cabang logika formal berasal dari Yunani. Imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa tidak boleh mengambil hukum berdasarkan qiyas kecuali darurat. Bahkan logika formal itu sampai sekarang masih diajarkan di beberapa pesantren besar dalam mata pelajaran ilmu mantiq.
Contoh yang baik dalam hal ini adalah perbedaan Imam Hanafi dalam mengambil hukum tentang masa haid (menstruasi) wanita. Ada hadits yang menyatakan bahwa masa haid (menstruasi) wanita minimal adalah 3 hari 3 malam. Jika kurang dari itu maka bukanlah haidh dan demikianlah jika lebih. Maka perempuan haruslah shalat seperti biasa. Hadits tersebut digunakan dalil bagi Imam Hanafi sebagai batasan minimum wanita haid. Karena Ia berprinsip dengan ‘adzna dalil (dalil terendah sekalipun jika ada maka harus digunakan). (Kitab Majma’ Anhur, Syaikh Zadah Damad dan Al-Ala’ Al-Haskafi)
Sedangkan Imam Syafi’i mengatakan bahwa hadits tersebut terputus sanadnya di tengah maka hadits tersebut tak bisa dijadikan landasan. Lalu Imam syafi’i memakai metode istiqro’i (research/penelitian) dengan melakukan survei dan menganalisis secara sentral tendensi menemukan modus, median dan meannya. Hasilnya, kita tahu sekarang Imam Syafii kemudian merumuskan batasan minimum haid (minimum result) dan maksimalnya (maximum result) serta rata-rata (mean)-nya. Metode ini menggunakan statistika ala Yunani.
Dalam bidang teologi
Ketika Mu’tazilah dibangun sebagai manhajul fikr (metode berfikir) oleh washil bin atha’ ia merumuskan lima prinsip antara lain prinsip al-Kasab (kebebasan manusia berbuat dan berkehendak: free will free act) jelas-jelas ini adalah prinsip filsafat materialisme aristoteles. Bahka dan kitab-kitab sejarah dikatan bahwa washil bin atha’ sebelum membangun prinsip teologinya bermimpi belajar dahulu kepada Aristoteles. Jika digambarkan prinsip al-kasab dari mu’tazilah adalah demikian:
“Jika ada semut saya pites, maka semut itu mati. Maka yang menyebabkan semut itu mati adalah karena saya pites. Jika ada lagi semut jika saya pites lagi maka pasti mati.” Ini adalah benar-benar kausalitas ala filsafat meterialisme sejati.
Prinsip berfikir Mu’tazilah ini kemudian ditentang oleh Abil Hasan Al-Asyari yang mengajukan prinsip filsafat Determinisme yang mana ini adalah pengembangan dari filsafat idealisme Plato. Contoh dari prinsip al-kasab dalam teologi Al-Asyari adalah demikian:
“Jika ada semut saya pites, maka insya Allah akan mati. Karena yang menyebabkan kematian bukanlah pitesan saya. Melainkan Allah yang menyebabkannya. Hanya kejadiannya bersamaan dengan pitesan saya. Secara deterministik Allah sudah menentukan di Lauh Mahfud bahwa semut mati pada hari jam, menit dan detik itu. Hanya kejadiannya saja bersamaan dengan pitesan saya.”
Demikianlah sekiranya contoh-contoh pergumulan Islam dan peradaban luar itu. Hanya saja diskusi menjadi belum selesai karena makna Islam Nusantara itu yang masih kabur. Apakah istilah ini menyatakan Islamisasi Nusantara ataukah Menusantarakan Islam. Ini bagiannya ahli linguistik
Wallahu A’lam.
Bumiaji, Batu, 19 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar