Rabu, 11 April 2018

Antara Ibu Sukmawati & Orang Badui

Oleh: R Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Al-Kisa suatu saat, Nabi dan para sahabat melihat seorang badui kencing di Masjid Nabawi. Saya tak merasa perlu menjelaskan hukmnya ini. Karena, kita sendiri jangankan kencing di masjid yang merupakan tempat ibadah. Ngompol di kasur saja sudah pasti tak akan ada orang suka.
Adapun orang badui itu, ia seenaknya saja kencing di masjid. Dan tak merasa bersalah sedikitpun. Buktinya, ia tak minta maaf pada nabi atau para sahabat. Atau mungkin si badui itu tak tau kalau sedang dilihat nabi dan para sahabat, saya tak tahu.
Yang menarik adalah, bahwa respon Sahabat (para santri nabi) yang emosional dan tanggapan nabi yang mencerminkan ketenangan dan obyektifitas. Nabi ketika itu melarang para sahabat yang ingin menghajar si badui itu.


"Sabarlah, jangan marah!, kalau sudah selesai ambilkan saja se ember air dan siramlah!" demikian kira-kira kata beliau. Masalah redaksi mungkin ada yang kurang atau salah saya mohon maaf. Karena ini bukan dalam konteks ngaji atau meriwayatkan hadits. Melainkan untuk mengambil pelajaran pada konteks saat ini.
Dalam hal ini, Nabi tidak memarahi orang badui tadi karena masalahnya si badui tadi masih belum mengerti ajaran Islam. Tentu akan berbeda jika kejadiannya jika saja yang kencing itu adalah para sahabat.
Dalam hal ini secara tidak langsung tercermin bahwa nabi telah melaksanakan apa yang dikonsepkan sebagai "hukum di belakang" (istilah asingnya saya lupa). Dalam kaidah ini, jika kita dihadapkan suatu masalah, maka tidak langsung mengambil keputusan hukum (hukum taklifi), melainkan mengedepankan konteks (hukum wadl'i) terlebih dahulu. Pada tataran paraktiknya di Indonesia sering menggunakan penyelesaian kekeluargaan.
Nah, melihat fenomena 'Puisi Ibu Indonesia" yang dibacakan Ibu Sukmawati ini kemudian kok saya jadi teringat kisah yang termaktub dalam salah satu hadits di Riayadlus Shalihin di atas ya?.
Bukankah kita tahu Ibu Sukmawati adalah bukan santri? sehingga memang benar jika ia mengatakan tak tahu syariat Islam?. Jadi berdasarkan kisah di atas, kita bisa posisikan Ibu Sukmawati layaknya orang badui itu.
Lalu kemudian pertanyaannya adalah: "Kita ini ingin diibaratkan dengan siapa dalam kisah di atas?". Akan pilih sikap yang mana? Mau memaafkan selayaknya Nabi, atau emosional layaknya sahabat?
Wallahu a'lam....

Malang, 11 April 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar