Oleh: R. Ahmad Nur Kholis
Islam memiliki korelasi erat dengan politik dalam arti luas. Islam sebagai sumber motivasi bagi ummat islam untuk bertindak dengan al-qur’an sebagai sumber katalog yang lengkap berisi perintah dan larangan serta bimbingan bagi ummat manusia.
Islam dan politik memiliki titik singgung yang sangat erat jika politik dipahami sebagai cara dalam megatur kebutuhan hidup manusia secara menyeluruh.
Islam yang hanya digunakan sebagai alat meraih kekuasaan hanya akan mengaburkan makna Islam secara luas dan menutup kontribusi islam terhadap politik secara umum. Sebaliknya, pemahaman terhadap term politik secara luas akan memperjelas korelasinya dengan Islam.
Penerimaan Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila sebagai satu-satunya asas menunjukkan kemampuan ummat muslim untuk tampil dengan gaya baru untuk memberikan inspirasi dalam percaturan kehidupan politik kebangsaan.
Syariat Islam mencakup juga tatanan mengenai hidup bernegara.
Kepemimpinan Islam di Masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin yang menjadi pemimpin agama dan Negara telah menunjukkan eratnya interaksi Islam dan Politik. Hal ini jika dipahami secara mendasar bahwa politik adalah serangkaian hubungan aktif antara masyarakat sipil dengan lembaga kekuasaan.
Berbeda dengan paradigm sekular yang tidak menganggap agama sebagai kekuatan, Islam memahami agama secara fungsional telah mempengarughi kehidupan politik.
Ulama Hanabilah berpendapat, politik (siyasah) adalah sikap, perilaku dan kebijakan kemasyarakatan yang mendekatkan pada kemaslahatan, sekaligus menjauhakan dari kemafsadahan, meskipun belum ditentukan oleh rasulullah.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa politik adalah mendorong kemaslahatan mahluk dengan memberikan petunjuk dan jalan yang menyelamatkan mereka di dunia dan akhirat. Bagi para nabi terhadap ummatnya, keselamatan ini meliputi lahir dan batin. Sedangkan bagi para ulama hanya keselamatan lahiriah saja.
menurut ulama Syafiiyah, politik harus memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: (1) Memelihara, mengembangkan dan mengamalkan agama Islam; (2) Memelihara rasio dan mengembangkan cakrawalanya untuk kepentingan ummat; (3) Memelihara jiwa raga dari bahaya dan memenuhi kebutuhan hidupnya, baik primer, skunder maupun suplementer; (4) Memelihara harta kekayaan dengan pengembangan usaha komoditasnya dan menggunakannya tampa melampaui batas maksimal dan mengurangi batas minimal; (5) Memelihara keturunan dengan memenuhi kebutuhan fisik maupun ruhani
Politik bukan berarti perjuangan menduduki kekuasaan saja. Lebih dari itu merupakan serangkaian kegiatan yang menyangkut kehidupan jasmani-ruhani dalam hubungan masyarakat secara umum dan hubungan masyarakat sipil dan lembaga kekuasaan.
Penyebaran Islam di Indonesia adalah melalui pendekatan politik kultural dengan toleransi dari penguasa.
Meskipun Islam sering ambivalen terhadap negara, dan ajaran Islam tidak menjadi satu-satunya sumber formal dalam menentukan kebijakan, tapi negara Indonesia bukanlah negara sekuler yang memisahkan antara urusan pemerintahan dan keagamaan.
Dalam keadaan tersebut, ajaran formal Islam berfungsi dalam jalur kultural pada kehidupan masyarakat seperti pada pendidikan, komunikasi massa, kesenian, dan sejenisnya. Juga melalui jalur tak langsung pada struktural. Hal ini memungkinkan karena Islam tidak ditampakkan dalam sesuatu yang islami saja, melainkan juga nasional.
Budaya politik, tata nilai, keyakinan dan persepsi ummat islam nusantara telah ditentukan oleh nilai-nilai islam. Kekuatan nilai-nilai agama itu akan menentukan dan mempengaruhi proses politik itu sendiri.
Namun demikian, sekularisasi kultur politik di Indonesia sangat besar kemungkinan akan terjadi meskipun sekularisasi struktur tidak terjadi. Hal ini karena terjadinya perubahan nilai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta industrialisasi. Keadaan ini kemudian akan mempengaruhi perilaku politik formal struktural.
Di sinilah pentingnya dilakukan kulturalisasi politik, tanpa menimbulkan kerawanan-kerawanan tertentu terhadap proses perkembangan politik struktural. Dengan demikian harus diupayakan keseimbangan antara kulturalisasi politik dengan politik struktural.
Dalam ajaran Islam, pemenuhan keadilan dan kesejahteraan merupakan keharusan bagi suatu pemerintahan Yng didukung oleh rakyat.
Hal ini memerlukan kesadaran tinggi dari kalangan politisasi Islam, untuk dapat menumbuhkan semangat baru yang relevan dengan perkembangan kontemporer dalam corak yang tidak berlawanan dengan moralitas Islam.
Peran ini sangat bergantung pada keluasan pandangan para elite Islam sendiri, kedalaman dalam memahami Islam secara utuh dan keluasan cakrawala berpikir.
Wawasan politik kaum awam yang masih bersifat paternalistic di satu pihak serta kepentingan melihat politik sebagai pemenuhan kebutuhan sesaat di pihak lain, merupakan kendala yang tidak kecil. Terlalu mementingkan kekuasaan dalam berpolitik dengan mengabaikan kulturasi politik di sisi lain akan melahirkan sekularisasi politik yang menjauhkan politik dari tujuan sebenarnya, yaitu sa’adatud darain.
Disarikan dari artikel:
Islam dan politik, dalam Buku Nuansa Fiqih Sosial karya KH Sahal Mahfud.
Catatan:
Artikel di atas adalah apa yang disarikan / diikhtisarkan penulis dari artikel ilmiah Kiai Sahal yang sampaikan dalam sebuah forum diskusi di Kendal Jawa Tengah pada tanggal: 4 Maret 1989. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 6-8 September 2013 KH MA Sahal Mahfud Rahimahullah Memberikan sambutan sebagai khutbah iftitah pada rapat pleno PBNU yang diberitakan oleh median NU baik online maupun cetak dengan tema: ‘Politik Tingkat Tinggi NU’. Jika kita menganalisis keduanya, maka dalam analisis penulis, apa yang disampaikan pada rapat pleno tersebut adalah penguatan kembali terhadap apa yang disampaikan pada tahun 1989 itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar