Selasa, 06 Februari 2018

Dakwah NU Membawa Misi Kemanusiaan

Oleh: Ahmad Nur Kholis

Budaya. Merupakan pintu masuk (entry point) yang menjadi salah satu kunci keberhasilan para Wali Songo dalam proses Dakwah Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Nusantara. Disamping juga pendekatan damai yang dilakukan para wali tersebut, sehingga masyarakatpun menghayati Islam dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Selain juga memberikan contoh sikap budi luhur pada masyarakat, para wali juga menggali nilai-nilai luhur kemanusiaan yang ada dalam diri mereka dan pula mengajak mereka pada perilaku yang lebih manusiawi. Sebagai contoh yang sangat relevan akan hal ini adalah budaya merawat jenazah (tahjizul janaiz) yang berlaku di tengah-tengah masyarakat sampai saat ini.
Dahulu, sebelum Islam datang ke Nusantara, jika ada orang meninggal, entah kedudukannya tinggi (Pejabat pemerintah, Kepala Desa, Agamawan atau sejenisnya) atau rendah (Maling, Penjahat atau usejenisnya) di mata masyarakat, tetap saja jasadnya di bakar. Setelah datang Islam, jika ada orang mati, entah orang mulia atau hina sama-sama dirawat jenasahnya.

Dari situ kita melihat betapa hebatnya metode dakwa Wali Songo. Oleh karena itu, amat salah jika ada sementara pihak yang bilang bahwa Islam Indonesia sudah terkontaminasi budaya lokal yang menyesatkan. Justru sebaliknya dakwah Islam Indonesia sangat sesuai dengan tujuan-tujuan ajaran Islam (Maqashid Al-Syar’i) yakni: Hifdzul Anfas (Menjaga Jiwa), Hifdzul Aql (Menjaga Aqal Sehat), Hifdzul Mal (Menjaga Harta) dan lain sebagainya.
Dari sinilah kita menyadari bahwa Islam Indonesia benar-benar menunjukkan jati dirinya mengangkat derajat manusia sebagai makhluq Tuhan yang paling mulia. Dengan metode dakwah yang benar-benar digali dari semangat Islam: Ud’u ilaa sabili Rabbika bil Hikmati wal Mau’idzatil Hasanati ..... sampai akhir ayat. Meskipun para wali tidak menyatakan dalil ini secara langsung kepada masyarakatnya, tetapi kita melihat kesuksesan mereka dalam mentransformasikan nilai-nilai dan semangat ayat kepada obyek dakwah. Sehingga sampai saat ini kita masih dikaruniai Islam sebagai agama.
Nahdaltul Ulama merupakan Organisasi Islam yang secara organisasi menegaskan komitmennya untuk meneruskan ajaran Islam Aswaja yang telah dibawa oleh Wali Sembilan tersebut. Dan lebih dari itu juga melanjutkan cara-cara atau metode dakwah yang dikembangkannya. Dalam hal ini ditandai dengan penerimaan NU atas tradisi, adat dan budaya lokal yang berjalan di dalam masyarakat. Bentuk penerimaan ini berbeda-beda diantara para ulama NU. Ada yang longgar penerimaannya. Namun ada pula yang sangat ketat.
Dalam naskah Khittah NU Nomor: MNU/1/1984 disebutkan tentang sikap Nahdlatul Ulama terhadap budaya lokal bahwa: ‘Nahdlatul Ulama tidak bertujuan untuk menghapuskan budaya yang berjalan di masyarakat setempat sejauh merupakan kebaiakan dan tidak bertentangan dengan Islam.’
Dengan demikian, NU meneruskan dakwah Islam model Wali Songo yang penuh toleransi dan santun. Tidak bersifat forntal terhadap budaya lokal. Melainkan akomodatif-selektif.
Sejauh perkembangan Nahdlatul Ulama telah banyak upaya yang dilakukan dalam upaya terus berdakwah dan mengembangkan metodenya. Dan bagi penulis, salah satu hasil ijtihad NU yang paling besar dan penting bagi kita saat ini adalah konsep Ukhuwwah Nahdliyah yang dirumuskan Kiai Ahmad Shiddiq pada tahun 1985. Yang isinya adalah: Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Islam), Ukhuwah Wathaniyah (persaudaraan sebangsa se tanah air) dan Ukhuwah Basyariyah (Persaudaraan sesama Manusia).
Pada masa Indonesia seperti saat ini, dimana kebebasan berpendapat diterapkan, seharusnya kebebasan ini haruslah diisi dengan sikap menghargai. Akan tetapi tidak pada kenyataannya. Karena ternyata kita sering berebut menang sendiri dengan menyalahkan orang lain dengan berlebihan. Kiranya ruh Ukhuwah Nahdliyah bisa menjadi pemersatu Indonesia dalam kebinnekaan ini.
Demikian juga halnya konsep NU tentang Nasionalisme dan Kebangsaan. Selain berdasarkan dalil-dalil keagamaan juga memiliki landasan kemanusiaan. Kita menganggap sah NKRI dan Pancasila karena demi untuk meluhurkan Islam itu sendiri.
Benarlah apa yang diriwayatkan KH Muchit Muzadi saat Ia bertanya kepada KH Ahmad Shiddiq tentang mengapa NU dibawah kepemimpinanya menyetujui Pancasila?. Kiai Ahmad menjawab: “Adalah keliru jika menjadikan Islam sebagai asas, karena justru akan merendahkan Islam sendiri. Islam adalah agama ciptaan Allah, sedangkan organisasi ciptaan manusia. Islam jauh diatas asas, karena Islam adalah Din-Allah. Dalam arti lain berarti kita telah mensejajarkan Islam dengan isme,isme buatan manusia. Tidak. Islam jauh lebih tinggi dari itu.”
Lalu, dari sisi kemanusiaan, akankah kita berani untuk mengatakan Negara kita ini sebagai negara Toghut (Setan)?, sedangkan disana kita diberi kebebasan untuk beribadah. Madrasah-madrasah dan masjid-masjid dilindungi, bahkan dibantu. Kita tidak bisa mengingkari bahwasanya Indoensia  ini adalah tempat kita beribadah, beramal shalih dan melaksanakan ajaran Islam.
Katakanlah kelompok yang berpendapat bahwa negara kita ini adalah toghut. Apakah tidak sadar mereka bahwa mereka juga makan di dan dari Indonesia? Menikah juga di Indonesia. Dan matipun nanti dikubur di Indonesia. Akankah nanti kita harus menyebut: ‘Hai,ada orang mengaku Muslim Makan, Menikah dan Mati di Negara Taghut !.’
Oleh karena itu, benarlah Nahdlatul Ulama dengan sikapnya yang konsisten terhadap NKRI. Sekali sah tetaplah sah. Jika memang ada kekurangan dan kelemahan, ya disempurnakan. Wallahu A’lam....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar