Oleh: R. Ahmad Nur Kholis
Berbicara kiai NU yang ahli dalam menulis, mungkin memang agak sulit ditemui. Namun apakah berarti ulama NU tidak terampil menulis?, jawabannya belum tentu. Hal ini karena bisa saja mereka menulis namun tidak dipublikasikan. Masalah akses ke media dan pernerbit juga mungkin menjadi masalah tersendiri. Disamping memang mungkin para kiai itu tak mementingkan publikasi.
Hal tersebut setidaknya menjadi benar jika kita melihat dan mempelajari sekelumit tentang kehidupan Kiai Sholihin Karangploso. Seorang kiai tarekat di tingkat Kabupaten Malang yang tidak punya santri kecuali santri kalong seusia Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Dasar (SD). Itupun juga bukannya berjumlah puluhan, apalagi ratusan, namun hanya beberapa, mungkin tak sampai 11 orang. Kiai sepuh ini tinggal di Dusun Takeran Desa Ngijo Kecamatan Karangploso Malang.
Di kalangan kiai-kiai se-kecamatan Karangploso, khususnya di lingkungan tarekat, Kiai Sholihin dipandang sebagai sebagai kiai yang terhormat dan dituakan. Selain karena usianya yang terbilang cukup sepuh, kewira’iannya telah diakui para kiai yang lain. Kealimannya pun sudah diakui oleh para kiai setempat, meskipun sepertinya masih banyak hal yang belum diketahuia dari kiai berpostur kurus ini.
Kesalihan Kiai Sholihin juga tampak dalam sikapnya yang rendah hati. Tidak suka menonjolkan diri. Hal ini terbukti ketika ada majelis ilmu yang ia hadiri baik di lingkungan tarekat maupun yang lainnya. Kiai Sholihin biasanya duduk dibelakang. Meskipun harus duduk di depan tapi ia bersikap seakan dirinya adalah seorang pendengar dan jamaah yang baik.
Suatu saat Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC) Nahdlatul Ulama Kecamatan Karangploso bekerja sama dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat. Mereka menyelenggarakan pengajian Muqtathofat yang diasuh Kiai Marzuqi Mustamar. Kiai Sholihin dengan tenangnya duduk di kursi paling depan dan mengesai kitab Kiai Marzuqi tersebut. Hal ini adalah pemandangan yang cukup aneh di mana undangan yang lain meskipun mendapatkan kitabnya jarang ada yang mengesai kitab itu. Meskopun membuka kitab, mungkin hanya menyimak keterangan saja. (baca: http://www.nu.or.id/post/read/61138/belajar-dari-kiai-sholihin)
Kealiman dan kedalaman ilmu kiai alumni Lirboyo ini dapat terlihat dari seringnya mengisi acara ceramah di berbagai daerah. Dirinya juga secara istiqamah mengisi khutbah jumat di masjid setempat yang isinya cukup bagus dan meminta perhatian para jamaah sehingga mereka tidak mengantuk. Padahal suaranya tidak enak dan merdu-merdu amat layaknya ahli qiraah. Bahkan bisa dikatakan terlalu serak.
Mengamati dan menyimak khutbahnya ini adalah keunikan tersendiri yang dimilikinya. Khutbahnya tersusun dalam tulisan yang sistematis. Runtut dan pemilihan kata-katanya tepat sesuai dengan pemahaman jamaah yang notabene-nya adalah masyarakat berpendidikan menengah ke bawah. Inilah mungkin salah satu cermin ketinggian ilmu beliau. Khutbah itu nampaknya ia tulis sendiri dan selalu ‘up-to-date’.
Meskipun tidak memiliki santri yang menetap, Kiai Sholihin sangat rajin dalam membaca berbagai referensi kitab kuning. Diam-diam rupanya ia selalu mengikuti perkembangan sosial yang terjadi di sekitarnya, baik skala lokal, regional maupun nasional. Kemudian sang kiai memeriksa rujukan dalam kitab kuning untuk menganalisis dan mengambil keputusan.
Pujiono, Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang yang juga merupakan kemenakannya mengatakan bahwa Kiai Sholihin sangat rajin menulis hal-hal apa saja yang ditemukan dalam kitab-kitab kuning. Dimana apa yang ditemukannya itu merupakan jawaban terhadap fenomena sosial yang ia jumpai. Kalau dikumpulkan mungkin sudah lebih dari cukup untuk dijadikan buku. Namun karena tidak dipublikasikan, dan sang kiai sendiri nampaknya tak begitu suka publikasi, maka tiadalah orang yang tahu. Kiai Sholihin menulis dalam sepi.
Sudah pernah ada kabar bahwa suatu ketika musyawarah Bahtsul Masail yang diselenggarakan di Karangploso terjadi mauquf atau deadlock (tak bisa menyelesaikan masalah). Pada pertemuan berikutnya, tersebarlah makalah setebal kira-kira sepuluh halaman yang menjawab permasalah yang belum selesai pada pertemuan sebelumnya. Terkaget-kagetlah para hadirin setelah tahu bahwa penulisnya adalah Kiai Sholihin. Waktu itu yang bersangkutan tidak hadir. (baca: http://www.nu.or.id/post/read/61138/belajar-dari-kiai-sholihin).
Seorang ustadz muda yang hadir ketika itu berkata pada temannya:
“Beliau sudah sepuh tapi rajin menulis. Lha, kita yang masih muda mana karya kita?” katanya.
Yah, demikianlah Kiai Sholihin. Semoga Allah memanjangkan dan memberikan berkah pada umurnya. Dan semoga kita dapat meneladaninya. Amin.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar