Rabu, 07 Februari 2018

IDEOLOGI POLITIK NU, MODERAT ATAU OPORTUNIS?

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Hp: 085736923155
e-mail: kholis3186@gmail.com

A. Pendahuluan
Ahlussunnah wal Jamaah dalam perjalanan sejarahnya, sebagai sebuah doktrin ia telah ada sejak zaman Rasulullah. Akan tetapi ia muncul pada saat ummat Islam sedang dalam keadaan kegalauan politik yang ‘dibumbui’ agama. Berbagai macam gerakan mulai dari yang paling ekstrim seperti Syi’ah sampai yang paling liberal seperti Mu’tazilah sekalipun muncul pada saat itu. 
Di sisi lain, berbagai pertikaian yang timbul dikalangan para sahabat nabi hingga menyebabkan pertumpahan darah sesama mereka juga turut memperkeruh suasana politik yang sudah terlanjur kacau saat itu. Masyarakat bawah menjadi bingung untuk menentukan siapa yang benar dan bisa diikuti. Peperangan antara Aisyah dan Ali dalam perang jamal, Ali dan Muawiyah dalam perang shifin hingga terbunuhnya sayyidina Ali Kw. sebagai implikasi dari kejadian itu.

Ahlussunnah sebagai sebuah ajaran sebenarnya muncul jauh hari sebelum semua kekacauan (chaos) itu terjadi. Aswaja sebagai sebuah pergerakan justru datang pada saat intelektualitas Islam di bawah Dinasti Abbasyiyah yang melegalkan Mu’tazilah sebagai madzhab negara sedang berjaya. Akan tetapi kita melihat dalam kenyataannya kemunculan Aswaja adalah untuk menjawab semua permasalahan yang timbul pada masa kekacauan tersebut. Dan juga untuk melindungi masyarakat dari intimidasi kaum mu’tazilah yang didukung penguasa.
Sebagai contoh : bahwa Ahlussunnah wal Jamaah didirikan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari sebagai jawaban (atau lebih tepatnya bandingan) dari madzhab Mu’tazilah yang elitis dan sulit untuk dipahami kalangan awam. Konsepnya tentang alam ini yang: qadim fi al-zaman hadits fi al-dzat (terdahulu dalam waktunya, tapi baru dalam substansinya). Karena jika alam ini hadits (baru) maka dimana letak Khaliq-nya, di mana letak raziq-nya. Konsep ini jelas sangat sulit diterima masyarakat dan membingunkan mereka. Dalam konteks inilah Ahlussunnah muncul untuk menjawab semuanya itu dengan konsep yang lebih mudah dicerna oleh siapapun.
Dalam wacana yang demikian Aswaja menjelaskan bahwa: Allah adalah Qadim dan alam hadits. Lalu bagaimana untuk menjawab letak sang khaliq itu tadi?. Ahlussunnah wal jamaah mengeluarkan konsep tentang: ta’alluq shaluhi dan ta’alluq tanjizi. Dalam konteks ini, Allah dengan ta’alluq shaluhi-Nya menetapkan pada hari ‘anu’ tanggal ‘sekian’ bulan dan tahun ‘sekian’ akan lahir manusia bernama ‘fulan’. Maka pada hari yang ditentukan itu lahirlah ‘fulan’ dengan ta’alluq tanjizi Allah SWT. Dengan demikian, ta’alluq shaluhi-Nya qadim sudah ada sejak masa tiada terhingga dan masih ada kemungkinan terjadi atau tidak. Sedangkan ta’alluq tanjizi melalui hukum kausalitas atau sebab-musabab.
Jika kita melihat latar belakang sejarah yang demikian ini, kita akan mengetahui bahwa kelahiran Aswaja sebagai sebuah gerakan adalah untuk mengeluarkan masyarakat dari berbagai kebingungan atas konsep dari Mu’tazilah yang sangat intelektualistik itu. Dan inilah yang disebut dengan konsep tawasshut (moderat) itu. Yang sebenarnya sudah dikembangkan oleh ulama-ulama sebelum Asy’ari seperti Sufyan al-Tsauri, Abu Hanifah an-Nu’man,  dan Abul Haris Al-Muhasibi. Untuk cita-cita apa tawasshut itu dilakukan? Untuk menjaga posisi dan keselamatan serta kemashlahatan Ummat (rakyat). Apalagi jikalau kita melihat latar belakang Imam Abul Hasan yang merupakan penganut Mu’tazilah selama kurang lebih 40 (empat puluh) tahun dan kemudian keluar dari madzhab itu untuk mengayomi dan membela kepentingan masyarakat kecil. Dengan cara yang moderat juga. Tidak revolusioner.
Beberapa abad kemudian, apa yang menjadi cita-cita dan visi al-Asy’ari juga dikembangkan oleh para wali sembilan di nusantara. Mereka memiliki kesamaan tujuan: menyelamatkan dan menjadi pengayom bagi rakyat bawah. Hal ini ditunjukkan dari model-model dakwah mereka dalam membawa misi Islam yang moderat dan halus dalam kehidupan masyarkat. Konsep tentang ‘Islamisasi masyarakat’ yang terlihat sebagai gerakan kultural yang mereka pilih dengan mengenyampingkan ‘Islamisasi Negara’ yang bersifat formalitas adalah sebagai bukti bahwa pilihan mederatisme adalah yang mereka lakukan. Konsep para wali itu tentang moderatisme masih terasa dalam kehidupan kita saat ini. Seberapapun perubahan yang terjadi dan sebagaimanapun telah terjadi beberapa pergeseran. 
Cara agama Islam datang ke Indonesia berbeda dengan cara agama ini masuk ke berbagai negara barat (seperti Spanyol dan Eropa) yang umumnya melalui kekerasan berupa perang dan penaklukan. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang damai, membawa perilaku kesopanan dan sedikit sekali menimbulkan perbenturan dengan kebudayaan dan agama setempat. Pada mulanya misi ini dibawa oleh pedangang yang berasal dari Arab sendiri sebagai tampat kelahiran Islam dan juga dari Gujarat dan India.
Akan tetapi Islam secara besar-besaran masuk ke Indonesia dibawa oleh para Wali tersebut dengan membawa paham Sunni. Pernyataan ini didasarkan pada: 1) Mereka hidup dan merupakan utusan dari negara Turki Usmani, yang ditandai dengan didirikannya Madrasah Nidzamiyah untuk kepentingan politik sunni dengan Imam Ghazali sebagai arsiteknya, dan 2) ajaran yang mereka bawa serupa dengan apa yang dikembangkan oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari.
Pada masa berikutnya, peran pembawa misi tersebut selanjutnya dibawa oleh Nahdlatul Ulama. Fenomena kelahirannya menandakan sebuah gerakan perjuangan Islam dalam kebangkitan mempertahankan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah yang kedua setelah para walii songo. Hal ini dikarenakan karena NU merupakan perkumpulan para Ulama dengan pesantren mereka sebagai lembaga pendidikan yang berfungsi sebagai institusi pewaris ajaran Ahlussunnah wal jamaah di Nusantara.
Pada tahap-tahap selanjutnya pesantren mempunyai peran yang sangat besar dalam upaya melestarikan ajaran sunni. Sistem pendidikan pesantren yang mandiri dan terpadu membuatnya menjadi bukan hanya sekedar lembaga pendidikan yang mencetak orang-orang sholeh (orang berbudi baik), akan tetapi lebih dari itu, pada tahun-tahun pasca Wali Songo fungsinya juga adalah untuk mencetak generasi para ulama di kemudian hari. Para intelektual pesantren seperti Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Nawawi Banten dan Syaikh Mahfud Termas adalah  bukti keampuhan metode pendidikan pesantren yang tidak hanya diakui oleh masyarakat nusantara saja, melainkan juga oleh masyarakat internasional. Dedikasi mereka dalam bidang ilmu-ilmu keislaman mengalahkan para tokoh lulusan Universitas al-Azhar sekalipun seperti Muhammad Abduh dkk.
Pandangan politik NU terlihat dari sikap-sikapnya terhadap pemerintah dimulai sejak tahun pertama kelahirannya pada tahun 1926, menghadapi kolonialisme Belanda dan dalam perjalanan sejarah selanjutnya yang ditandai beberapa peristiwa penting lainnya seperti kedatangan jepang, proses perjuangan menuju kemerdekaan, upaya mempertahankan kemerdekaan, menghadapi rezim Sukarno, tragedi PKI. Kehidupan politik di zaman orde baru dan zaman reformasi sekarang ini. Yang dari kesemuanya itu dapat ditarik kesimpulan bahwa politik NU yang utama adalah politik kerakyatan an kebangsaan.

Fulltext, download here!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar