Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
(085736023155 / kholis3186@gmail.com)
Pendahuluan
Pada masa sekarang ini, sisi yang paling dianggap efektif untuk mewariskan ajaran Ahlus-sunnah wal jamaah adalah melalui pendidikan. Ini setelah berbagai proses yang dilalui aswaja-Indonesia untuk tetap menjadi pegangan masyarakat pada umumnya di negeri kita. Mulai dari jalur kebudayaan dan kebutuhan masyarakat pada waktu ajaran ini mulai dimasukkan oleh para wali sufi. Dan jalur kebutuhan akan pentingnya organisasi pada masa penjajahan, yang ditandai dengan berdirinya NU pada tahun 1926 sebagai hasil ijtihad KH. Wahab Chasbullah dan Hadratus Syaikh Hasjim Asj’ari bersama ulama-ulama lainnya.
Setelah mengalami perjalanan yang panjang dan pengalaman sosial yang cukup banyak, pada tahun 1984 NU menghasilkan dan menegaskan sebuah konsepsi tentang posisinya sebagai bagian dari Negara Indonesia. Dalam muktamar tersebur dijelaskan bahwa lapangan perjuangan NU berpindah dari lapangan politik praktis, ke arah pengembangan Agama (Dakwah), Sosial (mabarrat) dan Pendidikan (maarif). Dalam khittah itu pula ditekankan bahwa Khittah NU merupakan landasan berpikir dan bertindak bagi semua war Nahdlatul Ulama.
Dari rumusan itulah maka kita sebagai warga NU haruslah merasa bertanggung jawab untuk memelihara bangsa Indonesia dari berbagai ancaman. Karena hanya orang mau berkehidupan sosial yang akan bisa bertahan hidup dan mempertahankan perannya sebagai wakil Allah di dunia (khalifa Allah fi al-Ardh). (Khittah NU 1984)
Keharusan bersosial itu mengajak kita untuk selalu peka akan berbagai perubahan dan perkembangan sosial yang terjadi di sekitar kita. Dan dalam kaitannya tentang pembentukan moralitas dan pewarisan ajaran dan budaya, maka sangat penting artinya sebuah pendidikan. Oleh karenanya maka dikatakan, bahwa pendidikan adalah salah satu bidang yang sangat efektif saat ini dalam hal membangun dan menjaga moralitas serta mewariskan sebuah ajaran.
Kepekaan kita haruslah kita arahkan untuk meliha kenyataan pada masa sekarang, dimana teknologi berkembang dengan pesatnya, dan kebudayaan dari luar hampir tidak ada penyaringannya. Baik itu budaya beragama, seperti apa yang menjangkit pada segelintir kelompok di negeri ini dalam bentuk Islam ekstrim dan yang liberal pada satu sisi. Maupun budaya materialistik-konsumeris yang telah menajangkit pada para insan dunia perfilman Indonesia di sisi lain.
Dalam kondisi degaradasi moral dan kehilangan karakter diri sendiri seperti itu sebenarnya Nahdlatul Ulama sebagai organisasi berhaluan sunni terbesar di Indonesia haruslah memegang andil cukup besar dan berpengaruh. Dan disadari atau tidak kita memilikipeluang dan modal yang cukup untuk hal itu. Kita tahu bahwa organisasi ini didirikan ulama yang kebanyakan dari mereka memiliki pesantren. Dan kita tahu bahwa di pesantren adalah tempat pendidikan paling baik untuk saat ini di negeri kita. Terlepas dari bagaiman ‘orang luar’ selalu mengorek kelemahan-kelemahannya. Karena di dalamnya kegiatan pendidikan antara penanaman moral, pengawasan dan pemberian contoh (uswah) dilaksanakan secara terpadu.
Dalam dunia pendidikan formal, di organisasi Nahdlatul Ulama, Lembaga Pendidikan Maarif (LP. MAARIF)-lah yang sangat ditungu-tunggu kiprahnya dalam tugas ini. Mungkin sekranglah waktunya NU maju lewat perangkat organisasi yang membidangi Pendidikan ini. Dan juga menjadi sebuah kesempatan untuk menepis anggapan umum masyarakat kita akan madrasah-madrasah dan sekolah-sekolah kita yang kurang bagus. Tinggal bagaimana ia merancang dan membenahi sistem yang telah ada selama ini. Misalnya, bagaimana upaya untuk memajukan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah NU yang ada di daerah jawa, serta peningkatan kualitas kemampuan guru-guru agama (khususnya mata pelajaran Aswaja) di madrasah-madrasah nya. Serta pembaharuan dan evaluasi yang berkesinambungan dan komperhensip terhadap model kurikulumnya.
Fulltext: download here!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar