Oleh: R. Ahmad Nur Kholis
Pesantren dalam tujuannya sejak awal sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah untuk menjaga otentisitas, orisinilitas ajaran agama Islam. Hal demikian ini membuat pesantren sejak awal keberadaannya selalu menghindari perkotaan untuk menghindari kontaminasi pendidikan Belada (ketika itu). Meskipun, kecenderungan Islam pada umumnya, sebagaimana diungkapkan Musyrifah Sunanto dalam bukunya adalah perkotaan. Dan memang hampir semua pesantren dalam kenyataan sejarahnya adalah sebagai pemula dalam berdiri dan terbangunnya sebuah komunitas pedesaan, dan bahkan tidak sedikit yang berperan dalam membangun sebuah kota.
Meskipun tidak semuanya, namun bisa dikatakan bahwa sampai sekarang, pesantren di Indonesia relatif lebih terjaga dari berbagai aspeknya. Dari segi ajaran agama dan pola budaya keilmuan yang dianut, serta sistem nilai yang dijalankan.
Dari segi ajaran agama, relatif di pesantren mengkaji karya-karya ulama salaf yang ditulis pada abad pertengahan. Meskipun ada pula yang agak membuka diri menerima untuk membaca kitab-kitab karya ulama modern, namun itu tidak banyak.
Hal ini menjadikan para pelajar pesantren tetap berada dalam kultur budaya keagamaan yang ia pertahankan. Bahkan ulama besar pesantren pada era terakhir ini seperti Syaikh Yasin Al-Fadani berani mengkritik cara-cara memahami agama di Hijaz pasca berkuasanya Ibnu Saud dan diresmikannya ajaran Wahabi.
Adalah unik memang jika kita melihat bahwa bahkan dalam perkembangan 40 tahun pasca kemerdekaan pesantren masih mampu menjadi motor pembaharuan pemikiran keagamaan. Padahal paham yang diajarkan di pesantren adalah klasik. Dan ini dalam pandangan Nurcholis Majid salah satunya adalah banyaknya referensi yang dimiliki dan dibaca oleh para ulama pesantren.
Dalam perkembangan sastra, kita melihat bahwa sastra klasik arab atau yang disebut dengan Syi’ir Jahily sudah banyak ditinggalkan utamanya pasca era sastrawan modern Kahlil Gibran. Mereka lebih suka untuk membuat puisi arab modern atau prosa (natsr) dari pada membuat syair klasik. Mereka nampaknya bosan untuk mengatur dan memadukan antara keterampilan memilih kata yang indah, mencari pemaknaan yang dalam dan mengatur lagu yang terikat dalam pola bahr (yang terkenal dan sering digunakan di antaranya adalah: Bahr Thawil, Rajaz, Basith & Wafir). Para sastrawan arab masa kini nampaknya sudah kehabisan kata-kata untuk itu semua.
Ada sebuah karya studi tentang Syi’ir Jahili ditulis oleh Thaha Husein, seorang mantan Menteri Pendidikan dan Bahasa di Mesir berjudul: Fi Syi’ril Jahily. Nampaknya lebih merupakan sebuah bentuk kenangan dan kerinduan akan munculnya kembali karya-karya dalam bentuk sya’ir arab klasik. Buku ini merupakan penelitian sejarah dan kekhasan para penyair dan sya’ir arab klasik. Selain itu kitab ini juga membahas tentang perkembangan syarir dan kondisi sosial politik yang mengitarinya, juga masalah tradisi pewarisan syair klasik dalam budaya arab.
Demikian pula jika kita melihat kitab penjelasan (syarh) terhadap kitab semacam Diwan Dzi Rummah karya Ghaylan bin Uqbah Al-Adwi (w. 711 H). Semakin tampak bahwa masyarakat arab sangat merindukan hadirnya kembali karya-karya dalam bentuk syair klasik.
Perkembangan sangat berbeda dalam sastra arab klasik ini dimiliki oleh pesantren sampai sekarang. Sastra Arab klasik di Indonesia di bawah naungan pesantren masih relatif terpelihara. Hal ini bukan saja tampak dalam kenyataan bahwa, nadham-nadham syair masih didendangkan dan dihafalkan oleh para santri di pesantren. Karena lebih dari kenyataan itu, kita juga melihat fakta bahwa di beberapa pesantren di Jawa Timur dan daerah lain masih mempelajari Ilmu Arudl. Sebuah ilmu yang menjadi pedoman (pakem) dalam mebuat syair-syair arab klasik.
Beberapa Kiai pesantren, bahkan yang sekelas gus atau ustadz pun masih berusaha menulis kitab keilmuan yang dikemas dalam bentuk syair Arab klasik. Bahkan juga beberapa ada yang menulis buku pedoman pembuatannya. Hal ini setidaknya tampak dalam beberapa buku seperti kitab Nubdzah karya Kiai Abdul Majid bin Abdul Hamid Itsbat Pamekasan yang membahas nahwu, dan kitab arudl karya Gus Fauzi Kewagean Kediri yang berisi pedoman pembuata syair. Kitab Nubdzah yang disebut pertama di atas, meskipun bentuknya mungkin lebih kecil dan belum sebanding dengan kitab Alfiyah Ibni Malik di Andalusia. Namun demikian, jika kita bandingkan perkembangan sasatra arab klasik di dunia Arab dan Indonesia saat ini, kemunculan Kitab Nubdzah yang ditulis tahun 1960-an ini adalah sangat sepektakuler karena dantangnya jauh lebih belakangan dan berada pada masa di mana perkembangan sastra Arab klasik di Timur Tengah sudah lama mati.
Ada suatu tesis mengatakan, bahwasanya kelebihan belajar agama Islam di Timur Tengah dan lainnya adalah studi medan. Ya, itu memang benar harus kita akui. Namun, adalah sangat baik untuk kita renungkan, bahwa pesantren telah mampu berperan dalam menjaga kekayaan sastra klasik arab, di mana di negeri asalnya telah semakin di tinggalkan. Jika kondisi demikian ini kita pertahankan, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam kurun waktu beberapa dasawarsa ke depan, dunia pesantren di Indonesia bisa menjadi rujukan studi sastra arab klasik. Tentunya jika kita tetap mau menekuninya.
Malang, 8 Sepetember 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar