Oleh:
R. Ahmad Nur Kholis
Jika pada artikel sebelumnya penulis telah mengungkapkan kerinduan dan harapannya mengenai pengembangan ulumul Qu’an (Ushul At-Tafsir) maka dalam tulisan ini penulis akan mengajak untuk melihat nostalgia masa lalu yang dikembangkan pemerintah. Nostalgia itu bernama Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Madrasah ini adalah proyek departemen agama tahun 1980-an, dibawah pimpinan menteri agama masa itu: Munawwir Syadzali.
Kalau boleh dikatakan jika tidak terlalu berlebihan, MAPK sejak didirikannya pada tahun 1980-an (yang pertama di Jember) adalah madrasah pencetak ulama. Hal ini karena intensifitas dan pola-pola pembelajaran mata pelajaran agama di lembaga ini boleh dibilang sangat unggul serta mampu mencetak karakter pada peserta didiknya. Bayangkan saja, bagaimana sekolah formal materi pembelajarannya meliputi Ulumul Qur’an, Ulum Al-Hadits dan Ushul Fiqih, disamping mata pelajaran agama lainnya sebagaimana di Madrasah aliyah sekarang. Penyampaiannya pun memakai bahasa Arab. Oleh karenanya, maka wajarlah jika di masa itu alumni MAPK bisa masuk Perguruan Tinggi Islam Negeri tanpa tes.
Sebagai salah seorang ‘produk’ lembaga itu penulis benar-benar merasakan manfaatnya. Dan sebagai salah seorang alumninya, penulis juga merindukan kelahiran kembali MAPK sebagaimana kejayaannya di masa lalu. Penulis berkeyakinan, masyarakat Islam Indonesia membutuhkan keberadaan MAPK dalam waktu ke depannya. Namun sayang, dalam banyak hal dan aspek, kebijakan pendidikan di Indonesia, baik di Kemenag maupun di Kemdikbud sering terseret pada sentimen politik.
Malang, 5 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar