![]() |
Salah satu bagian awal dari kitab Matius dari Alkitab berbahasa Yunani (Greek) dengan terjemahan interlinear bahasa Inggris. |
Banyak hal yang dapat digunakan untuk melihat pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Misalkan, dalam tulisan santai penulis sebelum ini telah dibahas masalah pesantren sebagai lembaga dakwah dan kaderisasi. Greetz (1960) melihat pesantren sebagai pewaris tradisi belajar skolastik yang rigid, yang dikontraskan dengan Islam modernis yang menjadikan agama dan ritualnya sebagai aspek instrumental. Tentu saja kita tidak harus sepenuhnya percaya terhadap Geertz. Pada tulisan kali ini, saya ingin menilik pembelajaran kitab kuning di pesantren dari metode penerjemahannya kitab kuning.
Kitab kuning merupakan bagian dari eksistensi pesantren. Hal ini sudah dibahas para ahli seperti: Zamakhsyari Dhofier (1980); Bruinessen (1990); (1994); dan Azyumardi Azra (1999). Penerjemahan kitab kuning di pesantren masih menggunakan metode penerjemahan interliner (bayna as-sutuur) zaman filsafat skolastik abad pertengahan. Di mana penerjemahan interliner tersebut dapat dijelaskan sebagai terjemahan per baris. Istilah interlinear sendiri merupakan istilah yang dimunculkan dari dan pasca karya Peter Newmark yang berjudul: Texbook Translation (1988). Metode penerjemahan interlinear ini merupakan tradisi Kristen dalam menerjemahkan bible di masa abad pertengahan.
Meskipun Newmark merumuskan 16 (enam belas) teknik penerjemahan interlinear ini yaitu: (1) teknik terjemahan harfiah; (2) transferensi; (3) Naturalisasi; (4) padanan budaya; (5) padanan fungsional; (6) padanan deskriptif; (7) sinomimi; (8) terjemahan langsung; (9) transposisi; (11) modulasi; (12) label terjemahan; (13) terjemahan lazim; (14) kompensasi; (15) reduksi; dan (16) ekspansi. (Newmark, 1988), tetap saja permasalahannya ada. Di antaranya adalah bahwa setiap bahasa pada tataran permukaan (surface) memiliki struktur yang berbeda sehingga pemahaman terhadap ide yang disampaikan pada teks menjadi sulit dicerna. Permasalahan yang lain terkait dengan kondisi lokal pesantren, di mana bahasa yang digunakan dalam penerjemahan interlinear kitab kuning ini biasanya merupakan bahasa Jawa kuno yang sudah banyak tak dimengerti oleh para santri. Hal ini bukan persoalan mempertahankan tradisi atau bukan, melainkan untuk memenuhi prinsip pembelajaran agar supaya disampaikan dengan kebudayaan (bahasa) yang dikenal oleh pembelajar. Bahasa dalam sejarahnya adalah bagian dari tradisi manusia yang mendasar dan tidak bisa tidak akan berubah dan mengalami pergeseran seiring waktu.
Dengan demikian, para santri di pesantren dalam mempelajari kitab kuning menghadapi dua masalah sekaligus. Permasalah yang lingkupnya luas yang berkaitan dengan perbedaan tata bahasa pada tataran permukaan di satu sisi. Di sisi lain mereka harus memahami bahasa penerjemahan jawa/sunda/madura kuno yang mereka tidak bisa menangkap makna secara seutuhnya.
Di sinilah kiranya kita harus memikirkan kembali eksistensi pesantren ke depan. Memikirkan dan memberikan rumusan tentang apa yang harus dipertahankan dan apa yang harus berubah. (Dalam istilah Kiai Muqshid Ghazali: tsawabit wa al-mutaghayyiraat). Jangan-jangan selama ini kita mati-matian mempertahankan satu aspek dalam tradisi pesantren, ternyata itu bukan hal yang harus dipertahankan (mutaghayyirat). Demikian pula sebaliknya, bisa jadi kita meremehkan aspek tertentu di pesantren, yang ternyata aspek tersebut merupakan bagian yang harus dipertahankan (tsawabit).
Sebenarnya kegelisahan penulis ini kiranya bukan yang pertama karena belasan tahun yang lalu, kira-kira tahun 2008, penulis pernah membaca makalah KH. MA. Sahal Mahfud yang berjudul: “PENDAHULUAN FIQIH SOSIAL: UPAYA PENGEMBANGAN MADZHAB QOULI DAN MANHAJI” yang merupakan pendahuluan dari buku beliau yang berjudul: “NUANSA FIQIH SOSIAL”. Di dalamnya, KH. Sahal Mahfud mengungkapkan kegelisahan yang sama terhadap metode penerjemahan kitab kuning di pesantren meskipun dari sudut pandang yang berbeda. Beliau menulis sebagai berikut:
“Sebenarnya kesulitan memahami kitab kuning yang keseluruhan isinya ditulis dengan bahasa Arab bisa saja dijembatani dengan penerjemahan. Akan tetapi, masih banyak kalangan ummat Islam di Indonesia merasa keberatan dengan solusi praktis tersebut. Selain mahalnya biaya teknis penerjemahan, bahasa Arab adalah bahasa kebudayaan dan keilmuan Islam. Di mana pun, kebudayaan dan keilmuan tidak pernah dapat dialih-bahasakan secara utuh. Maka muncullah metode utawi iki iku yang ternyata sangat efisien dan efektif untuk penguasaan semantik maupun gramatika bahasa Arab.
Penulis mengakui bahwa metode ini pada satu sisi memang telah berhasil dalam mengantarai dan menyelesaikan kesenjangan (gap) bahasa. Sebagaimana kita maklumi, bahasa Arab yang digunakan dalam kitab kuning kebanyakan tidak menggunakan tanda baca seperti titik, koma, tanda tanya, dan tanda baca lainnya. Subjek dan predikat sering dipisahkan dengan jumlah mu’taridah yang cukup panjang dengan tanda-tanda tertentu. Keadaan ini sudah tentu memerlukan kecermataan dan keterampilan khusus agar pembaca mampu memahami makna yang terkandung di dalamnya.
Akan tetapi pada sisi lain metode utawi iki iku cenderung memancing para santri (pelajar) untuk memfokuskan diri pada aspek redaksional yang berujung pada terbentuknya pola pikir tekstual dalam memahami kitab kuning. Para santri yang belajar dengan metode ini cenderung menarik problem nyata di sekitarnya untuk disikapi sesuai dengan teks kitab kuning. Padahal, kesenjangan waktu antara penulisan kitab kuning dengan saat ini, sulit untuk bisa diharapkan bahwa setiap kasus dapat ditemukan rumusan persisnya dalam kitab kuning. Seringnya kegagalan menunjukkan masalah dengan kitab kuning membuat pesantren memiliki tradisi aneh dalam menjawab permasalahan, yaitu dengan memberikan hukum mauquf. Secara jujur harus diakui bahwa tradisi ini mencerminkan ketidakmampuan mengambil keputusan final.” (Mahfud, 1994: xxxvi-xvii)
Demikian sebagaimana saya kutip dari tulisan KH. Sahal Mahfud.
Malang, 4 Agustus 2025; 21:10 WIB
R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar