Minggu, 02 Juni 2024

KEKELIRUAN NOTASI DALAM NASKAH KITAB “AS-SHIRAT AL-MUSTAQIM” KARYA AR-RANIRI



Kutipan naskah kitab As-Shirat Al-Mustaqim halaman 3 s.d 4 karya Nuruddin Ar-Raniri(w. 1658 M) yang tercetak bersama Kitab Sabilul Muhtadin karya Syaikh Arsyad Al-Banjari (1710-1812 M)  

Ada semacam kritik terhadap naskah kitab As-Shirath Al-Mustaqim karya Ar-Raniri, yang diberikan oleh KH Siradjuddin Abbas dalam bukunya Thabaqat As-Syafiiyyah. Kritik tersebut bukan tertuju kepada konsep, konten atau esensi pemahaman yang yang ada dalam kitab Ar-Raniri tersebut. Melainkan lebih tertuju rasa menyayangkan karena naskah kitab tersebut yang sampai kepada zaman beliau—sampai saat ini pula—terdapat semacam kekeliruan penulisan, yang disinyalir karena faktor penyalinan yang kurang cermat.

Salah satu contoh dari kekeliruan tersebut adalah sebagai berikut ini:

(وبعد فلما كانت الهجرة النبوية على صاحبها أفضل الصلاة والسلام أربعا وأربعين بعد الألف) أدافون كمدين در ايت مك تتكال أداله هجرة النبي صلى الله عليه وسلم سريب أمفت تاهن....

Artinya:

(وبعد فلما كانت الهجرة النبوية على صاحبها أفضل الصلاة والسلام أربعا وأربعين بعد الألف

“Adapun kemudian dari itu, maka tatkala adalah hijrah nabi—kepadanya shalawat dan salam yang paling utama—sudah berlangsung selama seribu empat tahun….

(dikutip dari kitab As-Shirat Al-Mustaqim karya Ar-Raniri yang tercetak bersama kitab Sabilul Muhtadin karya Arsyad Al-Banjari, hlm: 3-4)

Frasa “sudah berlangsung selama seribu empat tahun….”, mungkin seharusnya “sudah berlangsung selama seribu empat puluh empat tahun…”. Wallahu a’lam. kalimat dalam bahasa arab menyatakan "arba'an wa arba'iina ba'da al-alf", yang jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia (Melayu) seharusnya adalah: "seribu empat puluh empat".

Ar-Raniri sendiri nama lengkapnya adalah Sheikh Nuruddin Muhammad Jailani ibn Ali Ibn Hasanji Ibn Muhammad Hamid Al-Quraisy asy-Syafi’i al-Aidarusi al-Raniri. Beliau adalah seorang ulama yang lahir di daerah Ranir, dekat Gujarat, India. Beliau merupakan ulama berdarah campuran Arab-Melayu. Karena ayahnya adalah seorang imigran dari Yaman, sedang ibunya adalah orang Melayu yang tinggal di Ranir. Kemudian Ar-Raniri kembali ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Tsani dan diangkat menjadi Mufti Besar di sana. Ia kembali ke India sebelum kewafatannya, dan wafat di tanah kelahirannya.

Sempat muncul dalam benak saya, bahwa kekeliruan ini sangat dimungkinkan oleh karena ia bukan penutur Bahasa Melayu sedari lahir. Akan tetapi, hal ini tertepis karena ternyata terdapat data yang mengatakan bahwa beliau telah belajar Bahasa Melayu dalam beberapa waktu sebelum ia menuju Aceh. Spekulasi lain, ialah menyepakati apa yang dinyatakan oleh Sirajuddin Abbas bahwa ini adalah kekeliruan penyalinan masa setelahnya.

Wallahu a’lam.



Malang, 2 Juni 2024



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

1 komentar: