Rabu, 09 Maret 2022

MASYARAKAT ARAB PRA-ISLAM

 



Gambaran Umum Kondisi Sosial Masyarakat Arab Pra Islam

Di dalam kehidupan masyarakat Islam terdapat strata masyarakat yang disebut sebagai ‘araby. Mereka ini disebut juga sebagai ahl al-madar; yakni penghuni bangunan. Demikian ini karena mereka telah tinggal menetap dan mempunyai rumah. Mereka tinggal di kota yang menjadi pusat peradaban.

Strata lainnya adalah yang disebut sebagai penduduk desa yaitu: a’raby; penduduk badui yang disebut juga sebagai ahl al-wabar yaitu mereka yang tinggal di tenda-tenda. Yang mana sebagaimana namanya maka mereka hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka merupakan orang-orang yang hidup miskin dan bertahan hidup dengan pendang dan panahnya. Mereka mendatangi daerah-daerah dengan tanah terbaik dan subur untuk keperluan mereka dan ternaknya. Mereka hidup dengan memanfaatkan ternaknya itu dengan mengkonsumsi susu unta untuk dimakan dagingnya. Kulitnya diolah menjadi pakaian untuk mereka, atau digunakan sebagai kendaraan tunggangan untuk melintasi padang belantara nan sunyi.

Strata ketiga adalah kelompok masyarakat yang disebut sebagai mawali. Mereka ini orang asing non-arab (a’aajim) yang kemudian bersatu dan membentuk kelompok tersendiri. Mereka juga disebut dalam istilah arab sebagai az-Za’anif (kelompok-kelompok) atau az-Zaniim (orang-orang asing) atau at-Tanawath (orang-orang yang bergantung). Mereka bisa jadi merupakan orang non-arab, atau orang yang berasal dari suku lain dan bersatu dengan suatu suku tertentu. Mereka ini secara ekonomi adalah masyarakat ekonomi menengah dan secara sosial tidak banyak memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. (Gambar 1)

Dalam kehidupan sosial masyarakat Arab pra Islam, unit terkecil masyarakat adalah keluarga. Beberapa keluarga disatukan dalam ikatan clan. Dan bebera clan (bany) berada dalam lingkup sebuah suku (qabilah). Ikatan kesukuan merupakan ikatan yang kuat dalam masyarakat Arab pra Islam. Kesetiaan kepada suku adalah sesuatu yang sangat dijaga. Sehingga mati dalam membela qabilah adalah suatu kematian yang terhormat. Setiap orang yang berkhianat kepada kabilah dianggap sebagai pengkhianat (khali). Dari sini maka muncullah strata keempat yaitu kelompok para para pengkhianat (khula’a atau sha’alik). Mereka adalah orang-orang yang terusir dari kabilahnya karena berkhianat atau tidak setuju dengan pola hidup qabilahnya itu. 

Strata kelima adalah para budak (An-Nakhashah). Mereka ini ada kalanya adalah para tawanan perang atau dibeli dari luar seperti dari habasyah, atau dibeli dari pasar budak. Mereka pada umumnya adalah pekerja yang rajin dan keberadaannya yang demikian itu sering menimbulkan kecemburuan masyarakat arab sendiri baik dari kalangan masyarakat kota (ahl al-madar) maupun penduduk desa (ahl al-wabar).

 


Gambar 1

Strata Sosial Masyarakat Arab

Kesenjangan sosial terlihat di antara kedua strata itu dalam fakta bahwa para penduduk desa (Ahl Al-Wabar) menerima dan berkenan ketika mereka dipanggil sebagai wahai ‘araby! (hai orang arab!). Sedang penduduk kota (ahl al-madar), mereka akan marah sekali ketika ada orang memanggil mereka wahai a’raby! (hai orang desa!). Hal ini karena panggilan ‘araby identik dengan masyarakat kota, sedangkan a’raby adalah identik dengan orang desa dan pedalaman (badui). Namun hal positif dari kaum a’raby yang merupakan mayoritas dari pada strata lainnya adalah kesabarannya untuk hidup seadanya dan keyakinannya bahwa rezeki sudah diatur oleh Tuhan.

Demikian pula para khula’a, mereka pada umumnya menjadi miskin dengan memisahkan diri itu. Dan mereka dikenal dengan kebajikannya ketika ia merampok masyarakat yang kaya namun pelit untuk dibagikan hartanya kepada fakir miskin. Dari sinilah maka mereka disebut juga sebagai para singa padang pasir (dzu’ban).

Para budak (An-Nakhashah) meskipun mereka merupakan kelompok masyarakat yang secara ekonomi adalah fakir miskin, namun mereka mengundang kecemburuan kelompok masyarakat lainnya. Hal ini karena mereka dalam urusan pekerjaan adalah kelompok masyarakat paling rajin. Mereka mengerjakan tugas bertani dan kerajinan dengan baik. Ada kalanya kelompok masyarakat A’raby maupun ‘Araby ingin mengusir mereka karena kecemburuan sosial.


Penguburan Bayi Perempuan hidup-hidup dan Motivasinya

Kisah mengenai kehidupan masyarakat arab pra Islam masyhur dengan tradisi penguburan anak bayi perempuan. Kita melihat dalam kacamata saat ini hal demikian itu sebagai suatu kekejaman. Namun alasan-alasan yang berada di baliknya mungkin akan membuat kita mengerti mengapa fenomena demikian itu bisa terjadi. Setidaknya kita akan dapat berkata bahwa hal demikian itu merupakan kekejaman yang maklum jika terjadi.

Adalah alasan takut akan aib atau cacat menimpa diri perempuan, dan karena kondisi dalam kefakiranlah yang mendorong masyarakat arab berbuat demikian. Ketakutan akan aib atau cacat yang menimpa adalah didorong oleh kenyataan perbudakan. Dan alasan kefakiran adalah mengacu pada pandangan hidup mereka bahwa orang perempuan adalah beban hidup yang harus di nafkahi di satu sisi, dan ia tidak bisa banyak membantu dalam meningkatkan taraf hidup keluarga di sisi lain. Karena para perempuan dalam kehidupan masyarakat arab tidak banyak memiliki kesempatan menempati peran publik dalam kehidupan sosial masyarakat arab ketika itu. Dalam hal perilaku yang mentradisi ini tidaklah hanya berjalan di kalangan penyembah berhala saja, melainkan juga oleh orang beraga nasrani.

Dalam fakta sejarah, kita melihat bahwa pada dasarnya masyarakat arab sendiri tidak selalu menerima akan perilaku penguburan bayi perempuan ini. Dalam kenyataan terdapat beberapa kasus di mana orang arab tidak mengubur bayi perempuannya dengan alasan kasihan dan rasa cinta kepada darah dagingnya yang sangat dalam. Ia lebih memilih menyembunyikan saja anak perempuannya itu dari pengetahuan orang lain. Bahkan suatu gerakan penolakan terhadap budaya ini pernah terjadi dan dipelopori oleh seorang Nasrani yaitu Zaid bin Amr yang melakukan penebusan terhadap bayi perempuan yang hendak dikuburkan orang tuanya dengan dua unta kecil dan satu unta besarbesar. Dikabarkan bahwa ia telah menebus sebanyak 300 bayi sejak ia memulai idenya itu sampai Islam datang.

Zaid bin Amr merupakan kakek dari Farazdaq. Di mana yang disebutkan terakhir ini berbangga diri dengan apa yang diperbuat moyangnya itu dan mengabadikannya dalam sebuah syair di bawah ini:

وجدى الذى منع الوائداتِ (*) وأحيا الوئيد فلم يوأدِ

Dan kakek ku yang mencegah para pengubur bayi perempuan (*)

dan ia menghidupi bayi yang akan dikubur itu sehingga ia tidak dikubur hidup-hidup


Aurat Perempuan adalah cacat atau aib mereka

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, masyarakat arab pada umumnya adalah a’raby atau masyarakat desa pedalaman (badui) yang hidup berkelana dan bergantung pada rumput dan air untuk mereka dan ternaknya. Mereka berpindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk menjamin keberlangsungan hidupnya. Kehidupan mereka diisi dengan berkelana ke tempat-tempat yang jauh mencari lahan yang baik untuk menggembala. Kondisi di padang sahara yang jarang sekali turun hujan memaksa mereka untuk saling merampok dan merampas satu sama lain. ini adalah satu pilihan dari pilihan yang lain yaitu: mati. Keadaan yang demikian kerasnya ini berimplikasi pada kenyataan bahwa saling menghina satu sama lain di antara mereka adalah suatu hal yang biasa. 

Dalam sebuah peperangan atau perampokan, salah satu di antara meraka tidak jarang mendapatkan hadiah seperti: budak, perempuan (baik gadis ataupun sudah bersuami); atau juga anak-anak. Semuanya itu mereka jadikan sebagai rampasan perang (ghanimah). Kesemuanya itu secara disadari atau tidak telah menjadi harta milik mereka. Dalam hal mengenai perempuan, mereka yang dihasilkan dari ghanimah secara otomatis menjadi budak bagi perampas. Ia kemudian menjadi pemuas nafsu laki-laki pemiliknya yang baru itu atau sebagai budak. 

Dalam hal sebagaimana dijelaskan di atas, maka tidak jarang perempuan itu berpindah tangan dari satu orang kepada orang lainnya. Dan setelah beberapa kali berpindah tangan perempuan itu menjadi luka atau cacat yang menyebabkan ia dikembalikan kepada keluarganya semula. Perempuan itu menjadi cacat atau mendapat cela sepanjang tahun selama luka itu masih ada. 

Melihat dari kata bahasa arab yang digunakan untuk “cela’ atau “cacat” ini yang menggunakan kata “al-‘aar”, sepertinya dari sinilah mulainya konsep tentang aurat ini. Hal ini sebagaimana dijelaskan bahwa kerendahan nilai perempuan diukur dengan seberapa banyak perempuan itu memiliki luka (al-‘aar) itu. Bahkan bisa juga perempuan ditelanjangi oleh keluarga pemiliknya untuk melihat sejauh mana ia memiliki luka itu. Hal mana ini sangat membuat seorang perempuan menjadi sangat marah. Demikian pula pada saat ia dipanggil sebagai budak perempuan (amah).

Kondisi demikian ini tidak jarang membuat para perempuan bernasib sebagaimana di atas itu mencari kesempatan lari dari pemiliknya. Hal ini dengan tidak mengindahkan hubungan yang telah lama dijalin dengan tuannya itu. Dan bahkan meskipun ia telah memiliki anak bersamanya. Kita akan segera mengetahui mengapakah dalam banyak persoalan-persoalan mengenai rampasan perang, perbudakan, dan pelecehan seksual ini lebih menimpa perempuan dari pada laki-laki berdasarkan penjelasan berikutnya. Meskipun bukan berarti tidak ada dari para laki-laki yang menjadi budak.


Wanita sebagai pembantu keluarga dan penghibur

Apa yang dijelaskan di atas mulai dari masalah perbudakan sampai penguburan bayi perempuan beserta alasan-alasan yang melatar belakanginya adalah fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat desa yang mana mereka hidup dalam serba kesulitan. Kesehariannya disibukkan dengan menghadapi tantangan alam yang keras sekali bagi mereka dalam menjalani hidup. Dihadapkan kepada kewaspadaan akan perampokan dan peperangan antar suku.

Kenyataan yang berbeda terlihat dari para orang kaya. Mereka mencintai anak-anak perempuan mereka dengan sepenuh hati. Mereka juga sangat menjaga para perempuan dari terbukanya cela atau aib mereka. Juga memenuhi hak dan menanggung biaya hidup dan pendidikan mereka dengan baik.

Para anak perempuan dari kalangan ini mengalami nasib yang sedikit lebih baik. Mereka menjalani kehidupan sehari-harinya dengan berbagai kesibukan di rumah dan mengurusnya. Menjahit baju, karpet dan tenda kemah, menyamak kulit dan menghias tikar. Secara umum pekerjaan mereka adalah meliputi: menyiapkan makanan yang umumnya berupa perahan susu, keju, kurma, tepung, madu, mentega, minyak zaitun dan gajih. Di antara mereka juga ada yang menjalani harinya menggembala unta atau domba. Terdapat juga di antara mereka yang berdagang minyak wangi, madu dan mentega. Bahkan di antara mereka juga ada yang bekerja membuat tombak. Akan tetapi kesemuanya ini dilakukan dalam hal membantu laki-laki, bukan untuk dirinya sendiri.

Beberapa perempuan juga menjalankan pekerjaan bidang perdukunan. Melakukan aktifitas meramal dan pengobatan dengan japa mantra. Juga melaksanakan beberapa jenis sihir seperti membuat jimat (buhul). Al-Qur’an dengan spesifik memerintahkan untuk berlindung dari hal ini dalam firman-Nya:

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ (١)مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ (٢)وَمِنْ شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ (٣)وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ (٤)وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ (٥)

Artinya:

(1) Katakanlah: "Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, (2) dari kejahatan makhluk-Nya, (3) dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita, (4) dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul (5) dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki."


Pekerjaan-pekerjaan sebagaimana di jelaskan di atas tersebut pada kebiasaanya dilaksanakan oleh para budak perempuan. Juga dilakukan oleh anak-anak. Terkadang pula keduanya—yakni budak dan anak-anak—dibantu oleh istri dari tuan atau ayahnya. 

Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa dalam pekerjaan itu para perempuan sifatnya adalah membantu. Ia tidak mendapatkan harta atau upah apa-apa dari apa yang ia kerjakan itu. Peribahasa dalam bahasa arab ketika itu adalah mengungkapkan apa yang sebenarnya dialami para perempuan. Peribahasa itu berbunti: “perempuan merdeka lapar dan ia tidak memakan buburnya.”

Para budak perempuan juga menjalani pekerjaan sebagai penyanyi penghibur. Pekerjaan jenis ini dalam budaya arab pra Islam identic dengan budak perempuan. Masyarakat menyebutnya dengan Qaynah dan Karinah. Kegiatan ini tampaknya dilaksanakan dengan sekumpulan laki-laki duduk melingkar, beberapa orang pada salah satu sisi lingkaran menabuh rebana atau genderang dan di tengahnya seorang permpuan bernyanyi dan berjoget. Dalam kalangan  masyarakat arab saat ini nampaknya budaya ini masih berjalan dan kegiatannya disebut dengan jalsah. Dalam suatu hadits diriwayatkan bahwa nabi bersama Aisyah pernah menghadiri acara semacam ini dan ketika itu nabi menempelkan pipi-Nya pada pipi Aisyah.


Wanita sebagai tanggung jawab yang harus dinafkahi

Wanita dalam kehidupan arab pra-Islam juga merupakan tanggung jawab keluarga yang harus dinafkahi. Dalam kondisi ini maka bagi keluarga miskin pagan, wanita bisa saja menjadi beban bagi keluarga. Di satu sisi karena wanita tidak memiliki hak memiliki dan mencari harta sendiri. Kehidupannya semata harus bergantung kepada laki-laki. Sehingga keberadaan wanita dalam suatu keluarga adalah beban bagi keluarga itu sendiri. Kiranya ini koheren dengan pandangan bahwa wanita adalah lambang kekayaan dan kemuliaan seseorang. 

Bagi orang kaya, maka memiliki banyak istri dan anak perempuan adalah lambang kekayaan, kejayaan dan kemuliaan. Dan hal itu tidaklah merupakan perilaku sosial yang aneh ketika itu. Adapun bagi seorang miskin, memiliki anak perempuan atau lebih dari satu isteri dan anak perempuan tidak lebih dari sebuah musibah. Karena pandangan bahwa, wanita tidak akan meningkatkan ekonomi keluarga, dan sebaliknya ia merupakan beban ekonomi yang begitu besar. Dalam kondisi demikian ini maka, masyarakat arab memandang bahwa membunuh anak perempuan sedari kecil adalah perilaku yang lebih baik daripada membiarkannya hidup sampai dewasa.

Masyarakat arab juga hanya mengenal konsep yatim. Yaitu sebuah keluarga yang ditinggal mati kepala keluarganya (laki-laki). Dalam pandangan masyarakat arab, kehidupan yatim merupakan suatu prahara dalam keluarga yang besar sekali. Masyarakat arab tidak mengenal konsep piatu, karena kewafatan seorang perempuan (istri atau ibu) dalam sebuah keluarga dianggap tidak akan mengubah sesuatu apapun akan nasib keluarga. Hal ini dianggap setara dengan kehilangan suatu harta yang diambil orang atau hilang.


Pernikahan dalam kebudayaan masyarakat Arab

Kata “nikah” digunakan dalam bahasa arab sebelum Islam merujuk kepada makna ‘akad transaksi’. Kata ini juga diterjemahkan sebagai ‘pelukan’ yang dalam bahasa Arab disebut dengan ضَمٌّ. Berarti ‘memeluk’ atau ‘merangkul.’ Kita melihat kenyataan ini bahwa tampaknya dalam kebudayaan masyarakat Arab, pernikahan merupakan atau paling tidak diserupakan seperti praktik jual beli atau perpindahan hak milik. Ketika seorang ayah menikahkan anak perempuaannya, seakan-akan hak milik terhadap perempuan (sebagai harta kekayaan) berpindah kepada suaminya.

Wanita, baik isteri maupun anak perempuan merupakan harta yang merupakan kebanggan bagi masyarakat arab baik di kalangan arab badui (A’rabiy) maupun masyarakat Arab perkotaan (Arabiy). Hal ini didukung dengan fakta sejarah bahwasanya masyarakat Arab pra Islam dapat menikah semaunya dengan jumlah yang tidak dibatasi. Semekin banyak perempuan (istri) dimiliki seseorang, maka semakin berbanggalah dia. Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa sering terjadi dalam masyarakat arab ketika sesorang memiliki tanggungan yang tak terbayarkan kepada rekan bisnisnya kemudian merelakan dirinya menjadi budak bagi pihak yang dihutangi itu atau dengan jalan menyerahkan anak atau istrinya untuk dinikahi dengan syarat dibebaskan dari hutang.

Dalam pernikahan pun di masa Arab pra Islam mahar diberikan (dibayarkan) kepada orang tuanya. Hal ini semakin menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan dalam tradisi Arab adalah layaknya jual beli. 


Mode pakaian wanita

Salah satu di antara kebiasaan wanita dari keluarga berpunya adalah kebiasaan mereka dalam berpakaian. Di waktu-waktu senggang, mereka memakai pakaian yang berlapis emas. Mereka juga terbiasa dalam waktu yang senggang hanya memakai bra, pakaian wanita dan gamis halus tanpa penutup. Demikian ini adalah umum di kalangan perempuan yang senggang waktunya. Sampai-sampai dikatakan dalam peribahasa bahwa: “setiap orang yang memakai bra adalah perempuan yang luang waktunya.” 

Mode pakaian yang mereka gunakan adalah pakaian di bawah pinggang mereka yang menutupi bagian belakang punggung mereka. Hal ini mirip dengan mode pakaian eropa saat ini. Mode pakaian ini dinamakan dengan al-‘udzamah, hasyyah dan rifa’ah. Al-‘udzamah adalah pakaian semacam handuk yang mana orang yang memakainya akan dikesankan sebagai orang mulia (terpandang). Yang mana jika dilihat dari keterangan ini, mode pakaian al-‘udzamah ini mirip dengan model pakaian orang beradab masa kini. Dan dari sinilah pada dasarnya dimulainya tradisi memanjangkan pakaian sampai ke tanah dan membeberkannya, yang mana hal ini adalah tanda kesombongan.

Salah satu yang menjadi penanda bagi mereka dalam masalah berhias adalah pelampiasan hasratnya untuk berhias. Mereka tidak puas hanya dengan memakai satu perhiasan dalam tempat tertentu saja. Mereka bisa memakai perhiasan dalam setiap bagian tubuh mereka. Memakai banyak cincin di pada jari-jari kedua tangan. Memakai gelang pada lengan atas, kain pelapis pada lengan bawah. 


R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd.

Dosen Filsafat Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahdlatul Ulama Malang



Referensi

1. Hegemoni Quraisy, Karya: Khalil Abdul Karim

2. Al-Mar'ah fi Al-Jahiliyyah. Karya: Habib Zayit

3. Dan lain-lain 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar