Rabu, 05 Mei 2021

ZAKAT FITHRAH DENGAN UANG, TAKARAN ZAKAT, PERPINDAHAN MADZHAB, & PENERJEMAHAN ISTILAH ‘FII SABILILLAH’



بسم الله الرحمن الرحيم

ربنا أتنا من لدنك رحمة وهيء لنا من أمرنا رشدا. رب تمم بالخير

A. PENDAHULUAN

Berkaitan dengan beberapa tanggapan dan pertanyaan dari warga Nahdlatul Ulama Kecamatan Ngajum Kabupaten Malang mengenai edaran Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), maka, berdasarkan instruksi pengurus sedianya tulisan ini hendak memberikan jawaban dan penjelasan. Berdasarkan kesimpulan penulis, respon dan pertanyaan tersebut terdiri dari 4 (empat) poin yaitu: (1) hukum zakat fithrah mengggunakan uang; dan (2) Masalah takaran zakat fithrah; (3) Berpindah Madzhab; dan (4) Masalah fi sabilillah (pejuang di jalang Allah) sebagai penerima zakat. 


B. PEMBAHASAN

Berikut kami mencoba memberikan pembahasan mengenai keempat masalah tersebut:

1. Hukum Zakat Fithrah Menggunakan Uang

Pertama-tama, harus dijelaskan di sini bahwa yang dimaksud dengan pembayaran zakat fithrah dengan menggunakan uang adalah memberikan zakat dalam bentuk uang (dana) yang dilakukan oleh pihak yang mengeluarkan zakat (muzakki) kepada orang yang berhak menerima zakat (mustahiq). Dengan demikian maka praktik yang dilakukan sebagian masyarakat yang berupa menyerahkan sejumlah uang kepada kordinator/panitia zakat/amil untuk kemudian dibelikan beras adalah tidak termasuk dalam pembahasan ini.

Berkaitan dengan hal ini, di antara para ulama madzhab yang 4 (empat) (madzahib al-arba’ah) ada pendapat yang menyatakan bahwa pembayaran zakat fithrah dalam bentuk dana adalah tidak boleh adanya. Terdapat pula yang menyatakan bahwa pembayaran zakat fithrah dalam bentuk uang adalah boleh adanya. uraian mengenai pendapat para imam madzhab 4 (empat) mengenai hal ini:

a. Pendapat Ulama Hanafiyyah

Madzhab Hanafi memperbolehkan pembayaran zakat fithrah menggunakan uang. Bahkan dalam madzhab ini, dalam kondisi tertentu pembayaran dengan uang adalah lebih utama adanya. Hal ini dikarenakan, bagi madzhab Hanafi, zakat fithrah berupa uang lebih menjamin kesejahteraan orang faqir. Di dalam madzhab Hanafi, pembayaran zakat fithrah dengan makanan pokok dibahas beserta ketentuan-ketentuannya. Demikian pula ketentuan mengenai pembayaran zakat fithrah dengan uang dibahas pula. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Al-Faqih Abdurrahman bin Muhammad bin Sulaiman Al-Kalyabuli dalam kitab Majma’ Anhur fi Syarh Multaqa Al-Abhur Juz 2 halaman 339-340 berikut ini:

(وَدَفْعُ البُرِّ فِي مَكَانٍ تُشْتَرَيْ بِهِ الأَشْيَاءُ فِيْهِ أَفْضَلُ) لأنه أبعد عن الخلاف إذ في الدقيق، والقيمة خلاف الشافعى (وعند أبي يوسف الدراهم أفضل) من الدقيق لأنه أدفع لحاجة الفقير، وأعجل بها، والدقيق أفضل من البر. قال محمد بن سلمة: إن كان في زمن الشدة فالأداء من الحنطة أو دقيقه أفضل، وفي زمن السعة الدراهم أفضل. (الكليبولى، (3):339-340)

Artinya:

(membayar [zakat fithrah] dengan hal yang setara [dengan makanan pokok], yang dapat dibeli dengannya sesuatu, adalah lebih utama adanya) karena ia lebih menghindarkan dari perbedaan [takaran] ketika ia dibayar dengan [misalnya] tepung, dan pembayaran degan uang seharga [makanan pokok] adalah berbeda dengan pendapat Imam Syafi’i (dan menurut Abu Yusuf, dirham adalah lebih utama adanya) dari tepung, karena ia lebih bisa memenuhi kebutuhan para faqir, dan lebih menyegerakan pemenuhan kebutuhannya. Tepung adalah lebih utama dari biji gandum. Muhammad bin Salamab berkata: “jika dalam keadaan sulit [krisis ekonomi] maka membayar dengan gandum atau tepungnya dalah lebih utama, dan di masa normal, maka dirham adalah lebih utama. (Al-Kalyabuli, (3):338-340)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berkenaan dengan zakat fithrah berupa uang, di dalam madzhab Hanafi terdapat beberapa ketentuan dalam kebolehannya, yaitu: (1) membayar zakat fithrah dengan uang adalah lebih utama; (2) terdapat ulama yang menyatakan bahwa zakat fithrah dalam bentuk uang lebih utama jika dalam keadaan normal, adapun dalam masa krisis, maka pembayaran dalam bentuk makanan pokok adalah lebih utama. Keutamaan uang dalam madzhab Hanafi ini adalah karena alasan, bahwa uang lebih memberikan keterpenuhan kebutuhan orang faqir miskin.


b. Pendapat Ulama Malikiyyah

Di dalam kalangan ulama malikiyyah terdapat perbedaan pendapat mengenai pembayaran zakat dengan menggunakan uang. Pendapat yang masyhur dari Imam Malik menyatakan bahwa pembayaran zakat fithrah dengan menggunakan uang adalah tidak sah adanya. Riwayat yang lain menyatakan bahwa Imam Malik memperbolehkan zakat dengan uang. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Al-Islam Abi Umar Yusuf bin Abullah bin Muhammad bin Abdil Barr An-Nimawi Al-Qurthubi di dalam kitabnya Al-Kafi fi Fiqhi Ahli Al-Madinah Al-Maliki halaman 112 berikut ini:

وَلَا يُجْزِأُ فِيْهَا وَلَا فيْ غَيْرِهَا مِنَ الزَّكَاةِ الْقِيْمَةُ عِنْدَ أَهْلِ الْمَدِيْنَةِ وَهُوَ الصَّحِيْحُ عَنْ مَالِكٍ، وَأَكْثَرِ الصَّحَابَةِ. وَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ وَعَنْ طَائِفَةٍ مِنْ أَصْحَابِهِ أَنَّهُ تَجْزِئُ الْقِيْمَةُ عَمَّنْ أَخْرَجَهَا فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ قِيَاسا عَلَى جواز فِعْلِ فِعْلِ السَّاعِي إذا أخذ عن السن غيرها أو بدل العين منها.... (القرطوبى:112)

Artinya:

Dan tidaklah mencukupi di dalam masalah zakat (dengan biji-bijian), dan juga tidak mencukupi untuk yang lainnya (gandum, dan roti), pembayaran dalam bentuk uang yang seharga. Ini adalah pendapat yang sahih dari Imam Malik, dan kebanyakan para pengikutnya. Dan ada diriwayatkan darinya (Imam Malik) dan dari sekelompok pengikutnya bahwasanya pembayaran dengan harga adalah mencukupi, bagi yang mengeluarkannya dalam rangka zakat fithrah, berdasarkan qiyas (analogi) terhadap bolehnya seorang petugas (penarik zakat), ketika mengambil selain bagian yang disiapkan untuknya (sebagai imbalan), digantikan dengan bentuk yang lain.... (Al-Qurthubi:112)


c. Pendapat Ulama Syafi’iyyah

Sejauh peninjauan terhadap literatur, kata ‘zakat’ didefinisikan secara istilah syar’i sebagai:

إِسْمٌ لِقَدْرٍ مِنَ الْمَالِ مَخْصُوْصٌ يُصْرَفُ لِأَصْنَافٍ مَخْصُوْصَةٍ بِشَرَائِطَ

Artinya:

Suatu istilah bagi sejumlah harta tertentu yang didistribusikan kepada kelompok masyarakat tertentu dengan syarat-syarat tertentu (pula). (Ad-Dimasyqi, (1):251)

Sedangkan penggunaan istilah ‘fithrah’ yang disandingkan dengan kata zakat di atas adalah karena beberapa alasan, yakni: (1) zakat fithrah adalah kewajiban seorang muslim yang berkaitan dengan idul fithri; (2) karena zakat fithrah berkaitan dengan zakat yang wajib dikeluarkan atas jiwa ummat Islam. Terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa istilah zakat fithrah tersebut adalah murni peristilahan operasional yang digunakan oleh para fuqaha’, dan bukan merupakan suatu peristilahan bahasa. (Ad-Dimasyqi, (1):273); (Al-Qardhawi, (2):915).

Berdasarkan peristilahan di atas, maka kita menyimpulkan bahwa zakat fithrah adalah zakat yang berkaitan dengan jiwa dan kebutuhan pangan ummat Islam secara langsung. Dengan demikian maka sebagaimana dalam madzhab syafi’i, zakat fithrah harus berupa bahan (pangan) pokok, dan bukan dalam bentuk yang lain. Oleh karena itu maka: pembayaran zakat fithrah dengan menggunakan uang adalah tidak sah adanya berdasarkan tinjauan falsafah hukumnya. Yakni bahwa pada dasarnya zakat fithrah berikaitan dengan kebutuhan pangan masyarakat, dan bukan yang lain.

Demikianlah maka dalam madzhab Syafi’i kemudian dikatakan bahwa syarat sah zakat adalah, zakat yang dikeluarkan harus berupa biji-bijian mentah, dan tidak boleh berupa uang. Demikian pula tidak boleh bahan makanan yang sudah diolah seperti tepung dan sebagainya. Hal demikian seperti dijelaskan oleh Al-Imam Taqyuddin Abu Bakar Al-Husaini Al-Hishni Ad-Dimasyqi dalam kitabnya Kifayah Al-Akhyar fi Hall Ghayat Al-Ikhtishar (vol. 1) halaman 276 sebagai berikut:

وَشَرْطُ الْمُخْرَجِ أَنْ يَكُوْنَ حَبًّا فَلَا تَجْزِئُ الْقِيْمَةُ بِلَا خِلَافٍ، وَكَذَا لَا يُجْزِئُ الدَّقِيْقُ وَلَا السَّوِيْقُ وَلَا الْخُبْزُ لِأَنَّ الْحَبَّ يَصْلُحُ لِمَا لَا يَصْلُحُ لَهُ هَذِهِ الثَّلَاثَةُ. (الدمشقى، (1): 276)

Artinya:

Syarat dari [zakat fithrah] yang dikeluarkan adalah, ia harus berupa biji-bijian. Maka tidak mencukupi, [jika dikeluarkan] berupa uang, tanpa ada perbedaan pendapat. Dan demikian pula tidak mencukupi [zakat] tepung, dan tidak pula bubur, dan tidak pula roti. Karena biji-bijian memiliki sifat yang memenuhi zakat, dimana sifat itu tidak dimikiki oleh ketiganya. (Ad-Dimasyqi, (1):276)

Dalam hal ini kiranya dapat dijelaskan pula bahwa hari raya idul fithri, dan juga idul adlha merupaka dua hari raya ummat Islam yang mana di dalam kedua hari tersebut, nabi melarang ummat Islam berpuasa. 

نَهَىْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلم عن صيام يومين، يوم الفطر ويوم الأضحى. (رواه البخارى)

Artinya:

Rasulullah melarang untuk berpuasa di dalam dua hari, yakni hari raya idul fithri, dan hari raya idul adlha

Nabi juga menjelaskan bahwa pada hari tersebut merupakan hari ‘makan-minum’ dan hari memperbanyak dzikir.

إنها أياما أكل وشرب وذكر الله تعالى. (رواه مسلم)

Artinya:

Bahwasana ia adalah hari makan-makan, minum dan berdzikir kepada Allah. (HR. Muslim)

Dengan demikian, menjadi jelas bahwasanya zakat fithrah adalah berkaitan dengan bahan pangan kaum muslim. Pembagiannya yang dilaksanakan pada malam hari raya juga menyatakan bahwa: ‘zakat fithrah dalam bentuk bahan makanan pokok adalah untuk memastikan bahwa ada bahan makanan yang dapat dimakan pada hari raya.’

Dalam kaitannya dengan hadits yang dikutip dari keputusan Llembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dari Ibnu Umar riwayat Ad-Daaruquthni yang menyatakan:

أغنواهم فى هذا اليوم. (رواه الدارقطنى)

Artinya:

Cukupilah mereka hari ini. (HR. Ad-Daaruquthni)

Dan juga hadits riwayat Al-Baihaqi yang menyatakan:

أغنىوهم عن طواف هذا اليوم. (رواه البيهقى)

Artinya:

Cukupilah mereka, (agar tak perlu) berkeliling (meminta-minta) pada hari ini. (HR. Al-Baihaqi)


Jika kita menggunakan metode komparasi terhadap hadits ini, dan menggunakan pendekatan persetujuan dengan hadits zakat fithrah yang lain yang juga dikutip hasil bahsul masail PBNU itu, maka penjelasannya adalah: “cukupilah kebutuhan makanan mereka pada hari itu agar tak perlu meminta-minta.”


d. Pendapat Ulama Hanabilah

Sama sebagaimana di dalam madzhab Syafi’i, di dalam madzhab Hanbali juga tidak diperbolehkan membayar zakat fithrah dengan uang. Hal demikian karena alasan menyalahi kesunnahan (khilafan lissunnah) apa yang dilakukan nabi dengannya. Hal demikian ini sebagaimana dikatakan Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni (vol. )3):87 sebagai berikut:

ومن أعطى القيمة لم تجزئه. (إبن قدامة، (3):87)

Artinya:

Dan barang siapa yang memberikan [zakat fithrah] dengan uang, maka ia tidak mencukupi.

Demikian pula dengan apa yang dijelaskan oleh Az-Zarkasyi dalam syarah-nya terhadap kitab Mukhtashar Al-Khiraqi sebagai berikut:

قال: (ومن أَعطى القيمة لم تجزئه). ش: نص على هذا أحمد رحمه الله، معتمد على قول ابن عمر: فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم الحديث، ومن دفع القيمة لم يعط ما فرضه رسول الله. (1264)-وعن معاذ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال له حين بعثه إلى اليمن: "خذ الحب من الحب، والشاة من الغنم، والبعير من الإبل، والبقر من البقر". رواه أبو داود، وظاهره وجوب ذلك،  والله أعلم. (الزركاشى، (1):404)

Artinya:

[Al-Khiraqi] berkata: (barang siapa yang memberikan uang [dalam zakat fithrah] maka ia tidaklah mencukupinya). Atas naskah ini, Imam Ahmad berpegang pada perkataan Ibnu Umar: “Rasulullah SAW menfardhukan.... [sampai akhir hadits], dan barang siapa yang membayar berupa uang, maka itu tidak memenuhi apa yang telah diwajibkan Rasulullah. Dan riwayat dari Mu’adz bahwasanya Rasulullah SAW berkata ketika ia diutus ke Yaman: “Ambillah biji, dari biji, dan seekor domba dari kambing, dan seekor unta muda dari unta, dan seekor sapi dari sapi. Hadits riwayat Abu Dawud. Dzahir hadits adalah menunjukkan kewajiban harus dilakukan demikian. Wallahu a’lam. (Az-Zarkasy, (1):404)

Berdasarkan penjelasan di atas maka secara ringkas berbagai pendapat madzhab tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini:


2. Masalah takaran zakat fithrah

Zakat fithrah dikeluarkan dengan beberapa syarat yaitu: (1) Islam; (2) mengalami hidup pada saat tenggelamnya matahari di akhir hari bulan ramadhan; (3) Adanya kelebihan makanan pokok pada hari tersebut; (4) Dikeluarkan seseorang untuk dirinya dan untuk setiap jiwa yang berada dalam tanggungannya. (Ad-Dimasyqi). Zakat fithrah yang dikeluarkan adalah sebesar 1 (satu) sha’ untuk setiap jiwa. Berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Syaikh Umar bin Muhammadn Thaha As-Shafi As-Segaf dalam kitabnya Mukhtashar Tasydid Al-Bunyan dijelaskan bahwa: 1 sha’ adalah setara dengan 6 rithl Baghdad dan Iraq (secara umum). Hal ini setara dengan sekitar 2.500 (dua ribu lima ratus) gram, atau 2,5 Kg (As-Segaf: 197)


3. Berpindah madzhab

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam edaran hasil LBM PBNU, bahwa para ulama berbeda pendapat di dalam masalah berpindah madzhab. Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa berpindah madzhab adalah dilarang. Di antara mereka pula mengatakan yang diperbolehkan. Terdapat pula yang mengatakan bahwa berpindah madzhab adalah boleh dengan syarat.

Terlepas dari semua perbedaan tersebut, kita harus menyadari bahwa Nahdlatul Ulama sebagaimana tertuang dalam AD-ART merupakan organisasi yang mengakomodasi 4 (empat) madzhab, yaitu: Imam Abu Hanifah An-Nu’man; Imam Malik bin Anas; Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i; dan Imam Ahmad bin Hanbal. Kita juga telah mengetahui bahwa mayoritas ummat Islam adalah bermadzhab syafi’i.

Beberapa kalangan berpendapat bahwa dengan mengakomodasi keempat madzhab, merupakan suatu kekuatan bagi NU. (Fattah, 2006). Beberapa kalangan lain juga mengkritik akan kurangnya kajian terhadap madzhab lain di kalangan pesantren. Demikian pula kajian fiqih perbandingan seperti Bidayah Al-Mujtahid hampir tak pernah dilakukan kajian terhadapnya di pesantren. (Muhtadi, 2004)

Berkaitan dengan itu, maka tidak salah kiranya jika LBM PBNU mencoba mengambil madzhab lain (yang dalam hal ini adalah madzhab hanafi) dalam suatu masalah fiqih. Hal demikian ini kiranya merupakan jalan yang bijaksana karena keputusan LBM PBNU mengikat seluruh anggotanya dalam skala nasional. Di sisi lain kondisi sosial di masing-masing daerah tidak sama. Demikian pula kondisi antara masyarakat pedesaan dan perkotaan adalah berbeda pula.

Akan tetapi, mengingat bahwa kondisi sosial di masyarakat Ngajum Kab. Malang masih dimungkinkan dilaksanakan madzhab syafi’i dalam masalah zakat fithrah, maka kiranya menggunakan madzhab tersebut adalah yang seharusnya dilakukan. Demikian ini karena kita menyadari bahwa masyarakat di daerah Ngajum, dan para tokoh ulamanya adalah bermadzhab Syafi’i. 

Di samping itu, masyarakat awam kita pada umumnya adalah masyarakat yang tidak memperdulikan pendapat madzhab. Mereka lebih mengutamakan pada ‘pencarian solusi’ bagai permasalahan kehidupan yang mereka hadapi secara praktis. Dengan demikian maka dalam persoalan agama menjadi tergantung kepada para ulama, kiai dan pemuka agama yang mereka ikuti. Sejauh para pemuka agama mengerti dan meninjau perbedaan madzhab, maka yang manapun diberikan kepada masyarakat awam akan diterima. Dalam hal ini kiranya harus mempertimbangkan prinsip ‘kemudahan’ bagi mereka sebagaimana disabdakan dalam hadits: 

(إن الله لم يبعثني معنِّتاً ولا متعنتاً، ولكن بعثني معلماً مُيسراً) رواه مسلم

Artinya:

Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang suka mengutuk, dan tidak pula sebagai orang yang keras kepala, melainka Ia mengutusku sebagai pendidik dan pemberi kemudahan. (HR. Muslim)


4. Penerjemahan fi sabilillah

Mengutip penjelasan Ibnu Atsir mengenai tafsir istilah ‘fii sabilillah’ dalam QS. At-Taubah, (9):60), Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya ‘Fiqh Az-Zakat’ menyimpulkan makna ‘fii sabilillah’ ke dalam dua makna: (1) Makna asli secara bahasa, yaitu: semua amal kebaikan yang dikerjakan karena Allah; (2) makna secara istilah yang digunakan secara umum oleh masyarakat arab, yaitu: orang yang berperag. Berdasarkan perbedaan pemaknaan inilah maka para fuqaha’ berbeda pula dalam penggolongan kelompok masyarakat penerima zakat. (Al-Qardhawi, (2):635-636)

Berikut penjelasan para ulama madzhab mengenai pemaknaan ‘fii sabilillah’ dalam QS. At-Taubah, (9):60):

1) Kalangan Hanafiyah

a. Imam Abu Yusuf menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah: orang yang berkehendah berperang di jalan Allah namun terhalang keinginannya tersebut tak bisa diwujudkan karena keterbatasan harta (modal). Dalam hal ini, maka mereka berhak menerima zakat meskipun mereka bekerja. (Al-Qardhawi, (2):636). Dengan demikian maka tentu saja hal ini dapat dilakukan di dalam suatu negera yang berada dalam kondisi perang, atau dalam suatu negara wajib militer.

b. Imam Muhammad dalam kitab Al-Mabsuth mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah seseorang yang kehabisan bekal dalam perjalanan naik haji (munqathi’ al-hujjaj). Imam Muhammad juga mengistilahkan mereka sebagai orang-orang faqir yang sedang melaksanakan haji (fuqara’ al-hajj). Hal ini karena ada riwayat berikut:

أن رجلا جعل بعير له في سبيل الله فأمره رسولُ الله صلى الله عليه وسلم أن يحمل عليه الحاج. 

Artinya:

Bahwasanya seorang lelaki menjadikan unta yang dimilikinya untuk tujuan jihad di jalan Allah. Maka Rasulullah memerintahkan untuk membawanya berangkat haji. 

c. Terdapat pula para ulama kalangan hanafiyyah yang menjelaskan bahwa maksud dengan istilah ‘fii sabilillah’ adalah para pencari ilmu (thalib al-ilmi). Pendapat ini sama dengan fatwa-fatwa kalangan dzahiriyyah, dan sebagian ulama hanafiyyah menghindari penafsiran ini. (Al-Qardhawi, (2):636-637)

d. Al-Kasani dalam kitab Al-Bada-i’ mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah: segala bentuk ibadah dan ketaatan kepada Allah. (Al-Qardhawi, (2):637)

Dalam hal perbedaan di atas, Al-Qardhawi memberikan suatu catatan bahwasanya, meskipun berbeda dalam penafsiran tentang ‘fii sabilillah’, namun mereka sepakat bahwa ada persyaratan yang melekat pada diri seseorang yang harus dipenuhi untuk menerima zakat, yaitu: kondisi kefakiran. Hal demikian ini mengecualikan seorang amil. (Al-Qardhawi, (2):637)

2) Kalangan Malikiyyah

a. Al-Qadli Ibn Al-Arabi berpendapat bahwa ‘fii sabilillah’ itu banyak pengertiannya, dan perang perang merupakan bagian di dalamnya. (Al-Qardlawi, (2):638)

b. Muhammad bin Abdul Hakim berpendapat bahwa, yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah pembelanjaan peralatan perang. (Al-Qardlawi, (2):638)

c. Ad-Dardiri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah para tentara, mata-mata, dan pembelanjaan alat perang. (Al-Qardlawi, (2):638)

Al-Qardlwai memberikan kesimpulan bahwa dalam kesimpulannya keputusan kalangan malikiyah dalam hal ‘fii sabilillah’ adalah: (1) ‘fii sabilillah’ berkaitan dengan jihad; (2) Boleh memberikan zakat kepada para tentara perang meskipun ia kaya; dan (3) Jumhur Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa istilah ‘fii sabilillah’ menunjukkan kebolehan membelanjakan zakat untuk peralatan perang. (Al-Qardlawi, (2):638)

3) Kalangan Syafi’iyyah

a. An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ’fii sabilillah’ a dalah para tentara yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah (sukarelawan).

b. Ad-Dimasyqi dalam kitab Kifayah Al-Akhyar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah para tentara yang tidak mendapatkan harata fai’. (Ad-Dimasyqi, (1):281)

c. Imam Syafi’i di dalam Al-Umm menjelaskan bahwa orang yang berperang diberikan upah dari zakat meskipun ia kaya. (As-Syafi’i, (3):158)

Dalam hal ini Al-Qardlawi memberikan catatan bahwa di antara madzhab syafi’i terdapat kesamaan bahwasanya yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ tentara perang baik faqir maupun kaya. Akan tetapi imam Syafi’i mempersyaratkan bahwasanya tentara perang tersebut adalah dalam kategori: (1) tentara yang tidak diberi gaji tetap oleh pemerintah; dan; (2) Para tentara perang sebagai yang dimaksud boleh diberikan zakat melebihi jatah yang diberikan kepada dua orang faqir atau miskin. (Al-Qardlawi, (2):640)

4) Kalangan Hanabilah

Dalam kaitannya dengan ‘fii sabilillah’ kalangan hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah para sukarelawan perang yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Hal ini berlaku baik bagi mereka yang faqir maupun yang kaya. (Al-Qardlawi, (2): 641-642)

Di balik itu semua, dijelaskan bahwa, setidaknya kalangan madzhab 4 (madzahib Al-Arba’ah) sepakat mengenai makna ‘fii sabilillah’ dalam beberapa hal seperti: 

1) Jihad masuk di dalam makna ‘fii sabilillah’.

2) Bahwa penyaluran zakat kepada ‘fii sabilillah’ adalah personal tentara (prajurit), dan bukan disalurkan untuk kepentingan militer secara umum.

3) Tidak diperkenankannya menyalurkan zakat kepada para pelaku kegiatan sosial dan kemaslahatan umum. (Al-Qardhawi, (2):643-644)


C. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Mengenai pembayaran zakat fithrah dengan uang, terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama. Para ulama Hanafiyah memberikan ketentuan bahwa: (1) membayar zakat dengan uang adalah boleh dan lebih utama; (2) dalam kondisi krisis, lebih utama dibayar dengan makanan pokok; (3) dalam kondisi normal, lebih utama dibayar dengan uang. Pendapat yang masyhur dari madzhab Maliki adalah pendapat yang menyatakan bahwa: pembayaran zakat fithrah dengan uang adalah tidak boleh. Beberapa riwayat mengatakan bahwa Imam Malik memperbolehkan zakat fithrah dengan uang. Pendapat madzhab syafi’i menyatakan bahwa pembayaran zakat fithrah dengan uang adalah tidak boleh. Hal ini sama dengan apa yang menjadi pendapat dalam madzhab hanbali.

2. Takaran 1 sha’ dalam zakat fithrah adalah setara dengan 2,5 Kg.

3. Berdasarkan pertimbangan bahwa Nahdlatul Ulama dalam AD-ART nya mengakomodir 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) maka adalah sah jika mengambil salah satu pendapat dari keempat madzhab tersebut.

4. Pemaknaan ‘fii sabilillah’ dalam kalangan ulama 4 (empat) madzhab adalah adalah beragam. Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah: (1) Orang yang terhalang perang karena tidak memiliki dana; (2) Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan haji; (3) Para pencari ilmu; (4) Segala bentuk ketaatan kepada Allah (kegiatan sosial-keagamaan). Meskipun demikian tetap diprioritaskan faqir dan miskin pada mereka semua. Kalangan malikiyyah berpendapat bahwa makna ‘fii sabilillah’ menunjukkan kebolehan penyaluran zakat untuk: (1) Mencakup banyak hal, dan perang adalah di dalamnya; (2) Pembelanjaan alat perang; (3) Gaji para tentara dan pembelanjaan peralatan perang. Ulama syafi’iyyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘fii sabilillah’ adalah: Para sukarelawan tentara baik kaya maupun miskin. Demikian pula madzhab hanbali yang menyatakan hal yang sama dengan madzhab Syafi’i.


D. KEPUTUSAN & REKOMENDASI FORUM

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan sebagaimana dijelaskan di atas, maka forum musyawarah Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) memberikan rekomendasi sebagai berikut ini:

1. Menghimbau kepada warga Nahdlatul Ulama Kecamatan Ngajum yang memenuhi syarat untuk menunaikan zakat fithrah, untuk menunaikannya berupa bahan makanan pokok mentah (beras). Dalam kondisi tertentu yang memang darurat maka boleh hukumnya menunaikan zakat fithrah dengan uang, yang dibayarkan seharga takaran beras yang dizakatkan.

2. Menghimbau kepada warga Nahdlatul Ulama Kecamatan Ngajum untuk menggunakan takaran zakat sebesar 2,5 Kg.

3. Forum musyawarah Lembaga Bahsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kecamatan Ngajum memutuskan pemaknaan ‘fii sabillillah’ sebgaimana tertuan dalam QS At-Taubah, (9):60 adalah termasuk di dalamnya hal-hal yang bersifat menjaga keberlangsungan agama Allah seperti: guru ngaji di TPQ dan masjid atau mushollah, para pengurus takmir masjid dan mushallah. Dengan demikian, mereka yang disebutkan ini adalah berhak menerima zakat. 

Demikian, Wallahu a’lam

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (الكهف، (18):٢٨)


*) Disampaikan dalam musyawarah LBMNU Kecamatan Ngajum Kab. Malang


Malang, 19 Ramadhan 1442 H / 30 April 2021

Ketua LBMNU Kecamatan Ngajum



R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd


Tidak ada komentar:

Posting Komentar