Di dalam sebagian kebiasaan masyarakat, kita menemui bahwa penyembelihan hewan qurban dijalankan dengan sistem berbayar. Yakni bahwa hewan disembelih oleh seorang yang memang pekerjaannya adalah menyembelih hewan. Yang di sebagian masyarakat jawa disebut sebagai tukang jagal. Demikian pula para pekerja yang menguliti hewan qurban yang telah disembelih.
Kenyataan di masyarakat juga terkadang memberikan upah para petugas penyembelihan itu dengan kulit hewan qurban tersebut. tegasnya, kulit hewan qurban atau bagian yang lain seperti kepala hewan qurban sebagai imbalan bagi penyembelih.
Sebelumnya perlu dijelaskan bahwa para ulama madzhab empat berpendapat bahwa haram hukumnya memperjualkan kulit hewan qurban tersebut. Ketiga imam madzhab yaitu Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal setali tiga uang menyatakan bahwa memperjualkan kulit (dan dengan demikian juga setiap bagian) hewan qurban adalah haram secara mutlak. Meskipun uang hasil penjualannya diberikan bersama daging hewan kepada yang berhak menerima. Dan hanya Imam Abu Hanifah An-Nu’man saja yang mengatakan bahwa: kulit hewan qurban tersebut tidak boleh dijual dan hanya boleh dibarter dengan makanan pokok lainnya dan diberikan bersama daging kurban. Walhasil, Imam Abu Hanifah juga mengatakan kulit hewan qurban tidak boleh ‘diuangkan.’
Hal ini sebagaimana dijelaskan Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid (2):451 sebagai berikut:
واختلفوا فى جلدها واشعرها وما عدا ذلك مما ينتفع به منها، فقال الجمهور: لا يجوز بيعه، وقال أبو حنيفة: يجوز بيعه بغير الدراهم والدنانير: أي بالعروض. وقال عطاء: يجوز بكل شيء دراهم ودنانير وغير ذلك، وإنما فرق أبو حنيفة بين الدراهم وغيرها، لأنه رأى أن المعاوضة بالعروض هي باب الإنتفاع لإجماعهم علا أنه يجوز أن ينتفع به، وهذا القدر كاف فى قواعد هذ الكتاب...
Artinya:
Para ulama berbeda pendapat mengenai kulit hewan qurban dan semacamnya dari bagian hewan qurban yang dapat dimanfaatkan. Jumhur (mainstream) ulama mengatakan bahwa kulit tersebut tidak boleh diperjual belikan. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa boleh dijual namun tidak dirupakan uang, yakni dengan cara barter. Atha’ (yakni Atha’ bin Abi Rabbah, seorang ahli fiqih dari kalangan tabi’in) berpendapat bahwa boleh diperjual belikan dengan segala apapun meskipun diwujudkan uang. Imam Abu Hanifah hanya memberdakan atara uang dirham dengan yang lainnya karena pendapat bahwa barter adalah suatu bab kemanfaatan, berdasarkan kesepakatan para ulama bahwa boleh mengambil manfaat (dari daging kurban). Hal inilah kiranya adalah cukup dalam (menjelaskan) aturan di dalam kitab ini. (Ibnu Rusyd, dalam Bidayatul Mujtahid, (2):451)
Dari uraian dalam kitab Bidayah Mujtahid di atas dapat dirangkumkan pendapat para Imam Madzhab mengenai hal ini adalah sebagai berikut: Pertama: Jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa tidak boleh memperjual belikan kulit hewan qurban atau bagian lainnya secara mutlak. Kedua: Imam Abu Hanifah memperbolehkan sistem barter dengan barang berguna lainnya (seperti bahan pokok), dan tidak memperkenankan untuk diuangkan. Ketiga: Imam Atha’ bin Abi Rabbah (seorang ulama fiqih kalangan tabi’in) berpendapat boleh diperjual-belikan.
Kemudian, ketika kita sudah mengetahui tentang pendapat ulama mengenai hukum memperjual-belikan kulit hewan qurban, lalu apakah hubungannya dengan menjadikannya (kulit hewan qurban) sebagai upah bagi penyembelihan hewan qurban?
Pertama haruslah dijelaskan bahwa jual-beli di masa sekarang ini ada dua macam ditinjau dari segi jenis yang ditawarkan. Pertama: adalah jual beli barang, dan kedua adalah jual-beli jasa. Kiranya kita bisa memahami bahwa dalam konteks menjadikan kulit hewan qurban sebagai upah menyembelih hewan qurban adalah termasuk jual-beli jasa. Dan hukumnya adalah kembali kepada berbagai pendapat para imam sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.
R. Ahmad Nur Kholis
- Angotan Forum Musyawarah Santri (Formasi) Kec. Ngajum Kab. Malang
- Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyyah
- Aktifis Haraka Institute

Trus kesimpulanya dos pundi tadz
BalasHapus