قال الله تعالى:ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (النحل: ١٢٣)
Salah satu pembahasan Ushul Fiqh tentang sumber-sumber hukum (mashadir al-ahkam) Islam adalah tentang syar’u man qablana. Istilah ini dapat diartikan sebagai syari’at-syari’at para nabi sebelum nabi Muhammad. Syar’u man qablana ini merupakan salah satu dari sumber hukum yang terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Hal ini berbeda dengan sumber hukum seperti Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas yang mana mengenai keempatnya para ulama madzhab bersepakat bahwa kesemuanya yang disebutkan terakhir ini adalah sumber hukum dalam agama Islam. Adapun syar’u man qablana ini, sebagaimana juga istihsan, istishhab, dan urf merupakan sumber hukum yang diperdebatkan oleh para ulama.
Dalam masalah apa yang kita katakan sebagai “syar’u man qablana” sebagaimana dalam pembahasan ini kiranya perlu diketahui dua hal yaitu: (Pertama) bahwa tidak ada perbedaan di antara para ulama mengenai hal-hal yang merupakan ajaran (syariat) nabi-nabi terdahulu yang ditetapkan kembali dalam agama Islam. Permasalahan yang semacam ini juga menjadi syariat bagi agama Islam. Dalam hal ini dapat kita contohkan ayat Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 186 tentang kewajiban berpuasa Ramadhan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة:١٨٣)Artinya:Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah: 183)
Di dalam ayat 183 Surah Al-Baqarah di atas dikatakan bahwa puasa diwajibkan kepada ummat Nabi Muhammad sebagaimana diwajibkan kepada ummat-ummat terdahulu. Dalam hal ini maka puasa yang merupakan syariat nabi-nabi terdahulu menjadi syariat (ajaran) pula bagi kita.
Banyak hal telah dicontohkan yang demikian ini. Jika di sini harus menyebutkan, dapat dibutkan daftar seperti: (1) Manasik haji yang merupakan syariat Nabi Ibrahim; (2) Khitan, yang juga syariat nabi Ibrahim; (3) kesunahan mencukur kumis, (4) kesunahan mencukur rambut, (5) kesunahan memotong bulu ketiak, (6) kewajiban istinja’ bagi yang buang air; (lihat tafsir Jalalain atas penafsiran ayat 124 Surah Al-Baqarah). Kesemuanya itu adalah syariat nabi Ibrahim. Demikian pula seperti tradisi prosesi peletakan batu pertama dengan diisi pembacaan doa. Yang terakhir ini juga merupakan syariat Nabi Ibrahim. (lihat tafsir jalalain atas penafsiran Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 127).
Demikian pula halnya syariat-syariat para nabi terdahulu yang telah direvisi oleh syariat kita. Demikian ini telah disepakati oleh para ulama bahwa sudah tidak bisa lagi dijalankan dalam agama Islam. Dalam hal ini dapat kita contohkan penebusan dosa maksiat yang di zaman syariat musa harus ditebus dengan kematian, pembersihan najis dari pakaian dengan cara dipotong bagian yang terkena najis. Dan sebagainya sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Ushul Fiqh karya Abdul Wahab Khalaf.
Perbedaan pendapat terjadi di kalangan para ulama mengenai apa yang diceritakan Al-Quran mengenai syariat-syariat nabi terdahulu. Di mana dalam penceritaan itu Al-Qur’an tidak memberikan penjelasan apakah syariat tersebut masih harus dilakukan ataukah tidak. Dalam hal ini dapat dijelaskan seperti dosa membunuh yang diceritakan Al-Quran sebagai syariat agama Yahudi kepada Bani Israil (QS. Al-Maidah, (5):32); dan juga masalah ketentuan syariat Qishas yang di dalam Al-Quran dikatakan sebagai syariat agama Yahudi terhadap Bani Israil (QS. Al-Maidah, (5):45).
QS. Al-Maidah (5):32 menjelaskan tentang membunuh atau menghilangkan nyawa orang lain:
مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأرْضِ لَمُسْرِفُونَArtinya:oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
QS. Al-Maidah (5):45 menjelaskan ketentuan Qishash (balasan setimpal):
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٤٥)Artinya:Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Kita bisa meninjau tafsir atas kedua ayat tersebut terlebih dahulu. Ayat 123 Surah Al-Maidah didahului oleh konteks kisah sakit hati Qabil terhadap Habil. Sakit hati ini kemudian berujung kepada pembunuhan Habil oleh Qabil. Kisah ini kemudian dijadikan pelajaran oleh Allah kepada Bani Israel yang kemudian jika kita meninjau tafsir Ibnu Abbas, dosa membunuh satu orang disamakan dengan membunuh banyak orang.
Meninjau ayat ini pula kita mengerti bahwa dikecualikan (tidak berdosa sama) jika orang yang dibunuh adalah seorang pelaku: (1) pembunuhan; (2) berbuat kerusakan (fasad). Ibnu Abbas menafsirkan kata ‘fasad’ dalam ayat 123 surah Al-Maidah sebagai: ‘syirik.’ As-Suyuthi menafsirkannya sebagai: ‘kufur’; ‘zina’; atau melakukan perampokan atau penjarahan.
Melihat tafsiran atas ayat 45 surah Al-Maidah kita kita menjadi mengerti bahwa ayat ini membahas tentang hukuman setimpal. Kata ‘qishash’ dalam ayat di atas oleh Ibnu Abbas diterjemahkan sebagai ‘hukuma adila’ (hukuman setimpal). Dikatakan bahwa hal tersebut tertulis dalam Taurat.
Kita melihat bahwasanya kedua ayat tersebut adalah bercerita tentang syariat-syariat terdahulu. Namun demikian ayat tersebut tidak secara eksplisit mengatakan apakah sampai saat ini masih harus dijalankan atau tidak. Maka di sinilah terdapat perbedaan para ulama atas ayat yang semacam ini. Yakni ayat yang menceritakan tentang syariat terdahulu ini.
Sebagian para ulama seperti jumhur ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyyah dan syafi’iyyah mengatakan bahwa hal tersebut berlaku untuk dijalankan pada syariat Islam. Mereka beralasan bahwa “syariat sebelum kita adalah syariat bagi kita selama tidak ada nash yang menghapus atau mengubahnya.” Hal ini sebagaimana dikatakan Abdul Hamid Hakim dalam Al-Bayan sebagai berikut:
شَرْعُ مَنْ قَبْلَنَا شَرْعٌ لَنَا مَا لَمْ يَرِدْ شَرْعُنَا بِخِلَافِهِ.Artinya:“Syariat nabi sebelum nabi kita adalah syariat pula bagi kita sebelum ada dari syariat kita yang menyatakan selainnya.”
Terdapat implikasi lain dalam fiqih yang ditimbulkan pengambilan hukum berdasarkan dalil (istidlal) ini. Yaitu ketika para ulama hanafiyyah mengatakan bahwa “seorang muslim yang membunuh seorang non-muslim (dzimmi) maka juga diberlakukan hukum serupa.” Demikian pula jika ada kasus pembunuhan yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan. Hukumnya adalah sama mengikuti ayat ini. Hal ini karena perkataan ‘an-nafs’ dalam ayat ini adalah muthlaq. Dalam arti bahwa ia tidak bersyarat (kata ‘bersyarat’ dalam bahasa Indonesia setara dengan makna dari kata muqayyad dalam bahasa arab, bukan seperti kata ‘syarat’ dalam bahasa arab yang biasanya digunakan dalam ilmu nahwu).
Imam As-Suyuthi sendiri dalam tafsirnya mengatakan bahwa hukum ini tetap berlaku hingga pada masa syariat Islam. Beliau mengatakan demikian:
وَهَذَا الْحُكْمُ وَإِنْ كُتِبَ عَلَيْهِمْ فَهُوَ مُقَرَّرٌ فِى شَرْعِنَا
Artinya:“Hukum ini meskipun diwajibak kepada mereka (Bani Israil) ia juga ditetapkan sebagai syariat kita.”
Namun demikian, terdapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa syariat nabi sebelum nabi Muhammad bukanlah menjadi syariat bagi agama Islam. Mereka beralasan bahwa agama kita (Islam) dengan ajarannya telah menghapuskan ajaran-ajaran ummat dari nabi-nabi terdahulu. Hal ini terkecuali jika terdapat hal dari syariat Islam yang menetapkannya. Seperti syariat Haji dan sebagainya.
Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa pendapat yang lebih sahih (valid) adalah pendapat yang pertama. Yaitu pendapat yang mengatakan bahwa “syariat nabi sebelum Nabi Muhammad adalah syariat bagi kita sebelum ada dari syariat kita yang menghapuskannya”. Demikian ini berlaku bagi baik bagi syariat yang secara eksplisit diberlakukan oleh syariat Islam maupun syariat ummat terdahulu yang hanya sekedar diceritakan saja tanpa adanya keputusan hukum. Hal ini menurut Syaikh Abdul Wahab Khalaf karena Islam datang sebagai pembenar bagi syariat sebelumnya baik Taurat maupun Injil. (mushaddiqan lima baina yadaih min at-Taurata wal Injila).
Malang, 15 Syawal 1441 H / 7 Juni 2020
R. Ahmad Nur Kholis
Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
Pengajar Ilmu Nahwu di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
Dosen Studi Al-Qur’an di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Malang
Pengajar Ushul Fiqh di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar